Translate

Selasa, 02 Desember 2014

Hari Raya Galungan dan Kuningan

Hari Raya Galungan dan Kuningan


Kata “Galungan” berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan sebenarnya Galungan dirayakan
pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede
Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan pada
lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan tepatnya Galungan itu
dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan, masih belum terjawab dengan pasti.
 Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan
pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi.
Dalam lontar itu disebutkan:
Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana
ikang Bali rajya.
 Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama
adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih
kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali
bagaikan Indra Loka.
Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan
kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan
hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga
belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan,
konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka, barulah Galungan
dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23 tahun. Keterangan ini bisa dilihat
pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran
mengapa raja dan pejabat-pejabat raja sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya,
Raja Sri Jayakasunu mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya —
artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh dari Pura
Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu mendapatkan pawisik atau “bisikan
religius” dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa.
Dalam pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek karena tidak
lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri Jayakasunu supaya kembali
merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu
disarankan pula supaya seluruh umat Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum
Galungan). Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan byakala yaitu
upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari diri manusia dan
lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan religius itu, Galungan dirayakan
lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.  

Makna Filosofis Galungan
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan.
Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara ritual dan spiritual
agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama,
Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang  janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa
byapaning idep  
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang
terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.
 Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang.
Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacauan pikiran
itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah merayakan me-nangnya dharma melawan adharma.
 Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan setelah Galungan. Sebelum
Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa di sini sama dengan Jaba, artinya luar.
Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung (bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada
hari Wrhaspati Wage Wuku Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa
pada hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh (Penyucian Dewa,
karena itu hari penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di masing-masing
tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan: Kalinggania amretista raga
tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan
menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri.
Dan itulah yang disucikan.
Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu manusia. Karena itulah
pada hari tersebut dianjurkan anyekung jñana, artinya: mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha
Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan
dimasuki oleh Butha Galungan.
Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham tentang yoga
dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, “Pangastawaning sang ngamong yoga
samadhi.”
  Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan Penampahan Galungan. Pada hari inilah
dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban.
Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat kebinatangan yang ada
pada diri.
Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari Kamis Umanis
wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang betapa indahnya kemenangan dharma. Umat
pada umumnya melam-piaskan kegembiraan dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama
yang indah. Juga mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.
Hari berikutnya adalah hari Sabtu Pon Dungulan yang disebut hari Pemaridan Guru. Pada hari ini,  dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupakadirghayusaan yaitu hidup sehat  panjang umur. Pada hari ini umat dianjurkan menghaturkan canang meraka dan matirta gocara. Upacara tersebut barmakna, umat menikmati waranugraha Dewata. 
Pada hari Jumat Wage Kuningan disebut hari Penampahan Kuningan. Dalam lontar Sundarigama tidak disebutkan
upacara yang mesti dilangsungkan. Hanya dianjurkan melakukan kegiatan rohani yang dalam lontar disebutkan
Sapuhakena malaning jnyana (lenyapkanlah kekotoran pikiran). Keesokan harinya, Sabtu Kliwon disebut
Kuningan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan, upacara menghaturkan sesaji pada hari ini hendaknya
dilaksana-kan pada pagi hari dan hindari menghaturkan upacara lewat tengah hari. Mengapa? Karena pada tengah
hari para Dewata dan Dewa Pitara “diceritakan” kembali ke Swarga (Dewa mur mwah maring Swarga).
Demikianlah makna Galungan dan Kuningan ditinjau dari sudut pelaksanaan upacaranya.
 Macam-macam Galungan
Meskipun Galungan itu disebut “Rerahinan Gumi” artinya semua umat wajib melaksanakan, ada pula perbedaan
dalam hal perayaannya. Berdasarkan sumber-sumber kepustakaan lontar dan tradisi yang telah berjalan
dari abad ke abad telah dikenal adanya tiga jenis Galungan yaitu: Galungan (tanpa ada embel-embel),
Galungan Nadi dan Galungan Nara Mangsa. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
Galungan
Adalah hari raya yang wajib dilakukan oleh umat Hindu untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma.
Berdasarkan keterangan lontar Sundarigama disebutkan “Buda Kliwon Dungulan ngaran Galungan.” Artinya,
Galungan itu dirayakan setiap Rabu Kliwon wuku Dungulan. Jadi Galungan itu dirayakan, setiap 210 hari karena yang dipakai dasar menghitung Galungan adalah Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Kalau Panca Waranya Kliwon, Sapta Waranya Rabu, dan wukunya Dungulan, saat bertemunya ketiga hal itu disebut Hari Raya Galungan.
 Galungan Nadi
Galungan yang pertama dirayakan oleh umat Hindu di Bali berdasarkan lontar Purana Bali Dwipa adalah Galungan Nadi yaitu Galungan yang jatuh pada sasih Kapat (Kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 Saka (882 Masehi) atau pada bulan Oktober.
Disebutkan dalam lontar itu, bahwa pulau Bali saat dirayakan Galungan pertama itu bagaikan Indra Loka.  Ini menandakan betapa meriahnya perayaan Galungan pada waktu itu. Perbedaannya dengan Galungan biasa adalah
dari segi besarnya upacara dan kemeriahannya. Memang merupakan suatu tradisi di kalangan umat Hindu bahwa
kalau upacara agama yang digelar bertepatan dengan bulan purnama maka mereka akan melakukan upacara lebih
semarak. Misalnya upacara ngotonin atau upacara hari kelahiran berdasarkan wuku, kalau bertepatan dengan
purnama mereka melakukan dengan upacara yang lebih utama dan lebih meriah. Disamping karena ada keyakinan
bahwa hari Purnama itu adalah hari yang diberkahi oleh Sanghyang Ketu yaitu Dewa kecemerlangan. Ketu artinya
terang (lawan katanya adalah Rau yang artinya gelap).
Karena itu Galungan, yang bertepatan dengan bulan purnama disebut Galungan Nadi. Galungan Nadi ini
datangnya amat jarang yaitu kurang lebih setiap 10 tahun sekali.
 Galungan Nara Mangsa
Galungan Nara Mangsa jatuh bertepatan dengan tilem sasih Kapitu atau sasih Kesanga. Dalam lontar
Sundarigama disebutkan sebagai berikut:  
“Yan Galungan nuju sasih Kapitu, Tilem Galungan, mwang sasih kesanga, rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa
ngaran.”
 Artinya:
Bila Wuku Dungulan bertepatan dengan sasih Kapitu, Tilem Galungannya dan bila bertepatan dengan sasih
Kesanga rah 9, tenggek 9, Galungan Nara Mangsa namanya.
Dalam lontar Sanghyang Aji Swamandala ada menyebutkan hal yang hampir sama sebagai berikut:
Nihan Bhatara ring Dalem pamalan dina ring wong Bali,
poma haywa lali elingakna. Yan tekaning sasih Kapitu,
anemu wuku Dungulan mwang tilem ring Galungan ika, tan
wenang ngegalung wong Baline, Kala Rau ngaranya yan
mengkana. Tan kawasa mabanten tumpeng. Mwah yan anemu
sasih Kesanga, rah 9 tenggek 9, tunggal kalawan sasih
Kapitu, sigug ya mengaba gering ngaran. Wenang mecaru
wong Baline pabanten caru ika, nasi cacahan maoran
keladi, yan tan anuhut ring Bhatara ring Dalem yanya
manurung, moga ta sira kapereg denira Balagadabah.
Artinya:
Inilah petunjuk Bhatara di Pura Dalem (tentang)
kotornya hari (hari buruk) bagi manusia, semoga tidak
lupa, ingatlah. Bila tiba sasih Kapitu bertepatan
dengan wuku Dungulan dan Tilem, pada hari Galungan
itu, tidak boleh merayakan Galungan, Kala Rau namanya,
bila demikian tidak dibenarkan menghaturkan sesajen
yang berisi tumpeng. Dan bila bertepatan dengan sasih
Kasanga rah 9, tenggek 9 sama artinya dengan sasih
kapitu. Tidak baik itu, membawa penyakit adanya.
Seyogyanya orang mengadakan upacara caru yaitu sesajen
caru, itu nasi cacahan dicampur ubi keladi. Bila tidak
mengikuti petunjuk Bhatara di Pura Dalam (maksudnya
bila melanggar) kalian akan diserbu oleh Balagadabah.
Demikianlah dua sumber pustaka lontar yang berbahasa Jawa Kuna menjelaskan tentang Galungan Nara Mangsa.
Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada hari Galungan Nara Mangsa disebutkan “Dewa Mauneb bhuta
turun” yang artinya, Dewa tertutup (tapi) Bhutakala yang hadir. Ini berarti Galungan Nara Mangsa itu
adalah Galungan raksasa, pemakan daging manusia. Oleh karena itu pada hari Galungan Nara Mangsa tidak
dilang-sungkan upacara Galungan sebagaimana mestinya terutama tidak menghaturkan sesajen “tumpeng
Galungan”. Pada Galungan Nara Mangsa justru umat  dianjurkan menghaturkan caru, berupa nasi cacahan
bercampur keladi.
Demikian pengertian Galungan Nara Mangsa. Palaksanaan upacara Galungan di Bali biasanya diilustrasikan
dengan cerita Mayadanawa yang diuraikan panjang lebar dalam lontar Usana Bali sebagai lambang, pertarungan
antara aharma melawan adharma. Dharma dilambangkan ebagai Dewa Indra sedangkan adharma dilambangkan oleh
Mayadanawa. Mayadanawa diceritakan sebagai raja yang tidak percaya pada adanya Tuhan dan tidak percaya pada
keutamaan upacara agama.  
Galungan di India
Hari raya Hindu untuk mengingatkan umat atas pertarungan antara adharma melawan dharma dilaksanakan
juga oleh umat Hindu di India. Bahkan kemungkinan besar, parayaan hari raya Galungan di Indonesia
mendapat inspirasi atau direkonstruksi dari perayaan upacara Wijaya Dasami di India. Ini bisa dilihat dari
kata “Wijaya” (bahasa Sansekerta) yang bersinonim dengan kata “Galungan” dalam bahasa Jawa Kuna. Kedua
kata itu artinya “menang”.  
Hari Raya Wijaya Dasami di India disebut pula “Hari Raya Dasara”. Inti perayaan Wijaya Dasami juga dilakukan sepuluh hari seperti Galungan dan Kuningan. Sebelum puncak perayaan, selama sembilan malam umat Hindu di sana melakukan upacara yang disebut Nawa Ratri (artinya sembilan malam). Upacara Nawa Ratri itu dilakukan dengan upacara persembahyangan yang sangat khusuk dipimpin oleh pendeta di rumah-rumah penduduk. Nawa Ratri lebih menekankankan nilai-nilai spiritual sebagai dasar perjuangan melawan adharma. Pada hari kesepuluh berulah dirayakan Wijaya Dasami atau Dasara. Wijaya Dasami lebih menekankan pada rasa kebersamaan,
kemeriahan dan kesemarakan untuk masyarakat luas.
 Perayaan Wijaya Dasami dirayakan dua kali setahun dengan perhitungan tahun Surya. Perayaan dilakukan pada bulan Kartika (Oktober) dan bulan Waisaka (April). Perayaan Dasara pada bulan Waisaka atau April disebut pula Durgha Nawa Ratri. Durgha Nawa Ratri ini merupakan perayaan untuk kemenangan dharma melawan adharma dengan ilustrasi cerita kemenangan Dewi Parwati (Dewi Durgha) mengalahkan raksasa Durgha yang bersembunyi di dalam tubuh Mahasura yaitu lembu raksasa yang amat sakti. Karena Dewi Parwati menang, maka diberi julukan Dewi Durgha. Dewi Durgha di India dilukiskan seorang dewi yang amat cantik menunggang singa. Selain itu diyakini sebagai dewi kasih sayang dan amat sakti. Pengertian sakti di India adalah kuat, memiliki kemampuan yang tinggi. Kasih sayang
sesungguhnya kasaktian yang paling tinggi nilainya. Berbeda dengan di Bali. Kata sakti sering diartikan sebagai kekuatan yang berkonotasi angker, seram, sangat menakutkan.
 Parayaan Durgha Nawa Ratri adalah perjuangan umat untuk meraih kasih sayang Tuhan. Karunia berupa kasih sayang Tuhan adalah karunia yang paling tinggi nilainya. Untuk melawan adharma pertama-tama capailah karunia Tuhan berupa kasih sayang Tuhan. Kasih sayang Tuhanlah merupakan senjata yang paling ampuh melawan adharma.
 Sedangkan upacara Wijaya Dasami pada bulan Kartika (Oktober) disebut Rama Nawa Ratri. Pada Rama Nawa
Ratri pemujaan ditujukan pada Sri Rama sebagai Awatara Wisnu. Selama sembilan malam umat mengadakan kegiatan
keagamaan yang lebih menekankan pada bobot spiritual untuk mendapatkan kemenangan rohani dan menguasai,
keganasan hawa nafsu. Pada hari kesepuluh atau hari Dasara, umat merayakan Wijaya Dasami atau kemenangan
hari kesepuluh. Pada hari ini, kota menjadi ramai. Di mana-mana, orang menjual panah sebagai lambang kenenangan. Umumnya umat membuat ogoh-ogoh berbentuk Rahwana, Kumbakarna atau Surphanaka. Ogoh-ogoh besar dan tinggi itu diarak keliling beramai-ramai. Di lapangan umum sudah disiapkan pementasan di mana sudah ada orang yang terpilih untuk memperagakan tokoh Rama, Sita, Laksmana dan Anoman.
Puncak dari atraksi perjuangan dharma itu yakni Sri Rama melepaskan anak panah di atas panggung yang telah
dipersiapkan sebelumnya. Panah itu diatur sedemikian rupa sehingga begitu ogoh-ogoh Rahwana kena panah Sri
Rama, ogoh-ogoh itu langsung terbakar dan masyarakat penontonpun bersorak-sorai gembira-ria. Orang yang
memperagakan diri sebagai Sri Rama, Dewi Sita, Laksmana dan Anoman mendapat penghormatan luar biasa
dari masyarakat Hindu yang menghadiri atraksi keagamaan itu. Anak-anak ramai-ramai dibelikan panah-panahan untuk kebanggaan mereka mengalahkan adharma.
Kalau kita simak makna hari raya Wijaya Dasami yang digelar dua kali setahun yaitu pada bulan April (Waisaka) dan pada bulan Oktober (Kartika) adalah dua perayaan yang bermakna untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan. Kasih sayang itulah suatu “sakti” atau kekuatan manusia yang maha dahsyat untuk mengalahkan adharma. Sedangkan pada bulan Oktober atau Kartika pemujaan ditujukan pada Sri Rama. Sri Rama adalah Awatara Wisnu sebagai dewa Pengayoman atau pelindung dharma. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan filosofi dari hari raya Wijaya Dasami adalah mendapatkan kasih sayang dan perlindungan Tuhan. Kasih sayang dan perlindungan itulah merupakan kekuatan yang harus dicapai oleh menusia untuk memenangkan dharma. Kemenangan dharma adalah terjaminnya kehidupan yang bahagia lahir batin.
Kemenangan lahir batin atau dharma menundukkan adharma adalah suatu kebutuhan hidup sehari-hari. Kalau kebutuhan rohani seperti itu dapat kita wujudkan setiap saat maka hidup yang seperti itulah hidup yang didambakan oleh setiap orang. Agar orang tidak sampai lupa maka setiap Budha Kliwon Dungulan, umat diingatkan melalui hari raya Galungan yang berdemensi ritual dan spiritual.
Sumber:
Buku “Yadnya dan Bhakti” oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar