Translate

Selasa, 25 Oktober 2016

Tembang Jerum

   1. Kidung  pangundang  ring bhuta,                              4.  Klod kangin urip nem nem,
 Basa lumrah pupuh jerum,                                              Yan diwarna rupa klawu,
 Bhuta  asih  Widhi asung,                                               Kaja kangin urip kutus,
 Caru pasajine reko,                                                         Nasak gedang warna  kawot,
 Genep saha upakara,                                                       Kaja kawuh warna kwanta,
 Manut  warna lawan ungguh,                                           Panguripanya  tatelu,
 Sekul iwak pada bina,                                                       Klod kauh  warna gadang,
 Olah – olahan  sadulur.                                                     Jati tunggal  urip ipun.
 
   2. Pangideran  panguripan,                                              5.  Babhutannyane  kinucap,
 Kangin panca putih mulus,                                                Preta pisaca aran ipun,
 Kaja sia  barak mungguh,                                                 Bhuta kala  dengen rusuh,
 Kauh kuning pitu anggon,                                                 Ring durgamana manongos,
 Klod selem urip papat,                                                      Ring alas  tukad segara,
 Manca warna  tengah brumbun,                                       Ring pangkung – pangkung keredung,
 Akutus panguripania,                                                        Genep sami sya warna,
 Babutane  manut ungguh.                                                  Kang inundang sidha rawuh.



   3. Kangin  ring angin magenah,                                      6. Yan sira sampun wus nadah,
 Kaja ring api umungguh,                                                  gati prasama  mewantun,
 Ring tanahe sane kawuh,                                                Ngungsi ungguwan  sowang mantuk,
 Klod ring toya manongos,                                               Aja mamigena  wong,
 Ring embange  bhuta tengah,                                         Miwah mamigena  yadnya,   
 Malih sane bilang bucu,                                                   Asih kumasih satuwuk,
 Anut urip lawan warna,                                                     Ngawe degdeg  jagat raya,
 Tongos bahutane kredung.                                              Jana pada  manggih ayu.

Rabu, 12 Oktober 2016

Jayaprana Dan Layonsari Cerita Rakyat Dari Bali


       Dua orang suami istri bertempat tinggal di Desa Kalianget mempunyai tiga orang anak, dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Oleh karena ada wabah yang menimpa masyarakat desa itu, maka empat orang dari keluarga yang miskin ini meninggal dunia bersamaan. Tinggallah seorang laki-laki yang paling bungsu bernama I Jayaprana. Oleh karena orang yang terakhir ini keadaannya yatim piatu, maka ia pun memberanikan diri mengabdi di istana raja. Di istana, laki-laki itu sangat rajin, rajapun amat kasih sayang kepadanya.

Kini I Jayaprana baru berusia duabelas tahun. Ia sangat ganteng paras muka tampan dan senyumnya pun sangat manis menarik.

Beberapa tahun kemudian..................


           Pada suatu hari raja menitahkan I Jayaprana, supaya memilih seorang dayang-dayang yang ada di dalam istana atau gadis gadis yang ada di luar istana. Mula-mula I Jayaprana menolak titah baginda, dengan alasan bahwa dirinya masih kanak-kanak. Tetapi karena dipaksa oleh raja akhirnya I Jayaprana menurutinya. Ia pun melancong ke pasar yang ada di depan istana hendak melihat-lihat gadis yang lalu lalang pergi ke pasar. Tiba-tiba ia melihat seorang gadis yang sangat cantik jelita. Gadis itu bernama Ni Layonsari, putra Jero Bendesa, berasal dari Banjar Sekar.

        Melihat gadis yang elok itu, I Jayaprana sangat terpikat hatinya dan pandangan matanya terus membuntuti lenggang gadis itu ke pasar, sebaliknya Ni Layonsari pun sangat jatuh hati memandang pemuda ganteng yang sedang duduk-duduk di depan istana. Setelah gadis itu menyelinap di balik orang-orang yang ada di dalam pasar, maka I Jayaprana cepat-cepat kembali ke istana hendak melapor kehadapan Sri Baginda Raja. Laporan I Jayaprana diterima oleh baginda dan kemudian raja menulis sepucuk surat.

          I Jayaprana dititahkan membawa sepucuk surat ke rumahnya Jero Bendesa. Tiada diceritakan di tengah jalan, maka I Jayaprana tiba di rumah Jero Bendesa. Ia menyerahkan surat yang dibawanya itu kepada Jero Bendesa dengan hormatnya. Jero Bendesa menerima terus langsung dibacanya dalam hati. Jero Bendesa sangat setuju apabila putrinya yaitu Ni Layonsari dikawinkan dengan I Jayaprana. Setelah ia menyampaikan isi hatinya “setuju” kepada I Jayaprana, lalu I Jayaprana memohon diri pulang kembali.

       Di istana Raja sedang mengadakan sidang di pendopo. Tiba-tiba datanglah I Jayaprana menghadap pesanan Jero Bendesa kehadapan Sri Baginda Raja. Kemudian Raja mengumumkan pada sidang yang isinya antara lain: Bahwa nanti pada hari Selasa Legi wuku Kuningan, raja akan membuat upacara perkawinannya I Jayaprana dengan Ni Layonsari. Dari itu raja memerintahkan kepada segenap perbekel, supaya mulai mendirikan bangunan-bangunan rumah, balai-balai selengkapnya untuk I Jayaprana.

         Menjelang hari perkawinannya semua bangunan-bangunan sudah selesai dikerjakan dengan secara gotong royong semuanya serba indah. Kini tiba hari upacara perkawinan I Jayaprana diiringi oleh masyarakat desanya, pergi ke rumahnya Jero Bendesa, hendak memohon Ni Layonsari dengan alat upacara selengkapnya. Sri Baginda Raja sedang duduk di atas singgasana dihadap oleh para pegawai raja dan para perbekel baginda. Kemudian datanglah rombongan I Jayaprana di depan istana. Kedua mempelai itu harus turun dari atas joli, terus langsung menyembah kehadapan Sri Baginda Raja dengan hormatnya. Melihat wajah Ni Layonsari, raja pun membisu tak dapat bersabda.

           Setelah senja kedua mempelai itu lalu memohon diri akan kembal ke rumahnya meninggalkan sidang di paseban. Sepeninggal mereka itu, Sri Baginda lalu bersabda kepada para perbekel semuanya untuk meminta pertimbangan caranya memperdayakan I Jayaprana supaya ia mati. Istrinya yaitu Ni Layonsari akanmasuk ke istana untuk dijadikan permaisuri baginda. Dikatakan apabila Ni Layonsari tidak dapat diperistri maka baginda akan mati karena kesedihan.

       Mendengar sabda itu salah seorang perbekel lalu tampak ke depan hendak mengetengahkan pertimbangan, yang isinya antara lain: agar Sri Paduka Raja menitahkan I Jayaprana bersama rombongan pergi ke Celuk Terima, untuk menyelidiki perahu yang hancur dan orang-orang Bajo menembak binatang yang ada di kawasan pengulan. Demikian isi pertimbangan salah seorang perbekel yang bernama I Saunggaling, yang telah disepakati oleh Sang Raja.

          Sekarang tersebutlah I Jayaprana yang sangat berbahagia hidupnya bersama istrinya. Tetapi baru tujuh hari lamanya mereka berbulan madu, datanglah seorang utusan raja ke rumahnya, yang maksudnya memanggil I Jayaprana supaya menghadap ke paseban. I Jayaprana segera pergi ke paseban menghadap Sri P aduka Raja bersama perbekel sekalian. Di paseban mereka dititahkan supaya besok pagi-pagi ke Celuk Terima untuk menyelidiki adanya perahu kandas dan kekacauan-kekacauan lainnya. Setelah senja, sidang pun bubar. I Jayaprana pulang kembali ia disambut oleh istrinya yang sangat dicintainya itu. I Jayaprana menerangkan hasil-hasil rapat di paseban kepada istrinya.

         Hari sudah malam Ni Layonsari bermimpi, rumahnya dihanyutkan banjir besar, ia pun bangkit dari tempat tidurnya seraya menerangkan isi impiannya yang sangat mengerikan itu kepada I Jayaprana. Ia meminta agar keberangkatannya besok dibatalkan berdasarkan alamat-alamat impiannya. Tetapi I Jayaprana tidak berani menolak perintah raja. Dikatakan bahwa kematian itu terletak di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Pagi-pagi I Jayaprana bersama rombongan berangkat ke Celuk Terima, meninggalkan Ni Layonsari di rumahnya dalam kesedihan. Dalam perjalanan rombongan itu, I Jayaprana sering kali mendapat alamat yang buruk-buruk. Akhirnya mereka tiba di hutan Celuk Terima. I Jayaprana sudah merasa dirinya akan dibunuh. Kemudian I Saunggaling berkata kepada I Jayaprana sambil menyerahkan sepucuk surat.

I Jayaprana menerima surat itu terus langsung dibaca dalam hati isinya:
“ Hai engkau Jayaprana
Manusia tiada berguna
Berjalan berjalanlah engkau
Akulah menyuruh membunuh kau

Dosamu sangat besar
Kau melampaui tingkah raja
Istrimu sungguh milik orang besar
Kuambil kujadikan istri raja

Serahkanlah jiwamu sekarang
Jangan engkau melawan
Layonsari jangan kau kenang
Kuperistri hingga akhir jaman.”

           Demikianlah isi surat Sri Baginda Raja kepada I Jayaprana. Setelah I Jayaprana membaca surat itu lalu ia pun menangis tersedu-sedu sambil meratap. “Yah, oleh karena sudah dari titah baginda, hamba tiada menolak. Sungguh semula baginda menanam dan memelihara hambat tetapi kini baginda ingin mencabutnya, yah silakan. Hamba rela dibunuh demi kepentingan baginda, meski pun hamba tiada berdosa. Demikian ratapnya I Jayaprana seraya mencucurkan air mata. Selanjutnya I Jayaprana meminta kepada I Saunggaling supaya segera bersiap-siap menikamnya. Setelah I Saunggaling mempermaklumkan kepada I Jayaprana bahwa ia menuruti apa yang dititahkan oleh raja dengan hati yang berat dan sedih ia menancapkan kerisnya pada lambung kirinya I Jayaprana. Darah menyembur harum semerbak baunya bersamaan dengan alamat yang aneh-aneh di angkasa dan di bumi seperti: gempa bumi, angin topan, hujan bunga, teja membangun dan sebagainya.

           Setelah mayat I Jayaprana itu dikubur, maka seluruh perbekel kembali pulang dengan perasaan sangat sedih. Di tengah jalan mereka sering mendapat bahaya maut. Di antara perbekel itu banyak yang mati. Ada yang mati karena diterkam harimau, ada juga dipagut ular. Berita tentang terbunuhnya I Jayaprana itu telah didengar oleh istrinya yaitu Ni Layonsari. Dari itu ia segera menghunus keris dan menikan dirinya. Demikianlah isi singkat cerita dua orang muda mudi itu yang baru saja berbulan madu atas cinta murninya akan tetapi mendapat halangan dari seorang raja dan akhirnya bersama-sama meninggal dunia.

DOA SEHARI-HARI AGAMA HINDU

  • Doa Menjelang Tidur Menurut Hindu

Om asato ma sat ganaya,
tamaso ma jayatir ganaya,
mrityor mamritam gamaya.

Artinya:

(Ya Tuhan tuntunlah hamba dari jalan yang sesat menuju yang benar, dari jalan gelap menuju terang, hindarkanlah hamba dari kematian menuju kehidupan abadi.)


  • Doa Bangun Pagi Menurut Hindu

Om Utedanim bhagawantah syamotaprapitwa uta mandhye ahnam
utodita maghawanta suryasya wayam
dewanam sumantau syama.

Artinya:

 (Ya Tuhan Yang Maha Pemurah, jadikan-
lah hamba orang yang selalu bernasib baik pada hari ini, menjelang tengah hari, dan seterusnya. Semoga para dewa melindungi diri hamba.)


  • Doa Membersihkan/Mencuci Muka Menurut Hindu

Om Cam camani ya namah swaha.
Om waktra parisudahaya namah swaha.

Artinya:

(Ya Tuhan, hamba memujaMu, semoga
muka hamba menjadi bersih.)


  • Doa Menggosok Gigi Menurut Hindu

Om rahphat astraya namah.
Om Sri Dewi bhatrimsaYogini namah.

Artinya:

(Ya Tuhan, sujud hamba kepada Dewi Sri,
Bhatari Yogini, semoga bersihlah gigi hamba.)


  • Doa Berkumur Menurut Hindu

Om Ang waktra parisudhamam swaha.

Artinya:

(Ya Tuhan, semoga bersihlah mulut hamba.)


  • Doa Membersihkan Kaki Menurut Hindu

Om Am kham khasolkhaya iswaraya
namah swaha.

Artinya:

(Ya Tuhan, semoga bersihlah kaki hamba.)


  • Doa Mandi Menurut Hindu

Om Gangga amrta sarira sudhamam
swaha.
Om Sarira parisudhamam swaha.

(Ya Tuhan, Engku adalah sumber
kehidupan abadi nan suci, semoga badan hamba
menjadi bersih dan suci.)


Bisa pula dengan doa atau mantram ini

Om gangge ca yamune caiwa
goda wari saraswati
narmade sindhu kaweri
jale smin sannidhim kuru.

(Ya Tuhan, ijinkanlah hamba memanggil
sungai suci Gangga, Yamuna, Godawari,
Saraswati, Narmada, Sindhu, Dan Kaweri,
semoga menganugerahkan kesucian kepada hamba.)

  • Doa Pada Waktu Mengenakan Pakaian Menurut Hindu

Om tam mahadewaya namah swaha,
Om bhusanam sarirabhyo parisudhamam
swaha.

Artinya:

(Tuhan dalam perwujudanMu sebagai Tat
Purusha, Dewa Yang Maha agung, hamba sujud kepadaMu dalam menggunakan pakaian
ini. Semoga pakaian hamba menjadi bersih dan suci.)

        Selesai berpakaian hendaknya melakukan
persembahyangan Trisandya.


  • Doa Panganjali Menurut Hindu

Di ucapkan saat berjumpa dengan seseorang
atau memulai suatu pembicaraan dalam sebuah
pertemuan. Tangan di cakupkan seperti
menyembah, di angkat sejajar dada.

Om Swastyastu

Artinya:

(Semoga selalu dalam keadaan selamat di
bawah lindungan Tuhan)


  • Doa Menghadapi Makanan Menurut Hindu

Om hiranyagarbhah samawartatagre
bhutasya jatah patitreka asit
sadadhara pritiwim dyam utenam
kasmai dewaya hawisa widhema

Om purnam adah purnamidam
purnat purnam udacyate
purnasya purnam adaya
purnamewawasisyate

Artinya:

(Ya Tuhan Yang Maha Pengasih. Engkau
asal alam semesta dan satu-satunya kekuatan
awal. Engkau yang memelihara semua
makhluk, seluruh bumi dan langit. Hamba
memuja Engkau. Ya Tuhan Yang Maha
Sempurna dan yang membuat alam sempurna.
Alam ini akan lenyap dalam kesempurnaanMu.
Engkau Maha Kekal. Hamba mendapat
makanan yang cukup berkat anugrahMu.
Hamba manghaturkan terima kasih.)


    Doa di atas baik untuk makan bersama,
misalnya, pesta atau istirahat makan dalam
suatu pertemuan. Jika sendirian bisa
mengucapkan doa pendek ini yang diambil dari
 kitab suci Yajurveda:

Om annapate annasya
no dehyanmiswasya susminah
pra-pra dataram taris urjam
no dhehi dwipade catuspade

Artinya:

(Ya Tuhan, Engkau penguasa makanan,
anugrahkanlah makanan ini, semoga memberi
kekuatan dan menjauhkan dari penyakit.
Bimbinglah hamba anugrahkan kekuatan
kepada semua makhluk.)


  • Doa Mulai Mencicipi Makanan Menurut Hindu

Om anugraha amrtadi sanjiwani ya
namah swaha.

Artinya:

(Ya Tuhan, semoga makanan ini menjadi
penghidup hamba lahir dan batin yang suci.)


  • Doa Selesai Makan Menurut Hindu

Om dhirgayur astu, awighnamastu,
subham astu
Om sriyam bhawantu, sukham bhawantu,
purnam bhawantu, ksama sampurnaya
namah swaha.
Om, Santih, Santih, Santih, Om.

Artinya:

(Ya Tuhan, semoga makanan yang telah
masuk ke dalam tubuh hamba memberikat
kekuatan dan keselamatan, panjang umur dan
tidak mendapat sesuatu apapun. Ya Tuhan,
semoga damai, damai di hati, damai di dunia,
damai selama-lamanya.)


  • Doa Sebelum Memulai Suatu Pekerjaan Menurut Hindu

Om awighnam astu namo sdhham.
Om sidhirastu tad astu swaha.

Artinya:

(Ya Tuhan, semoga atas pekenanMu, tiada
suatu halangan bagi hamba memulai pekerjaan
ini dan semoga berhasil baik.)


  • Doa Selesai Bekerja/Bersyukur Menurut Hindu

Om Dewa suksma parama acintyaya
namah swaha
Sarwa karya prasidhantam.
Om Santih, Santih, Santih, Om.

Artinya:

(Ya Tuhan dalam wujud parama Acintya
yang maha gaib dan maha karya, hanya atas
anugrahMu-lah maka pekerjaan ini berhasil
dengan baik, Semoga damai, damai di hati,
damai di dunia, damai selamanya.)


  • Doa Mohon Bimbingan Tuhan Menurut Hindu

Om Asato ma sadyamaya
tamaso ma jyotir gamaya
mrtyor ma amrtam gamaya.

Om agne brahma grbhniswa
dharunama syanta riksam drdvamha
brahmawanitwa ksatrawani sajata
wanyu dadhami bhratwyasya wadhyaya.

Artinya:

(Tuhan Yang Maha Suci, bimbinglah hamba
dari yang tidak benar menuju yang benar.
Bimbinglah hamba dari kegelapan pikiran
menuju cahaya pengetahuan yang terang.
Lepaskanlah hamba dari kematian menuju kehidupan yang abadi. Tuhan Yang Maha
Suci, terimalah pujian yang hamba
persembahkan melalui Weda mantra dan
kembangkanlah pengetahuan rohani hamba
agar hamba dapat menghancurkan musuh yang
ada pada hamba (Nafsu). Hamba menyadari
bahwa Engkaulah yang berada dalam setiap
insani (jiwatman), menolong orang terpelajar
pemimpin negara dan para pejabat. Hamba
memuja Engkau semoga melimpahkan anugrah
kekuatan kepada hamba.)


  • Doa Mohon Inspirasi Menurut Hindu

Om prano Dewi Saraswati
wajebhir wajiniwati
dhinam awinyawantu.

Artinya:

(Ya Tuhan dalam manifestasi Dewi
Saraswati, Hyang Maha Agung dan Maha
Kuasa. Semoga Engkau memancarkan
kekuatan rohani, kecerdasan pikiran, dan
lindungilah hamba selama-lamanya.)


  • Doa Mulai Belajar Menurut Hindu

Om purwe jato brahmano brahmacari
dharmam wasanas tapasodatistat
tasmajjatam brahmanam brahma
Iyestham dewasca sarwe amrttna sakama

Artinya:

(Ya Tuhan, muridMu hadir di hadapanMu,
Oh Brahman yang berselimutkan kesaktian
dan berdiri sebagai pertama. Tuhan,
anugrahkanlah pengetahuan dan pikiran yang
terang. Brahman yang agung, setiap makhluk
hanya dapat bersinar berkat cahayaMu yang
senantiasa memancar.)


  • Doa Mohon Ampun Dalam Segala Dosa Menurut Hindu

Om dewakrtasyainaso awaya janam
asi manusyakrtasi nama awaya janam
asi pitra krtasi namo awaya janam asyatma
krtasyaenaso awaya janam
asyena sa enase waya janam asi
yacchaham eno vidvamscakara
yacchavidvams tasya va ya janam asi

Artinya:

(Ya Tuhan, ampunilah dosa hamba
terhadapMu, ampunilah dosa hamba terhadap
sesama manusia, terhadap orang tua hamba,
terhadap teman hamba, Tuhan ampunilah dosa
hamba terhadap segala macam dosa, terhadap
dosa yang hamba lakukan dengan sadar atau
tidak sadar. Tuhan, semoga berkenan
mengampuni semuanya itu.)


  • Doa Memotong Hewan Menurut Hindu

Om pasu pasaya wimahe sirascadaya
dhimahi tano jiwah pracodayat.

Artinya:

(Semoga atas pekenan dan BerkahMu para
pemotong hewan dalam upacara kurban suci
ini beserta orang-orang yang telah berdana
punia untuk yadnya ini memperoleh kesejahteraan
dan kebahagiaan. Tuhan, hamba memotong
hewan ini, semoga rohnya menjadi suci.)


  • Doa Mengunjungi Orang Sakit Menurut Hindu

Om sarwa wighna sarwa klesa
sarwa lara roga winasaya namah

Artinya:

(Y Tuhan semoga segala halangan, segala
penyakit, segala penderitaan dan gangguan
Engkau lenyapkan semuanya.)


  • Doa Mendengar Atau Melayat Orang Meninggal Dunia Menurut Hindu

Om swargantu, moksantu, sunyantu,
murcantu.
Om ksama sampurnaya namah swaha.

Artinya:

(Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, semogalah
arwah yang meninggal mendapat sorga,
menunggal denganMu, mencapai keheningan
tanpa derita. Ya Tuhan, ampunilah segala
dosanya, semoga ia mencapai kesempurnaan
atas kekuasaan dan pengetahuan serta
 pengampunanMu.)


  • Doa Untuk Keslamatan Penganten Menurut Hindu

Om iha iwa stam ma wi yaustam
wiswam ayur wyasnutam
kridantau putrair naptrvbhih
modamanau swe grhe

Artinya:

(Ya Tuhan, anugerahkan kepada
pasangan penganten ini kebahagiaan, keduanya
tiada terpisahkan dan panjang umur. Semoga
penganten ini dianugerahkan putra dan cucu
yang memberikan penghiburan, tinggal dirumah
yang penuh kegembiraan.)


  • Doa Memohon Ketenangan Rumah Tangga Menurut Hindu

Om wisowiso wo atithim
wajayantah purupriyam
agnim wo duryan wocah
stuse susasya manmabhih

Artinya:

(Ya tuhan, Engkau adalah tamu yang
datang pada setiap rumah. Engkau amat
mencintai umat-mu. Engkau adalah sahabat
yang maha pemura. Perkekankanlah hamba
memujaMu dengan penuh kekuatan, dalam
ucapan mau pun tenaga dan dalam lagu pujaan)


  • Doa Untuk Kelahiran Bayi Menurut Hindu

Om Brhatsumnah prasawita niwesano
jagatah sthaturubhayasya yo wasi
sa no dewah sawita sarma yaccha twasme
ksayaya triwarutham amhasah

Artinya:

(Ya Tuhan yang maha pengasih, yang
memberi kehidupan pada alam dan
menegakkannya. Ia yg mangataur baik yang
bergerak dan tidak bergerak, semoga ia
memberi rahkmatNya kepada kami untuk
ketentraman hidup dengan kemampuan untuk
menghindari kekuatan yg jahat.)
 Setelah bayi dimandikan, ayah bayi atau
orang yang dituakan yang hadir di sana diminta
membisikkan Mantram Gayatri (bait pertama
Puja Trisandya) masing-masing tiga kali pada
lobang telinga kanan dan kiri bayi itu.


  • Doa Untuk Memohon Cinta KasihNya Menurut Hindu

Om wicakrame prthiwim esa etam
ksetraya wisnur manuse dasyan
druwaso asya kiraya janasa
uruksitim sujanima cakara

Artinya:

(Ya Tuhan, Engkau Hyang Wisnu yang
membentang di bumi ini, menjadikan tempat
tinggal bagi manusia.
Kaum yang hina aman
sentosa di bawah lindungan-Nya. Yang mulia
telah menjadikan bumi tempat yang lega bagi
mereka.)


  • Doa Pembukaan Rapat/Pertemuan Menurut Hindu

Om sam gacchadwam sam wadadwam
sam wo manamsi janatam
dewa bhagam yatha purwe
samjanana upasate.

Om samani wa akutih
samana hrdayani wah
samanam astu wo
mano yatha wah susahasati.

Om ano bhadrah krattawo yantu
wistawah.

Artinya:

(Ya Tuhan, hamba berkumpul di tempat ini
hendak bicara satu dengan yang lain untuk
menyatukan pikir sebagai mana halnya para
dewa selalu bersatu. Ya Tuhan, tuntunlah kami
agar sama dalam tujuan, sama dalam hati,
bersatu dalam pikiran hingga dapat hidup
bersama dalam sejahtera dan bahagia. Ya
Tuhan, semoga pikiran yang baik datang
dari segala penjuru.)


  • Doa Penutup Rapat/Pertemuan Menurut Hindu

Om anugraha manoharam,
devatta nugrahaka,
arcanam sarwa pujanam,
namah sarwa nugrahaka.

Om ksama swamam jagadnatha,
sarwa papa hitankarah,
sarwa karya sidham dehi,
pranamya suryeswaram.
Om Santih, Santih, Santih, Om.

Artinya:

(Ya Tuhan limpahkanlah anugrahMu yang
menggembirakan kepada hamba. Tuhan yang
maha pemurah, semoga Tuhan melimpahkan
segala anugrah kepada hamba. Ya Tuhan,
pelindung alam semesta, pencipta semua
makhluk, ampunilah dosa hamba dan anugrahilah
hamba dengan keberhasilan atas semua karya.
Tuhan yang memancarkan sinar suci, ibaratnya
sang surya memancarkan sinarnya, ham
sujud kepadaMu. Ya Tuhan, semoga damai,
damai di hati, damai di dunia, damai selama-
lamanya.)

Untuk menutup pertemuan, bisa pula dipakaidoa di bawah ini yang diambilkan dari kitab
Yajurveda. Mantram ini disebut santi
Mantram. Bunyinya:

Om dyauh santir antariksam santih
prthiwi santir apah santir
asadhayah santih wanaspatayah santir
wiswe dewah santir brahma santih
sarvam santih santir ewa santih
sa ma santir edhi

Artinya:

(Ya Tuhan Yang Mahakuasa, anugerah-
kanlah kedamaian di langit, damai di bumi,
damai di air, damai pada tumbuh-tumbuhan,
damai pada pepohonan, damai bagi para
dewata, damailah Brahma, damailah alam
semesta. Semogalah kedamaian senantiasa
datang pada kami.)


  • Doa Untuk Pedagang Menurut Hindu

Om a wiswani amrta saubhagani

Artinya:

(Ya Tuhan, semoga Engkau menganu-
gerahkan segala keberuntungan yang
memberikan kebahagiaan kepada hamba.)


  • Doa Untuk Kebajikan, Juga Dipakai Sebelum Meditasi Menurut Hindu

Om wiswani dewa sawitar
duri tani para suwa
yad bhadram tanna a suwa

Artinya:

(Ya Tuhan, Sawitar, usirlah jauh-jauh segala
kekuatan jahat. Berikanlah hamba yang terbaik.)

  • Doa Mohon Perlindungan, Juga Baik Diucapkan Ketika Sakit Menurut Hindu

Om Trayambhakam yajamahe
sugandhim pusti wardhanam
unwarukam iwa bandhanat
mrtyor muksiya mamrtat

Artinya:

(Ya Tuhan, hamba memuja Hyang
Trayambhaka/Rudra yang menyebarkan
keharuman dan memperbanyak makanan.
Semoga Ia melepaskan hamba seperti buah
mentimun dari batangnya, melepaskan dari
kematian dan bukan dari kekekalan.)


  • Doa Mengheningkan Cipta Menurut Hindu

Om mata bliumih putro aham prthivyah

Artinya:

(Ya Tuhan, semoga kami mencintai tanah
air ini sebagai ibu dan hamba adalah putra-
putranya yang siap sedia membela seperti para
pahlawan kami.)


  • Doa Parama Santi Menurut Hindu

Om Santih, Santih, Santih, Om

Artinya:

(Semoga damai, damai dihati, damai di
dunia, damai selama-lamanya.)

SAPTA TIMIRA

Sapta Timira artinya : tujuh kegelapan. Tujuh hal yang menjadi penyebab kegelapan itu adalah : Surupa, Dhana, Guna, Kulina, Yowana, Sura dan Kasuran. Ketujuh hal tersebut oleh masyarakat disebut peteng pitu atau tujuh kegelapan.
      Hal-hal yang membuat gelap seseorang adalah kecantikan atau ketampanan, kekayaan, kepandaian, kebangsawanan, usia muda, minum keras dan keberanian, semuanya itu menyebabkan pikiran menjadi gelap bagi manusia, jika ada orang kaya, tampan atau cantik, pandai, keturunan bangsawan dan berusia muda, kalau tidak mabuk dan gelap karena semua itu maka ia adalah seorang mahardika, sungguh-sungguh seorang bijak sana tiada tandingnya. Berikut bagian dari Sapta Timira :
  1. Surupa
  2. Dhana
  3. Guna
  4. Kulina
  5. Yowana
  6. Suna
  7. Kasuran
  1. Surupa artinya kecantikan atau ketampanan. Kecantikan atau ketampanan yang dibawa sejak lahir merupakan anugrah Ida Sang Hyang Widhi yang maha pengasih dan maha penyayang. Seseorang yang cantik atau tampan tidak boleh takabur atas kecantikan atau ketampanan yang dimilikinya, karena sesungguhnya tidak kekal. Kecantikan  atau ketampanan itu harus disertai dengan keluruhan budhi, bila tidak demikian tidak ada nilainya atau harganya, bahkan dapat menimbulkan kegelapan dan kemabukan atau kesombongan. Hendaknya surupa itu tidak dibiarkan  menjadi penyebab kehancuran
  2. Dhana artinya kekayaan, kekayaan disebut juga artha. Kekayaan sesungguhnya berguna bagi siapapun, karena orang berlomba-lomba berusaha bekerja keras untuk dapat memiliki kekayaan itu. Namun disamping besar gunanya juga besar godaannya. Sering kali kekayaan yang dimiliki seseorang dapat menimbulkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Agama. Karena pengaruh kekayaan orang sering menjadi sombong, angkuh, menghina orang lain, mengumbar hawa nafsu dan lupa diri. Karena itu pergunakan kekayaan itu untuk kepentingan yang sesuai dengan ajaran Agama.
  3. Guna artinya kepandaian, kepandaian diusahakan oleh setiap orang karena kepandaian dapat meringankan seseorang dalam menempuh segala macam suka dan duka kehidupan di dunia ini. Namun kepandaian dapat membahayakan, bila tidak diimbangi dengan budhi pekerti yang luhur. Bila salah menggunakan kepandaian akan menimbulkan kelakuan yang terlarang, seperti : menipu, memfitnah, memperalat orang, pengacau, mengadu domba, provokator, membuat isu-isu yang dapat menimbulkan keresahan pada masyarakat. Karena itu usahakan agar kepandaian yang dimiliki betul-betul merupakan pelita hati yang menerangi kegelapan pikiran.
  4. Kulina artinya keturunan, keturunan mempunyai arti yang penting dari keturunan seseorang mengetahui lelurhurnya utama boleh bersyukur karena leluhurnya menjadi orang yang terhormat, terpandang, namun jangan sampai takabur, sombong, angkuh, dan menghina orang lain, lebih-lebih sampai menganggap orang lain rendah dan bodoh. Orang yang demikian sesungguhnya adalah hatinya gelap, dengan demikian sikapnya tidak dapat dibenarkan oleh masyarakat. Sesungguhnya kehormatan leluhur dijaga oleh keturuannya dengan kelakuan yang terhormat juga.
  5. Yowana artinya masa muda atau masa remaja, masa muda adalah penuh dengan kegairahan hidup, penuh dengan kesempatan untuk berbuat banyak terhadap apa yang sangat diharapkan oleh keluarga, masyarakat dan bangsa. Namun pada masa muda ini seorang sering belum punya keseimbangan, atau masih goyah, penuh dengan keraguan, belum tahu kemana arah hidupnya kelak. Untuk mencari keseimbangan itu orang berbuat, dan alam perbuatan itu sering tidak terarah, sering keliru, seperti : melanggar kesopanan, melanggar kesusilaan sehingga dapat merugikan orang lain dan dirinya sendiri. Bila demikian halnya berarti Yowana atau masa muda itu dapat menimbulkan kegelapan pikiran. Karena itu pergunakan masa muda ini dengan sebaik-baiknya dan jangan sia-siakan , demikian pustaka  Saramuscaya memberikan pedoman. Masa muda ini adalah masa menuntut ilmu bekerja keras, beraktivitas yang baik, menciptakan sesuatu yang berguna bagi masyarakat dan lain-lainnya.
  6. Sura artinya minuman keras. Yang termasuk minuman keras antara lain: tuak, arak, berem, bir, dan lain-lain. Minuman keras itu kalau diminum melebihi dari keperluan tubuh dapat menyebabkan mabuk. Minuman keras yang berlebihan dapat merusak syaraf, dan bisa syaraf terganggu pikiranpun menjadi tidak waras. Pikiran yang tidak waras dapat menimbulkan keonaran, perkelahiran dan sebagainya. Karena itu waspadalah terhadap minuman keras, dan minumlah minuman yang berguna bagi kesehatan tubuh.
  7. Kasuran artinya keberanian, keberanian perlu dimiliki oleh seseorang karena hidup ini adalah sesuatu perjuangan maka dari itu keberanian sangat penting, yaitu keberanian yang wajar-wajar seperti keberanian mengemukakan pendapat, keberanian membela kebenaran. Namun bila keberanian diterapkan di luar kewajaran akan menimbulkan kegelapan dan tindakan yang brutal. Seperti keberanian berkelahi, keberanian menantang guru, keberanian berbuat jahat, semuanya akan menimbulkan penderitaan hidup yang merugikan diri sendiri dan juga merugikan orang lain.

Selasa, 11 Oktober 2016

PENUNGGUN KARANG

Om Swastyastu

Semoga Damai Dalam Lindungan Brahman

Penunggun Karang, dalam beberapa susatra dijelaskan bahwa yang distanakan di sana adalah Hyang Bahu Rekso, artinya yang menjadi penguasa alam secara niskala tempat atau wilayah tersebut. Jadi yang distanakan di Penunggu Karang tidak dapat diimport dari tempat lain apalagi dari Bali. Penunggu Karang bersifat local genius, punya batasan teritorial (batasan kekuasaan).
Jika melaspas atau ngelinggihan membutuhkan kepekaan dari seorang pinandita/pandita untuk tahu siapa yang menjadi penguasa tempat itu. Semua penguasa alam seperti Hyang Bahu Rekso, diketuai oleh Deva Ganesha, jadi Hyang Bahu Rekso dikelompokkan ke dalam GANA BHALA (pasukan Gana),
Jadi kalau di rumah menstanakan Ganesha itu sangat baik karena Ganesha meiliki multifungsi diantaranya adalah:

Sebagai VIGHNASVARA:
Penghalau segala rintangan (OM VAKTRA TUNDA MAHA KAYA SURYA KOTI SAMAPRABHA NIRVIGHNA KURUME DEVA SARVA KARYESU SARVADAM). makanya para Balian meuja Beliau agar dapat menghilangkan penyakit. Sebagai SIDDHI DATA: sebagai pemberi kesuksesan, (SARVA KARYESU SARVADAM).

Sebagai VINAYAKA:
Lambang kecerdasan (intelek), makanya dijadikan simbol pengetahuan, dan baik untuk anak-anak.

Sebagai BUDHIPRADAYAKA:
Memantapkan kebijaksanaan setiap Vaidika Dharma (pencari kebenaran),

sebagai LAMBODARA:
Sumber kemakmuran. Akan lebih baik kalu di Penunggu Karang dilinggihkan Arca Ganesha (devanya para Bahu Rekso), daripada tidak tahu siap yang distanakan. ada beberapa mantra untu Ganesha selain yg diatas:

Gayatri Ganesha:
1)OM EKA DANTHA YA VIDMAHE, VAKTRA TUNDA YA DHIMAHI, TANNO DANTIH PRACCODAYAT
2)OM TAT PURUSA YA VIDMAHE VAKTRA TUNDA YA DHIMAHI TANNO DANTIH PRACCODAYAT.
3)OM TAT KARTAYA YA VIDMAHE HASTA MUKHA YA DHIMAHI TANNO DANTIH PRACCODAYAT.

Ganesha Stava:
OM NAMOSTUTE GANAPTI SARVA VIGHNA VINASANAM SARVA KARYA PRASIDDHAYATU NAMO KARYAM PRASIDDHATAM
Japa Ganesha: OM GAM GANAPATAYE NAMAHA / OM SHRI GANESHA YA NAMAHA.
semoga bermanfaat.

Om Shantih Shantih Shantih Om

PANCA DATU


Panca Datu dan Perjalanan Maharesi Markandeya

Bila kita membaca kisah perjalanan Maharsi Markandeya(yang dijadikan panutan di Pesraman Batu Ngadeg Narayana dengan konsep Waisnawa) tampak jelas dimana keberhasilannya untuk merabas Pulau Bali adalah dengan membawa Panca Datu dan menanamnya di Pura Basukian atau Besakih sekarang. Kok bisa hanya membawa lima jenis logam dapat selamat merabas Pulau Bali yang dulunya terkenal angker dengan roh-roh jahatnya ?

Ini merupakan petunjuk/wahyu yang didapat oleh beliau di lereng Gunung Raung (Jatim) atas petunjuk Dewa Brahma dalam manifestasi beliau sebagai Sang Hyang Pasupati. Ada apa dengan Panca Datu? Seperti yang anda ketahui panca Datu adalah lima jenis logam mulia yang dipakai biasanya ditanam di tanam sebelum membangun suatu pura. Upacaranya dinamakan "mendem pedagingan (mengisi inti). Logam-logam itu antara lain adalah Emas, Perak, Besi,Perunggu dan timah atau beberapa sumber menjelaskan logam-logam tersebut adalah: mirah permata, emas, perak, perunggu dan baja. Dalam postingan ini kami coba mengupas arti panca datu yang dikomparasi dari kajian kitab Weda, Lontar, ilmiah(sebagai sumber tertulis) dan wedangga(sumber lisan wahyu/tutur). Tujuannya bukan mencari kelemahan atau mengkritik satu sama yang lain, melainkan belajar untuk mengupas nilai-nilai Agama yang dapat digunakan dasar/isnspirasi untuk mengarungi samudera kehidupan yang luas ini.

Panca datu (lima jenis logam) sekarang telah menjadi suatu ritual resmi di Bali dalam rangka pemelaspasan/proses inisiasi energi ketuhanan ketika akan mentransformasi suatu pura yang baru selesai dibangun agar dapat dipakai untuk sembahyang (mentransfer energi/sinar suci ketuhanan). Begitu pula bagi pura yang telah lama berdiri, perlu di recharge energinya dengan upacara mupuk pedagingan, pedudusan dll. Kita tidak membahas fungsi panca datu sebagai bagian dari upacara melainkan kenapa Maharesi Markandeya hanya berbekal lima jenis logam dapat merabas pulau Bali? dan kenapa Maharesi diperintahkan menanamnya di pulau ini? ada apa dengan logam dalam konteks energi spiritual.

Sifat dan Energi Logam

Logam dan dunia spiritual/supranatural memang tidak bisa dipisahkan. kami berikan contoh "Keris" keris adalah salah satu jenis tradisional yang diposisikan paling tinggi statusnya, karena keris selain berfungsi untuk senjata penjaga diri juga berfungsi sosial sebagai lambang suatu jabatan, media supranatural dan prestise (kebanggaan pribadi/golongan). Banyak mitos yang lahir dari sosok "keris" ini keris ada yang diyakini mempunyai "roh", keris dianggap dapat memberikan kekuatan tertentu pada pemiliknya dll. Kebudayaan keris di Bali diperkirakan munculnya pada jaman Bali Arya dimana Bali mulai ada interaksi dengan Kerajaan di Pulau Jawa.
Olahan logam yang juga diyakini memiliki nilai spiritual/supranatural adalah gamelan/gong. Gamelan di Jawa dan Bali diyakini meiliki "roh" tertuma di instrumen "Gong"-nya. Di Jawa bahkan instrumen gong ini bersifat "laki perempuan" dan diberikan nama tertentu sedangkan di Bali bahkan ada upacara khusus terhadap instrumen "gong" yang dilakukan sebelum memulai memainkan gamelan.

Dari contoh di atas tampak jelas unsur logam merupakan media yang bagus untuk menyimpan energi-energi spiritual dibandingkan zat yang lain. Jika ditilik dari sifatnya menurut ilmuwan, bahwa logam sebagai suatu kristal terdiri dari ion positif logam dalam bentuk bola-bola keras dan sejumlah elektron yang bergerak bebas dalm ruang antara. Elektron-elektron valensi logam tidak terikat erat (karena energi ionisasinya rendah), sehingga relatif bebas bergerak. Hal ini dapat dimengerti mengapa logam bersifat penghantar listrik yang baik dan juga mengkilap.

Dalam kepercayaan di Bali logam tidak dicantumkan kedalam unsur pembentuk alam. Unsur pembentuk alam di Hindu dikenal sebagai Panca Maha Bhuta yaitu:
Pertiwi(tanah), apah(air), teja(api), bayu(udara), akasa(ether/zat kosong). Panca Maha Bhuta ini diciptakan dari unsur tenaga Tuhan yaitu:
Gandhatanmatra adalah benih unsur pertiwi, rasatanmatra benih unsur apah/air, rupatanmatra benih unsur teja/api, sparsatanmatra benih unsur bayu/udara dan sabdatanmatra benih unsur akasa.

Jika kita komparasikan dengan ilmu alchemy/alkimia. Alkimia (alchemy) adalah suatu seni abad pertengahan untuk menciptakan emas dari logam apa saja. Walau alkimia seolah-olah hanya menghasilkan ilusi akan tetapi tetap berperan besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan modern terutama ilmu kimia.

Menurut catatan, alkimia lahir di tanah mesir tepatnya Alexandria. Pada periode yang bersamaan, ilmu ini dikembangkan di daratan Cina. Alkimia dipengaruhi oleh teori yang disusun oleh Empedocles sekitar 5 abad sebelum masehi, yang mengatakan bahwa seluruh benda disusun dari udara, tanah, api dan air. Dari teori dasar pembentukan benda tersebut di atas, maka para filsuf terus mengembangkan Alkimia, seperti Zosimus (tahun 250-300), Aristoteles, Geber, Roger Bacon dari Inggris, Albertus Magnus dari Jerman, St. Thomas Aquinas dari Itali dan lain-lain.

Yang paling menarik adalah Philippus Paracelsus, ahli kimia dari Swiss yang menyatakan secara tegas bahwa segala hal dibentuk dari tanah, udara, air, api dan sebuah elemen yang “belum” diketahui. Jika elemen tersebut diketahui, maka diyakini bahwa manusia bisa “menciptakan apa saja” dari keempat elemen tersebut di atas. Setelah Paracelcus tiada, para ahli kimia di Eropa dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok yang berkonsentrasi pada usaha-usaha scientific untuk menemukan unsur dan reaksi yang baru sedangkan kelompok lain berkonsentrasi pada sisi metafisik dari alkimia kuno (kijeromartani.blogspot.com)

Sangat canggih ya, semua unusr ini kalo disatukan akan menjadikan emas, masalahnya unsur kelima akasa (ether) masih belum diketemukan/dimengerti sampai sekarang, tugas anda untuk mencarinya. Emas dalam alkimia yang dianggap tujuan akhirnya merupakan logam yang sangat indah warna kuning yang mengkilap sempurna menjadi idaman manusia dari jaman dulu. Terbukti di lukisan-lukisan Dewa atau yang tercantum dalam Weda (digambarkan para dewa berpakaian emas).

Jika dilihat dari kaca mata spiritual warna emas merupakan assosiasi dari sinar suci Tuhan, jadi pengolahan keempat unsur tadi plus unsur kelima akan membuat bumi/badan kita akan bersinar. Caranya bagaimana tentu membutuhkan pendalaman ajaran spiritual sesuai yang diinginkan.

kembali ke kelima unsur logam, jadi panca datu tersebut adalah pengolahan sinar suci tuhan yang ditanam di pulau Bali sehingga menghubungkan kepada Sinar yang tertinggin yatu Tuhan Yang Maha Esa. maka dengan menanam panca datu di pura yang baru berarti tanah pura tersebut telah diubah menjadi "emas" yang penuh dengan sinar-sinar kesucian Tuhan.

Panca Datu dalam Kajian Filsafat Agama

Seperti yang telah kami kemukakan di atas bahwa Panca Datu ditanam di tanah ketika akan "mensahkan" satu pura menjadi tempat suci yang dapat digunakan untuk sembahyang. Kenapa harus ditanam di tanah. Kita kembali lagi ke konsep Bhuwana Agung=Bhuwana Alit dan unsur pembentuknya sama yaitu Panca Maha Bhuta.

Nah kelima jenis panca datu ini merupakan penetralisir dari panca Maha Butha tersebut, jadi panca datu ini adalah "jangkar" atau sofware yang "diinstall ke dalam tanah" sehingga unsur tanah tersebut dalam memancarkan sinar kesucian. Tentu pada waktu-waktu tertentu "software tersebut wajib diupdate biar tidak terjakit "virus" yang merusak sistem.

Menurut pesraman Batu Ngadeg Narayana Panca Datu yang dibawa oleh Maharsi Markandeya secara filsafat berarti Panca(Lima) Datu=Dasar Tutur(dasar Filsafat/pondasi keimanan).

Apakah Dasar Tutur menurut pesraman? itu tidak lain dan tidak bukan adalah Lima pokok /tuntunan dasar beragama Hindu yaitu Panca Sradha. Yaitu: Percaya terhadap Brahman, percaya terhadap atman, percaya terhadap karma Phala, percaya terhadap Punarbawa/reinkarnasi/samsara, percaya terhadap moksa.

Jadi sesuai dengan wahyu/sabda yang didapat dengan membawa "panca Datu" ini dan kemantapan dalam menjalaninya membuat Maharsi markandeya sukses "merabas" Hutan sampai akhirnya sampai ke Tujuannya (Besakih).

Hutan disini tentu yang dimaksud adalah dinamika kehidupan di dunia fana ini dan tujuannya adalah kelepasan/kebahagiaan Abadi/ Moksa. itu yang didapat berdasarkan tutur/sabda/wahyu yang didapat.

Jadi logam-logam tadi perlambang itu semua:
Emas=percaya terhadap Brahman (unsur yang dianggap tertinggi/murni)
perunggu=percaya terhadap Atman (mirip kayak emas namun belum murni)
Besi=percaya dengan karmaphala (unsur yang paling gampang ditempa)
baja=percaya terhadap reinkarnasi (unusr terkuat/perlambang kita tidak bisa terlepas darinya)
mirah permata=percaya terhadap moksa (unusr mengikat sekaligus merupakan tujuan akhir)

Memang hal ini perlu didiskusikan tidak bisa didoktrin sebagai yang paling benar. Namun kami harapkan dengan membaca pemaparan kami anda dapat menyimpulkan sendiri atau bahkan mempunyai inspirasi untuk mengungkapkan apa arti panca datu tersebut menurut logika dan "rasa". Semoga bermanfaat.

Jumat, 07 Oktober 2016

Sloka Penciptaan dan Pralaya Bhuana Alit

a. Kitab Manawa Dharma Sastra 1.9
 “So’bhidhayaya carirat swatsisrksur wiwidhah prajah, apa ewasa sarja dan tasu bija mawa bijat”   

Artinya:
Ya Tuhan yang menciptakan dari dirinya sendiri semua makhluk hidup yang beraneka ragam, mula-mula dengan pikirannya, terciptalah air dan dan meletakkan benih-benih kehidupan pada air itu.

b. Kitab Bhagawad Gita XIV.3
“Mama yonir mahad brahma, tasmin garbham dadhamy aham sambhavah’sarwabhutanam tato bhavati bharata” 

 Artinya:
KandunganKu adalah Brahma Yang Esa di dalamnya Aku letakkan benih dan dari sanalah terlahir semua makhluk, wahai Bharata.

c. Kitab Manawa Dharma Sastra 1.41
“Ewwametairidam sarwam manniyoganmahatmabhih yathakarma tapoyogatsrstam sthawarajabggamam”  

Artinya :
Demikianlah semua ciptaan, yang bergerak maupun yang tidak bergerak, diciptakan oleh mereka yang Maha Atma dengan kekuatan tapanya, semuanya atas perintah-Ku dan menurut hasil daripada perbuatannya.  

d. Kitab Bhagawadgita III. 24
“Utsideyur ime loka, na kuryam ced aham, sankarasya ca karta syam, upahanyam imam prajah”  

Artinya :
Jika aku berhenti bekerja, dunia ini akan hancur lebur dan aku jadi pencipta keruntuhan memunashkan

TRI PRAMANA

Adalah mahluk hidup yang memiliki tiga kekuatan hidup yaitu; Bayu, Sabda dan Idep. Mahluk ini disebut juga Manusia. Bayu adalah kekuatan nafas, Sabda adalah kekuatan suara dan Idep kekuatan pikiran.
Diantara mahluk hidup hanya manusialah yang memiliki semua unsur ciptaan Tuhan secara lengkap. Baik unsur terhalus sampai unsur paling kasar.Yang membedakan antara manusia yang satu dengan yang lain adalah komposisi dan perimbangan unsur-unsur pembentukannya serta karmawasana yang telah dibentuknya.Manusia dapat diklasifikasikan menjadi :

1. Nara Marga : Manusia binatang, sudah memiliki pola pikir manusia tapi tubuhnya masih berupa binatang. Contohnya Narasinga (manusia berkepala singa).

2. Wamana : Manusia kerdil

3. Jatma Manusia : Manusia sempurna

Selain jenis manusia di atas, terdapat juga jenis manusia lainnya berdasarkan sifat dan jenis kelaminnya, yaitu;
 Berdasarkan jenis kelamin:

1. Manusia laki-laki (purusa)

2. Manusia perempuan (pradana)

3. Manusia banci (berjenis kelamin laki-laki namun bersifat perempuan)

Manusia disebut sebagai makhluk tertinggi, kelahirannya mengalami proses yang panjang. Dijelaskan bayi yang berada di kandungan terwujud akibat pertemuan Kama Petak (disebut Sukla, sel laki-laki yang disimbolkan dengan Sang Hyang Smara) dengan Kama Bang (disebut Swanita, sel perempuan yang disimbolkan dengan Dewi Ratih). Lontar Anggastyaprana menjelaskan pertemuan Kama Petaka dan Kama Bang disebut Sang Ajursulang. Luluhnya pertemuan tersebut disebut Sang Bubur Rumaket, pada saat itulah dating Sang Hyang Nilakanta menganugerahkan berkah bagaikan telur yang disebut Sang Antigajati atau Manik. Manik masuk ke dalam Garbha Pradhana (perut ibu) dan akhirnya mengendap dalam Kunda Cacupu Manik atau Iwapadha atau Mula Dhara (rahim). Selanjutnya Manik mengalami pertumbuhan dan kemudian lahir sebagai bayi (Bhuwana Alit).

Dwi Pramana

Adalah mahluk hidup yang memiliki dua kekuatan hidup yaitu Bayu dan Sabda. Mahluk ini dikenal dengan nama Satwa atau Sato.. Adapun yang tergolong dalam Sato adalah :
1. Swedaya yaitu binatang bersel Satu.
2. Andaya yaitu binatang bertelur.
3. Jarayuja yaitu binatang menyusui.

Eka Pramana

Yaitu mahluk hidup yang hanya memiliki satu kekuatan dalam hidupnya yaitu Bayu. Mahluk hidup ini juga dikenal dengan nama Sthawara yaitu mahluk hidup yang tidak berpindah-pindah seperti tumbuhan. Termasuk dalam golongan Sthawara adalah :
1. Trna yaitu bangsa rumput baik yang hidup di air maupun di darat.
2. Lata adalah tumbuhan menjalar di tanah atau di pohon.
3. Taru yaitu semak dan pepohonan.
4. Gulma adalah bangsa tumbuhan yang bagian luar pohon berkayu keras dan bagian dalam berongga atau kosong.
5. Jangama yaitu tumbuhan yang hidupnya menumpang pada pohon lain.

Sloka Proses Penciptaan dan Pralaya Bhuana Agung

Penggambaran jagat raya termasuk proses penciptaannya banyak diuraikan dalam beberapa kitab suci Hindu Seperti Brhad Aranyaka Upanisad, Brahmanda Purana, Agastya Parwa dan sebagainya.

Dalam Bhagawadgita BAB VII Sloka 6 di sebutkan : 
Etadyonini bhutani Sarwani ty upadharaya Aham kritsnasya jagatah Prabhawah pralayas tatha 
Artinya : 
Ketahuilah bahwa semua mahkluk Adanya berasal garba ini Aku adalah asal mula dan peleburnya Alam Semesta ini Maknanya : Mahkluk Hidup dan Alam Semesta ini adalah berasal dari tuhan, serta leburnya Mahkluk Hidup dan Alam Semesta adalah kehendak Tuhan.

Dalam Bhagawadgita BAB IX Sloka 4 di sebutkan : 
Maya tatam idam sarwam Jagad awyaktamurtina Matsthani sarwabhutani Na ca ham tesaw awasthitah
Artinya : 
Alam semesta ini diliputi oleh Aku Dengan wujud Aku yang tak nyata Semua mahkluk ada padaku Tetapi aku tidak ada pada mereka Maknanya : Alam Semesta dan semua Mahkluk Hidup berada pada Tuhan, tetapi Beliau tidak ada pada Mahkluk Hidup tersebut, dan Tuhan meliputi mereka dengan wujud yang tidak nyata

Dalam Bhagawadgita BAB IX Sloka 10 di sebutkan :
Maya dhyaksena prakritih Suyate sacaracaram Hetuna nena kaunteya Jagad wipari wartate 
 Artinya : 
Alam Semesta ini dibawah pengawasan prakertiKu Menjadikan segala sesuatu yang bergerak dan yang tidak bergerak Oh Kantiputra Dengan ini dunia berputar Maknanya : Tuhan menciptakan Alam Semesta ini dengan prakerti Beliau. Dengan itu Beliau dapat menciptakan benda bergerak dan yang tidak bergerak, sehingga dunia ini berputar.

Dalam Bhagawadgita Sloka 11.32 di sebutkan :
Sri Bhagavan uvaca Kalo smi loka ksaya krt pravrddho Lokan samahartum iha pravrttah Rte pi tvam na bhavisyanti sarve Ye vasthitahpratyanikesu yodhah 
Artinya : 
Tuhan Yang Maha Esa bersabda : Aku adalah waktu, penghancur Besar dunia-dunia, dan Aku datang kesini untuk menghancurkan Semua orang, kecuali kalian (Para Pandawa), semua ksatria di sini Dari kedua belah pihak akan terbunuh. Maknanya : Setiap orang yang berbuat baik dan berbakti kepada Tuhan, maka mereka akan terselamatkan dari bahaya. Dan jika sebaliknya, orang-orang yang berbuat jahat akan terbunuh pada saat terjadinya Pralaya (Kehancuran).

TERJADINYA BHUANA AGUNG

     Menurut ajaran Agama Hindu, alam semesta berasal dari Bhatara Siwa yang disebut juga Rudra, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Prosesnya dimulai dari yang paling halus/gaib kemudian menjadi lebih kasar/nyata. Disebutkan ada 12 tahapan dengan istilah “Tattwa Rwawelas” yakni: Bhatara Siwa (Rudra), Sang Purusa (Brahman), Awyakta (Wisnu), Budhi yang bersifat sattwa, Ahamkara yang bersifat rajah, Panca Tan Matra yang bersifat tamah, Manah, Akasa, Bayu, Agni, Apah, dan Perthiwi. Bhuana Agung diciptakan secara bertahap. Berawal dari kekuatan tapa-Nya, terciptalah dua kekuatan yang disebut Purusa (Unsur dasar yang bersifat kejiwaan atau rohani) dan Prakerti (Unsur dasar yang bersifat kebendaan atau jasmani).
     Selanjutnya dari pertemuan Purusa dan Praketri munculah zat yang sangat halus yang disebut dengan “citta”. Citta yang terpengaruh oleh kekuatan Tri Guna yaitu Sattwam, Rajas, dan Tamas sehingga terciptalah unsur Buddhi, Manah dan Ahamkara. Pada tahapan berikutnya setelah muncul Tri Guna terciptalah dasendriya oleh kekuatan tapa-Nya Brahman, maka muncullah Panca Tan Matra yaitu lima unsur zat yang bersifat halus. Dari unsur-unsur Panca Tan Matra inilah muncul Panca Maha Bhuta yaitu lima macam unsur zat alam yang bersifat lebih kasar dari Panca Tan Matra. Panca Maha Bhuta berevolusi serta menyempurnakan bentuknya dan terciptalah Brahmanda-Brahmanda yang salah satunya adalah Bumi. Bumi sebagai sebagai tempat makhluk hidup keberadaannya berlapis-lapis.

Lapisan menuju ruang jagat raya disebut “Sapta Loka” yang terdiri dari:
a) Bhur Loka (alam manusia)
b) Bhuwah Loka (alam pitra)
c) Swah Loka (alam dewa)
d) Maha Loka
e) Jana Loka
f) Tapa Loka
g) Satya Loka (ruang vakum = Nirgunan Brahman)

Lapisan menuju inti Bumi atau “Kalagni Rudra” disebut “Sapta Patala” yang terdiri dari :
a) Atala
b) Vitala
c) Sutala
d) Talatala
e) Mahatala
f) Rasatala
g) Patala

      Demikian Agama Hindu menjelaskan tentang asal mula terjadinya unsur-unsur bhuana agung yang pada mulanya bersifat sangat halus. Pada masa “Srsti” dievolusi oleh Tuhan sehingga menjadi mengeras, dan pada saat “Pralaya” nanti diolah lagi oleh Tuhan untuk dikembalikan pada sifat yang sangat halus itu melalui hukum-Nya yang disebut dengan “Rta”.

UNSUR-UNSUR BHUANA AGUNG

Proses terjadinya alam semesta “Bhuana Agung” tersebut terdiri dari beberapa unsur, antara lain : Sang Hyang Widhi Asal mula dari alam semesta ini. Beliau berkeadaan sunya (sepi), yang ada mutlak, absolut, kekal, abadi dan sangat abstrak. Tapa Pemusatan tenaga pikiran yang terkeram sehingga menimbulkan panas yang memancar, dengan tapa Beliau menciptakan alam semesta ini beserta isinya. · Sang Purusa (Brahma) Merupakan benih kehidupan. Beliau bersifat abadi “nitya”, tidak dapat ditangkap dengan indriya, tidak dapat dibayangkan “inangenangen”.  Awyakta (Wisnu) Asas material, kebendaan, yang tanpa kejiwaan. Awyakta merupakan Pradhana atau Prakerti sebagai sumber material. Buddhi Bersifat sattwam yang merupakan asas intelegensi dari kesadaran. Ahamkara Bersifat rajah yang merupakan asas kesendirian “individualis” yang bersifat mengaku lebih dan tidak mau merendah. Manah Alam pikiran yang gunanya untuk berpikir. ·

Panca Tan Matra Panca Tan Mantra adalah lima benih unsur yang sangat halus, terdiri dari :

a. Sabda Tan Mantra adalah benih suara
b. Rupa Tan Mantra adalah benih dari sari warna
c. Rasa Tan Mantra adalah benih sari rasa
d. Gandha Tan Mantra adalah benih sari bau
e. Sparsa Tan Mantra adalah benih sari raba, sentuhan ·

Panca Maha Bhuta Setelah melalui proses evolusi yang amat panjang maka lahirlah lima unsur yang lebih kasar yang disebut Panca Maha Butha yang terdiri dari :

a. Akasa atau Ether timbul dari sabda dan sparsa tan mantra : angkasa.
b. Bayu atau hawa timbul dari sabda dan sparsa tan mantra : udara.
c. Teja atau panas timbul dari sabda dan rupa tan mantra : matahari, api.
d. Apah atau cair timbul dari sabda, sparsa, rupa dan rasa tan mantra : air.
e. Pretiwi atau padat timbul dari kelima unsur tan mantra : tanah, batu.

SLOKA PENCIPTAAN BHUANA AGUNG

Kitab suci weda dan sastra Agama Hindu lainnya banyak menjelaskan tentang terciptanya alam semesta ini, sloka-sloka tersebut antara lain :

“Idam wa agranaiwa kincit, sadwa saumnya idam agra asit, ekam eva adwitya”. 
                                                                                               (Chandogya Upanisad) 

Artinya :
Sebelum diciptakan alam semesta ini tidak ada apa-apa. Sebelum alam semesta diciptakan hanya Ida Sang Hyang Widhi yang maha ada, Maha Esa tiada duanya.

“Asididam tamobhutamaprajnatam alaksam apratarkya mawijneyam prasuptaniwa sarwatah”. 
                                                                                                 (Manawa Dharmasastra 1.5) 
Artinya :
Alam Semesta ini pada mulanya adalah bentuk kegelapan, tak dapat dilihat tanpa ciri-ciri sama sekali, tak kan terjangkau oleh daya pikiran, tak dapat dikenali, seolah-olah sebagai orang yang tenggelam dalam tidur yang paling nyenyak.

TERJADINYA BHUANA ALIT

      Setelah Ida Sang Hyang Widhi Wasa mencipakan alam semesta (Bhuana Agung) maka berkehendaklah Beliau menciptakan isinya seperti manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan yang lainnya. Makhluk hidup diciptakan mulai dari yang terendah sampai dengan makhluk hidup yang tertinggi. Makhluk hidup yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa setelah terciptanya alam semesta ini dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
a. Kelompok Eka Pramana, yaitu makhluk hidup yang memiliki satu kekuatan dalam hidupnya yakni Bayu. Makhluk hidup ini disebut “Sthawara”, yaitu makhluk hidup yang tidak dapat berpindah-pindah seperti tumbuh-tumbuhan. Yang tergolong “Sthawara” adalah:

1) Trana (bangsa rumput)
2) Lata (bangsa tumbuhan menjalar)
3) Taru (bangsa semak dan pepohonan)
4) Gulma (bangsa pohon yang bagian luar pohon bersangkutan berkayu keras dan bagian dalamnya berongga atau kosong)
5) Janggama (bangsa tumbuhan yang hidupnya menumpang pada pohon yang lain)

b. Kelompok Dwi Pramana, yaitu makhluk hidup yang dalam hidupnya memiliki dua kekuatan yakni Bayu dan Sabda. Makhluk hidup ini disebut Satwa atau Sato yaitu bangsa binatang yang pada umumnya bersifat buas, namun diantaranya ada yang bersifat jinak terutama yang mendapat pendekatan secara manusiawi. Yang tergolong Satwa atau Sato:
1) Swedaya (bangsa binatang bersel satu) 
2) Andaya (bangsa binatang yang bertelur)
3) Jarayudha (bangsa binatang yang menyusui)

c. Kelompok Tri Pramana, yaitu makhluk hidup yang memiliki tiga kekuatan dalam hidupnya yakni Bayu, Sabda, dan Idep. Makhluk hidup ini disebut Manusya. Manusya atau manusia adalah makhluk yang paling sempurna karena telah memiliki pikiran. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna diklasifikasikan sebagai berikut:
1) Nara Mega (manusia binatang)
2) Wamana (manusia kerdil)
3) Jatma (manusia yang paling sempurna)

Jenis-jenis manusia antara lain: 
1) Manusia laki-laki (Purusa)
2) Manusia perempuan (Pradana)
3) Manusia banci Manusia sebagai makhluk tertinggi kelahirannya mengalami siklus yang panjang.

     Mulai dari bayi dalam kandungan berkat pertemuan antara Kama Petak/Sukla dan Kama Bang/Swanita. Kama Petak/Sukla adalah sel laki-laki atau sperma yang disimbulkan dengan Sang Hyang Smara. Kama Bang/Swanita adalah sel wanita atau telur/ovum yang disimbulkan dengan Dewi Ratih.
     Dalam Lontar Anggastyaprana, pertemuan Kama Petak dengan Kama Bang disebut Sang Ajursulang. Sampai akhirnya pertemuan tersebut membentuk sygote dan mengalami proses pertumbuhan dalam rahim sang ibu yang semakin hari semakin membesar serta mengubah dirinya sehingga akhirnya membentuk dan lahirlah seorang bayi “Bhuana Alit”. Kelahiran manusia sebagai makhluk hidup (Bhuana Alit) merupakan wujud yang mulia karena semuanya itu bersumber dari Tuhan. Dengan demikian kita hendaknya mensyukuri dan mengabdikan diri demi kepentingan dharma.

UNSUR-UNSUR BHUANA ALIT

Bhuana Alit dan Bhuana Agung diciptakan oleh Tuhan dengan unsur yang sama yaitu “Purusa” dan “Prakrti”. Purusa menjadi jiwatman yang disebut sukma sarira atau lingga sasira. Sedangkan Prakrti menjadi badan kasar atau Sthula sarira. Dalam menggerakan perbuatan baik dan buruk Bhuana Alit (khususnya manusia) memiliki sepuluh indria yang disebut Dasendriya, yang terdiri dari :

a. Panca Budhindriya, yaitu lima macam indriya yang terdapat pada manusia untuk mengetahui sesuatu, terdiri dari sebagai berikut : 
1. Caksuindriya (Indriya pada mata)
2. Srotendriya (Indriya pada telinga)
3. Ghranendriya (Indriya pada hidung)
4. Jihwendriya (Indriya pada lidah)
5. Twakindriya (Indriya pada kulit)

b. Panca Karmendriya, yaitu lima macam indriya yang ada pada manusia yang berfungsi untuk melakukan sesuatu, terdiri dari sebagai berikut :
1. Panindriya (Indriya pada tangan)
2. Padendriya (Indriya pada kulit)
3. Garbhendriya (Indriya pada perut)
4. Upasthendriya / Bhagendriya (Indriya pada kelamin laki-laki dan perempuan)
5. Payuindriya (Indriya pada anus)

Sthula Sarira terjadi sebagai akibat Panca Tanmatra yang berevolusi, berubah secara perlahan-lahan menjadi Panca Maha Bhuta pada Bhuana Alit. Perubahan yang dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Sabda Tanmatra : rongga dada, ronga mulit.
b. Sparsa Tanmatra : nafas, udara.
c. Rupa Tanmatra : panas badan (suhu), sinar mata.
d. Rasa Tanmatra : darah, lemak, kelenjar empedu.
e. Gandha Tanmatra : tulang, otot, daging.

Terkait dengan Sthula Sarira atau badan kasar manusia disebutkan memiliki unsur-unsur lainya seperti berikut :
a. Sad Kosa, yaitu enam lapis pembungkus Sthula Sarira manusia yang terdiri dari asti (tulang), Odwad (otot), Mamsa (daging), Rudhira (darah), dan Carma (kulit).

b. Dasa Bayu atau dasa Prana, yaitu sepuluh macam udara badan yaitu :
1. Prana (udara pada paru-paru)
2. Samana (udara pada pencernaan)
3. Apana (udara pada pantat)
4. Udana (udara pada kerongkongan)
5. Byana (udara yang menyebar ke seluruh tubuh)
6. Naga (udara pada perut)
7. Kumara (udara yang keluar dari badan, tangan dan jari)
8. Krakara (udara pada saat bersin)
9. Dewadatta (udara saat menguap)
10. Dananjaya (udara yang memberi makan pada badan)

     Selain unsur-unsur tersebut, terdapat lima macam unsur yang ada pada Suksma Sarira yang disebut “Panca Mayakosa” yang merupakan unsur pembungkus Suksma Sarira manusia yang bersifat sangat halus yaitu :
a. Anamaya Kosa (unsur pembungkus dari sari makanan)
b. Pranamaya Kosa (unsur pembungkus dari sari nafas)
c. Wijnanamaya Kosa (unsur pembungkus dari pengetahuan)
d. Manomaya Kosa (unsur pembungkus dari pikiran)
e. Anandamaya Kosa (unsur pembungkus dari kebahagiaan)

SLOKA PENCIPTAAN BHUANA ALIT

Proses terciptanya Bhuwana Alit dijelaskan oleh beberapa kitab dan sastra Agama Hindu, antara lain :

“So’bhidyaya carirat swatsisrksur wiwidhah prajah, apa ewasa sarja dan tasu bija mawa bijat” 
                                                                                               (Manawa Dharmasastra 1.9) 
Artinya : 
Ya Tuhan yang menciptakan diri darinya sendiri semua makhluk hidup beraneka ragam, mula-mula dengan pikirannya, terciptalah air dan meletakan benih-benih kehidupan pada air itu.

“Mama yonir mahad brahma, tasmin garbham dadhamy aham sambhavah’ sarwabhutanam tato bhavati bharata”. 
                                                                                                  (Bhagawadgita XIV.3) 
Artinya : 
KandunganKu adalah Brahma Yang Esa di dalamnya Aku letakan benih dan dari sanalah terlahir semua makhluk, wahai

PRALAYA BHUANA AGUNG DAN BHUANA ALIT

     Ketika alam semesta ini meniada disebut “Pralaya” atau “Brahma Nakta” atau malam hari Brahma. Berdasarkan pendekatan agama “Alam Semesta atau Bhuana Agung” beserta “isinya atau Bhuana Alit” diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang bergelar “Rudra” dan juga dikembalikan pada asalnya oleh Beliau. Jika masa Srsti digabungkan dengan masa Pralaya maka disebut satu hari Brahma atau satu “Kalpa”. Menurut perhitungan bahwa satu kalpa itu kurang lebih 432 juta tahun, yang juga disebut dengan satu tahun Tuhan.

“Utsideyur ime loka, na kuryam karma ced aham, sankarasya ca karta syam, upahanyam imah prajah”. (Bhagawadgita III.24)

Artinya :
Jika Aku berhenti bekerja, dunia ini akan hancur lebur, dan aku jadi pencipta keruntuhan memusnahkan manusia ini semua.

    Gambaran pada waktu terjadinya “Pralaya” dapat dinyatakan sebagai berukut : Hancurnya ikatan kesatuan api atau matahari “teja” lalu menyebar ke seluruh ruangan besar yang mengakibatkan udara menjadi panas dan terus membara akibatnya “air” yang ada menguap dan habis.
     Oleh karena itu, semua makhluk hidup akan mati dan hancur. Zat logam atau batu”tanah” yang ada di bumi dan planet-planet lainnya hancur menjadi cair dan menguap oleh panas yang dahsyat. Panca Maha Bhuta kembali menjadi “atom-atom” dalam wujud yang amat sangat kecil sekali.

HUBUNGAN BHUANA AGUNG DAN BHUANA ALIT

Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lain. Hubungan itu dapat diuraikan minimal sebagai berikut :

a.Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit diciptakan oleh pencipta yang sama. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi pada masa Srsti dan akan kembali kepada-Nya pada masa Pralaya.

b.Bhuwana Agung dan Bhuana Alit memiliki unsur-unsur yang sama. Dalam proses penciptaan meskipun ada perbedaan waktu antara penciptaan alam semesta dengan mahluk yang ada di dalamnya, tetapi unsur-unsur pembentukannya adalah sama.

c.Bhuwana Agung dan Bhuawana Alit saling melengkapi. Mahluk hidup diciptakan berada dan berkembang pada alam semesta. Alam dilengkapi dengan berbagai ornament untuk kehidupan dan perkembangan mahluk hidup. Proses saling melengkapi ini telah diatur dengan hukum Brahman ( Rta ). Untuk alam ditata dan diatur dengan hukum alam, seperti rotasi bumi dan matahari, siklus perputaran air ( hidrologi ), siklus perputaran musim dan sebagainya. Sedangkan manusia ditata dan diatur dengan hukum karma yang didalamnya dibekali ilmu pengetahuan dan ajaran agama. Dengan demikian alam akan melengkapi kebutuhan manusia dan manusia erupakan bagian dari alam.

d.Bhuana Agung dan Bhuana Alit saling mempengaruhi. Karena Bhuana agung dan bhuana alit memiliki unsur-unsur yang sama maka dalam proses hubungannya akan saling mempengarui. Pribadi, budaya masyarakat serta kegiatan fisik manusia sangat dipengaruhi oleh alam. Alam memiliki unsur Triguna juga akan mempengaruhi semua pribadi dan aktivitas manusia. Alam memiliki musim maka manusia akan mengatur hidup dan fisiknya menyesuaikan dengan musim yang ada. Contoh sederhana manusia menciptakan kalender untuk pengaturan bercocok tanam bagi masyarakat agraris. Manusia menciptakan berbagai alat untuk menyesuaikan diri dengan kondisi alam. Sebaliknya segala aktivitas manusia juga dapat mempengaruhi kondisi alam. Kondisi sekarang dengan ulah sebagian manusia yang merusak alam dan membabat habis hutan menyebabkan rusaknya siklus perputaran air. Pembangunan yang tidak memperhitungkan tata lingkungan menyebabkan bencana alam banjir dan kebakaran. Intinya bahwa aktivitas manusia dipengaruhi oleh alam dan sebaliknya aktivitas manusia tersebut akan mempengaruhi alam.

Rabu, 28 September 2016

Pengertian Pura

Pura merupakan tempat suci Umat Hindu. Pura biasanya didirikan di tempat yang sekelilingnya asri seperti laut, gunung, goa, hutan dan sebagainya. Penyebutan nama tempat suci dalam Ajaran Hindu tidak secara gamblang. Tempat suci atau pemujaan ini disebut devalaya, devasthana, deval atau deul yang berarti rumah para dewa. Beberapa istilah tempat suci Umat Hindu di belahan bumi ini adalah:  Mandir atau Mandira (Bahasa Hindi)  Alayam atau Kovil (Bahasa Tamil)  Devasthana atau Gudi (Kannada)  Gudi, Devalayam atau Kovela (Bahasa Telugu)  Puja Pandai (Bahasa Bengali)  Kshetram atau Ambalam (Malayayam)  Candi (Jawa, merupakan bangunan kuno) Tempat suci menurut Hindu mempunyai 2 (dua) pengertian yaitu tempat suci karena kondisi alam (sendirinya) dan tempat suci karena disucikan atau dibangun. Tempat suci karena sendirinya adalah puncak gunung, sumber mata air. Sedangkan tempat suci yang dibangun adalah Pura. Etimologi Kata ‘Pura’ berasal dari akhiran Bahasa Sansekerta (-pur, -puri, -pura, -puram, -pore) yang artinya kota, kota berbenteng, kota dengan menara atau istana. Dalam perkembangannya di Pulau Bali, istilah ‘Pura’ menjadi khusus untuk tempat ibadah, sedangkan kata ‘puri’ menjadi tempat tinggal bagi para raja dan bangsawan. ‘Pura’ yang berarti keraton atau istana raja, kata ini banyak dijumpai di Bali pada saat pemerintahan Dalem Kresna Kepakisan, seperti Linggarsapura di Samprangan, Swecapura di Gelgel, Semarapura di Klungkung, Bandanapura (Badung), Kawyapura (Mengwi). ‘Pura’ sebagai tempat pemujaan dimulai pada jaman sebelum Dalem Kepakisan, Rsi Markandeya mendirikan Pura Besakih. Pada abad XI Empu Kuturan mempopulerkan Pura dengan Pura Kahyangan Tiga (Pura Desa, Puseh dan Dalem) dan tempat memuja Sang Hyang Widhi yang disebut Meru. Pada jaman Dang Hyang Dwi jendra, tempat memuja Sang Hyang Widhi disebut Padmasana.

Rangkuman (Sari Cerita) : KAKAWIN ARJUNA WIWAHA Karya Mpu KANWA

KAKAWIN ARJUNAWIWAHA Karya MPU KANWA Pujangga Kerajaan KADIRI BAGIAN PERTAMA : Penulisan Kakawin Ini adalah Arjunawiwaha, yaitu kakawin yang suci dan indah, hasil karya Pujangga Kawi Empu Kanwa, yang telah mengikat cerita (sampun keketan ing katha), bagaikan menguntai permata, dan merangkai sajak (angiket bhasa rudita), seperti merangkai ikatan bunga (angiket sekar taji). Semuanya dituliskan pada papan, rapi, berupa goresan (rinekaken munggw ing wiletanan aradin warna cacahan), sebagai hasil karya pujangga agung yang telah menyusun, dan menghasilkan kidung bersyair (tumatametu-metu kakawin), yang keluar dari puncak budi (tungtung ing hidep), dan keluar dari batu-tulis (tungtung ing tanah). Maka kakawin ini adalah karya-sastra agung yang dipersembahkan bagi Sri Paduka Raja, yaitu sebagaimana disebutkan … "Sembah kehadapan Sri Airlangga. Dia yang dipuja sampai patah batu-tulis, memberi restu" (Sri Airlanggha namastu sang panikelanya tanah anumata). Sang Pujangga Kawi menggalang keindahan dengan kiasaan kata yang mengungkapan kiasan (alamkara), dan hiasan permainan kata dengan bunyi yang rumit (sabdalamkara), serta hiasan permainan arti yang menyarankan makna berganda (arthalamkara). Ia membukanya dengan pujaan (asir, manggala), diikuti rangkaian satuan kisah yang terdiri dari perundingan (mantra), utusan (duta), keberangkatan pasukan (prayana), pertempuran (aji), dan kemenangan Sang Pahlawan (nayaka bhyudaya). Dibubuhkannya lukisan alam pegunungan (saila), laut (arnawa), dan kota (nagara), berikut gambaran musim (rtu), dan terbitnya bulan (candrodaya), ketika berlangsung permainan di taman (udyanakrida) dan di air (salilakrida). Diungkapkannya pula ajaran tentang kewajiban hidup (dharmasastra) dan kesejahteraan hidup (arthasastra). Kemudian diutarakannya adegan percintaan, yang dipenuhi dengan rasa asmara (srngararasa), ulah cinta penuh kesenangan (sambhogasrngara), dan kesedihan karena perpisahan atau penolakan (vipralambha), yang diakhiri dengan keadaan yang menyenangkan (rdhimat). Adapun di dalam menulis diramunya pembukaan (mukha), yang mengandung benih cerita (bija), diikuti dengan pembukaan kembali (pratimukha), perkembangan yang menjadi kandungan cerita (garbha), pertimbangan (vimarsa), untuk menyingkirkan halangan (avamarsa), dan kesimpulan cerita (nirvahana). Maka itulah yang disebut kelima sendi (panca-sandhi) dalam wiracarita berbentuk kakawin. Dibangunnya pula jalinan cita-rasa (rasa) dan perasaan (sthayibhava), yaitu asmara (srngara) dan cinta (rati), kelucuan (hasya), dan kejenakaan (hasa), belas-kasihan (karuna) dan kesedihan (soka), keganasan (raudra), dan kemarahan (krodha), kepahlawanan (vira) dan keteguhan (utsaha), kekuatiran (bhayanaka) dan ketakutan (bhaya), kengerian (bibhatsa) dan kemuakan (jugupsa), serta ketakjuban (adbhuta) dan keheranan (vismaya). Sehingga akhirnya tercapailah kedamaian (santa) dan ketenangan (sama), yang bergaya semesta, mengatasi ruang (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra), serta menjangkau kepada tingkat kesadaran tertinggi. Itulah rasa damai-bahagia (santosa), yaitu kebahagiaan yang tertinggi (paramasukha), karena merupakan kebahagiaan yang tak mungkin kembali menjadi duka (sukha tan pabalik dukha). Demikan pula Sang Pujangga Kawi kemudian memuja cahaya keindahan yang asali (istadewata), dalam rangka memohon pertolongan dan menyatu dengannya (dewasraya). Karena ia ingin menjadi tunas keindahan (alung-lango), yang akan menciptakan keindahan (kalangwan), sebagai tempat persemayaman, yaitu tempat yang dipuja (candi). Maka karyanya itulah pula yang akan menjadi bekal kematiannya (silunglung), dalam rangka mencapai kelepasan (moksa). Sumber keindahan itupun turunlah, dari alam niskala memasuki alam sakala-niskala, bersemayam di atas padma (munggw ing sarasiya) di dalam hati dan jiwa Sang Pujangga Kawi (twas, jnana, hidep, tutur). Melalui kawi-yoga menyatulah sumber keindahan di alam niskala dengan kekaguman di lubuk hati Sang Pujangga Kawi yang memancarkan keindahan. Di dalam keanekaan-ragaman kini ia melihat hakekat yang satu. Iapun mengembara untuk menyaksikan keindahan pada alam kehidupan seraya menjalankan tapa brata (abrata). Maka terbayanglah keindahan di mana-mana, yaitu keindahan yang akan dituangkan dalam karya sastra kakawin. Sang Pujangga Kawi pun tenggelam dalam keindahan alam, dan sekaligus menyatu dengan keindahan yang mutlak, di kala ia telah mampu untuk mengatasi berbagai godaan dan cobaan. Ditemukannya sumber kidung bersyair yang berada di dalam dirinya, yaitu pada ujung pemusatan pikiran (dhyana), yang menuju kepada tataran keheningan (samadhi). Maka ditulisnyalah Kakawin Arjunawiwaha, yang memuja kebajikan (yasa), sebagai buah-usaha pujangga yang berbuat jasa (yasa), dan menjadi sebuah tanda peringatan (yasa). Bagaikan sebuah candi dengan prasasti yang mengabadikan baik kebajikan dari yang dipuja maupun kebaktian dari yang memuja. Demikianlah Kakawin Arjunawiwaha kemudian menjadi jalan perenungan (sadhana), yang dapat dibaca (amaca) maupun dilagukan (angidung). Ketiga puluh enam pupuh dalam kakawin menjadi tingkat-tingkat kesadaran yang sarat dengan gelombang rasa rokhani. Maka ketiga rasa yang utama, yaitu yang dijumpai dalam suasana pertapaan (santa), pertempuran (vira), dan percintaan (srngara), muncul secara bergantian untuk akhirnya bertemu dalam kesatuan rasa. Kesemuanya itu membawa pembaca dan pendengar kakawin, untuk beralih dari alam sakala kepada alam sakala-niskala. Maka haruslah semua yang membacanya menghadapi dan mengatasi tabir yang menyelubungi kesejatian makna (maya). Karena di dalam keindahan itupun terdapat godaan dan cobaan, yang membangkitkan gelora perasaan raga-jasmani, yaitu keadaan yang harus dilepaskan dalam rangka tercapainya hakekat rasa sejati. Selanjutnya dengan melakukan pembacaan berulang-kali akan terjadilah penggandaan buah-pikiran, yang bergerak menuju kepada satu pengertian. Sehingga pada saat alunan suara kidung berhenti terdengar, dan keheninganpun turun, tibalah jiwa pada keadaan yang mutlak. Sesungguhnya daya-cipta dalam diri Sang Pujangga Kawi menggambarkan kekuatan (sakti) yang berasal dari Hyang Batara Agung. Sedangkan kakawinnya melambangkan dunia yang telah tercipta (maya), yang penggubahannya itu menunjuk kepada kejadian penciptaan (lila). Karena itulah pembacanyapun diharapkan ikut bermain (lila), dengan menggumuli kakawin (maya), dalam rangka menemukan makna dan daya yang sejati (sakti). Maka barang siapa membaca Arjunawiwaha sebagai kakawin yang suci, ia akan dapat merasakan kebesaran Arjuna. Seperti Ksatria Pandawa itu ia akan dapat menghayati hukum semesta yang menjadi kewajiban hidupnya (dharma). Begitu pula ia akan terpanggil untuk ikut memulihkan ketertiban dunia dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan hidup (artha). Sehingga iapun akan menerima pahala, yaitu kemuliaan dan kenikmatan hidup (kama). Maka didalam segala sesuatu yang diperbuatnya itu ia akan tetap berada pada jalan kelepasan hidup (moksa), karena itulah tujuan jangka panjang kehidupannya. Sebagaimana tertulis … "Perihal dharma ksatria, jasa dan kebajikanlah yang dipentingkan. Namun demikian, dalam keyakinan berkesimpulan pula mencapai moksa …" (kunang yan dharma ksatria yasa wa lawan wirya linewih, yaya wwat ring gegwan makaputusa sanghyang kelepasan). Maka iapun akan menjadi seperti Arjuna yang memperoleh kejayaan di mana-mana. BAGIAN KEDUA : Pembacaan Kakawin (Mukha)/(1.4-1.5): Sebagai sebuah wiracarita yang telah disusun di atas pemahaman rasa dan yoga, Kakawin Arjunawiwaha adalah sebuah kidung bersyair tentang kejayaan Arjuna di Kahyangan (kawijayan partha ring kahyangan). Pada permulaan kakawin ia ditampilkan sebagai calon pahlawan (nayaka), yang akan menghadapi lawannya pahlawan (pratinayaka). Maka Arjuna itu adalah seorang ksatria yang perkasa dan seorang yogi yang berbudi. Ia adalah seorang pahlawan (sang nayaka), yang telah mencapai hakekat yang tertinggi (sang paramarthapandita). Di dalam berbagai penampilan watak, sikap, dan tindakannya sebagai seorang ksatria, dapat ditemukan rasa keperwiraan (virarasa), yang sempurna dan utuh. Akan tetapi melalui yoga dan tapa yang dijalankan secara bertahap, munculah pula rasa kedamaian (santarasa), yang memancar dari seorang yogi. Keadaan itu sangatlah berbeda dengan pembawaan Sang Niwatakawaca, raksasa sakti, yang justru masih sangat terjajah oleh hawa napsu keangkaramurkaan. Dalam keangkuhan dan kesombongan dirinya Sang Pratinayaka berniat untuk menghancurkan kahyangan Dewa Indra dan menundukkan para dewa. (Pratimukha)/(1.6-VI.9): Karena kesulitan yang dihadapinya Indra membutuhkan pertolongan Arjuna. Akan tetapi kemampuan dan niat ksatria penengah Pandawa itu masih diragukannya. Maka diutuslah ketujuh bidadari (widyadhari), yang kecantikannya tak tertandingi, untuk menggoda Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakila. Namun demikian oleh karena di dalam tapanya Arjuna telah berhasil mencapai keteguhan hati (dhira), maka tidaklah ia terganggu oleh godaan para apsari yang jelita itu. Bahkan akhirnya mereka terpaksa kembali ke kahyangan dewata dalam kesedihan dan kerinduan yang mendalam, meninggalkan Arjuna yang berdiam dalam keheningan batin yang sempurna. Ketika itulah para dewa di kahyangan bersuka-cita, bahkan ada yang menghaturkan sembah penghormatan kearah Indrakila. Kini telah ditemukan seorang ksatria pahlawan yang akan membela kelestarian kahyangan dewata. Akan tetapi Arjuna masih harus diuji, apakah ia seorang ksatria yang menjalankan tapa, ataukah ia seorang resi yang ingin menanggalkan keduniawian. Maka datanglah Indra dengan menyamar sebagai seorang resi tua untuk memperolok-olokkan dan menggugah rasa keksatriaan Arjuna. Menghadapi ujian Indra nampaklah keteguhan dan ketetapan hatinya untuk memegang dharma ksatria, yang mementingkan jasa dan kebajikan (yasa lawan wirya). Karena kebaktian dan cinta kasihnya (bakti lawan asih), kepada kakanda Sang Dharmaputra (Yudhistira Shri Dharmaatmaja), Arjunapun bertapa dengan tekun. Karena cita-citanya adalah untuk menjadi jaya dan berkuasa di dunia (digjaya wijaya). Serta hendak berbuat jasa memelihara seluruh dunia dan berbuat baik kepada sesama (mahaywang rat lawan kaparahitan). Demi cita-citanya itu ia berani menghadapi apa saja, bahkan hingga mati sekalipun. Kini keraguan Indra menjadi sirna, karena telah ditemukannya seorang ksatria berbudi-luhur yang akan mampu untuk menghadapi Sang Niwatakawaca. Dipujinya Arjuna sebagai ksatria yang berjalan mantap dan teguh dalam membina kehormatan (manadhana) dirinya dengan tepat. Akan tetapi Arjuna masih harus bertapa dalam rangka meneruskan usahanya untuk memperoleh anugerah Hyang Batara Agung. Karena tidak lama lagi keindahan Tuhan (Sang Hyang Hayu) akan datang kepadanya. Maka Arjunapun meningkatkan usahanya (prih), dengan tidak berlengah-lengah (tan upir-upir). (Garbha)/(VII.1-XII.14): Kini tanda-tanda keberhasilan mulai terlihat. Arjuna yang selalu bersikap waspada, tampak penuh kesiap–siagaan (yatna), ketika menghadapi cobaan Sang Mamangmurka. Ditewaskannya raksasa utusan Niwatakawaca, yang telah menjelma sebagai babi-hutan yang ganas, dengan bidikan panahnya. Bersama dengan itu panah Ksatria Kirata juga menghujam tubuh babi hutan itu. Karena ingin menunjukkan keperwiraannya Arjuna bersikap tak hendak mengalah kepada Sang Kirata. Dengan berani ia melayani tantangan ksatria asing yang merendahkannya dengan kata-kata yang menghina. Karena merasa kehormatan dirinya diganggu Arjunapun menjadi marah (krodha). Kata-kata Ksatria Pandawa itu tandas, tetapi tidak tergesa-gesa (sahuriratereh tar agya). Serangan Sang Kirata dan pengiringnya ditangkis dengan teguh (khadhiran), dengan dahsyat (katara) Arjuna melakukan perang-tanding, dan dengan penuh kewaspadaan (saprayatna) ia membalas serangan senjata Sang Kirata. Arjuna bergulat dengan Sang Kirata dengan amat tangguh, hingga ketopongnya pecah dengan disertai berhamburannya ratna. Ia berkelahi dengan penuh siasat (cidra), erat dipeluknya kaki Ksatria Sang Kirata itu, yang telah memukulnya hingga tersungkur ketanah. Tiba-tiba sirnalah Sang Kirata, berganti rupa menjadi Sang Hyang Siwarudra. Maka Arjuna bersujud menyembah dan memuja Hakekat Tertinggi dalam penampakkanNya itu. Karena ketulusannya kemudian diterimanya anugerah keempat kesaktian (cadusakti). Juga busur, ketopong, dan baju zirah (laras makuta lawan kawaca). Diterimanya ajaran suci berupa ilmu keakhlian memanah (aji dhanurdharasastra). Setelah Sang Hyang Batara Agung berlalu, Arjuna Sang Dhananjaya merasa amat berbahagia, atas anugerah yang telah diterimanya. Disambutnya utusan Indra yang kemudian datang untuk mengundangnya ke kahyangan, supaya segera memberi pertolongan dalam rangka menghadapi ancaman Sang Niwatakawaca. Akan tetapi karena kerendahan hatinya Arjuna hanya terdiam ketika dianggap berkeunggulan dan berkemampuan tinggi (mawirya lawan maguna). (Vimarsa)/(XIII.1–XXI.7): Sesungguhnya Indra memandang Arjuna sebagai penolong orang yang tak berpelindung (kshatriya), yang jaya di mana-mana (sarananing anatha digjaya). Maka dalam persidangan para dewa ditetapkanlah tugas bagi Arjuna dan Suprabha. Dalam rangka itulah Arjuna menerima latihan dari Sang Wrehaspati untuk menambah kemahirannya dalam mengambil kebijakan yang cermat dan melakukan daya upaya yang tepat. Kemudian berangkatlah Arjuna didampingi Suprabha sebagai penasihat dan pelindungnya menuju ke negeri Ima-Imantaka. Di sanalah Suprabha berpura-pura menyerahkan diri kepada Sang Niwatakawaca, dengan alasan ingin menghindari nasib buruk bilamana Kahyangan ditundukkan kelak. Dengan tipu muslihat (upaya) yang telah dirancangnya bersama Arjuna, penuh kelemah-lembutan yang manja Suprabha melancarkan bujuk-rayunya terhadap raksasa sakti yang sedang kegirangan itu. Sehingga akhirnya diketahuilah rahasia kesaktian dan jalan kematiannya, yaitu yang berada pada bagian dalam mulutnya. Ketika itulah Arjuna menghancurkan gapura kota dan membuat keonaran di Ima-Imantaka. Sungguh Sang Niwatakawaca terkecoh (kasalib), karena Suprabha lalu melarikan diri bersama Arjuna di tengah kekacauan yang sedang berlangsung. Dalam kemarahan yang menggelora Sang Niwatakawaca segera menyiapkan pasukannya dan berangkat untuk menyerbu Kahyangan Indra. Menyadari hal itu dalam persidangan para dewa, Indrapun memutuskan untuk melawan serangan bala-tentara Ima-Imantaka. (Nirvahana)/(XXIII.1-XXXVI.2): Indra berangkat bersama pasukan para dewa dan bertempur melawan bala raksasa di lereng gunung Semeru. Ketika barisan para dewa dikalahkan oleh golongan raksasa, Arjuna datang menyerang sebagai penopang belakang (tulak balakang) bagi mereka yang mundur minta dikasihani. Pada puncak pertempuran itu Arjuna memasang rahasia siasat (rahasya ning upaya), yaitu kutuk balik yang mengakhiri kesaktian Prabu Niwatakawaca. Arjuna sengaja ikut lari dengan berpura-pura kebingungan, hingga membuat raja raksasa yang sakti itu tertawa terbahak-bahak oleh karena kesenangan. Ketika dibidik dengan tomaranya Arjuna sengaja menjepitnya dan berpura-pura terjatuh di keretanya. Niwatakawaca datang berteriak menantang perang sambil tertawa kegirangan. Saat itulah ia terkecoh, terjerat tipu muslihat (kasalib kabancana), karena tampaklah lidah pada mulut yang terbuka lebar. Maka binasalah raja raksasa yang sakti itu terkena bidikan panah manusia yang sakti pula. Arjuna dan para dewapun kembali ke kahyangan untuk merayakan kemenangan mereka. Akan tetapi ketika para dewa sedang sibuk mempercakapkan tentang perang yang telah mereka menangkan, Arjuna yang unggul jasanya (sang agunakaya) tidak banyak berbicara (tan jewah) dan tidak pula menunjukkan sikap kegirangan (tan wijah). Kemudian daripada itu Arjunapun menerima pahala kemuliaannya, yaitu ketika ia menjalani upacara penobatannya (abhiseka) sebagai Raja di Kahyangan Indraloka, dan melaksanakan pernikahannya (wiwaha) dengan ketujuh bidadari (widyadhari) yang utama. Arjuna, yang telah menang perang (amenang ing rananggana), dan dahulu telah mengatasi godaan para apsari jelita, kini mengalah untuk melayani mereka, karena ingin membahagiakan sesamanya (parartha). Maka setelah berada di kahyangan dewata selama tujuh purnama, yaitu sesuai dengan batasan waktu yang telah ditetapkan baginya, kembalilah Arjuna ke alam marcapada untuk berkumpul dengan saudara-saudaranya. Kemudian daripada itu Arjunapun mengalami kemenangan di mana-mana (digwijaya). BAGIAN KETIGA : Pemahaman Kakawin Adapun tujuan penulisan Kakawin Arjunawiwaha itu adalah dalam rangka menghadapi karya perang (angharep samarakarya), yaitu persiapan perang Sri Airlangga yang sedang berusaha mempersatukan Nusantara-Jawadwipa (1028-1035). Karena itu bukanlah dewata pilihan (istadewata) yang dipuja di dalam karya agung ini, melainkan Ksatria Arjuna sebagai gambaran Sang Prabu sendiri. Persatuannya dengan Sang Hyang Sakti diharapkan untuk dapat menjadi terwujud melalui gambaran Arjunawiwaha, yaitu pernikahan Sang Panduputra dengan ketujuh bidadari. Supaya diperolehnya kemenangan sebagaimana dilukiskan dalam kejayaan Arjuna di Kahyangan (kawijayan sang partha ring kahyangan). Maka dengan kakawin yang ditulisnya itulah Sang Pujangga Kawi mengiringkan Sang Raja (mangiring i haji), yaitu mengiringkannya dengan ilmu dan mantra (mangiring ing aji), agar berjayalah ia di dalam perjuangannya yang luhur itu. Adapun Arjuna itu adalah seorang ksatria pahlawan (sang nayaka), dan seorang yogi yang tahu akan Hakekat Tertinggi (sang paramarthapandita), karena ia telah menghayati kesuwungan (sunyata). Sebagai seorang ksatria ia mengusahakan sempurnanya jasa dan kebajikan (yasa lawan wirya), dan mengusahakan kebahagiaan seluruh dunia (sukhaningrat), dalam keunggulan dan kepahlawanannya. Sedangkan sebagai seorang yogi ia tidak dicemari oleh napsu kelima indera (tan sangkeng wisaya). Namun demikian sebagai seorang ksatria yang harus membina kesejahteraan dunia, seolah-olah saja ia menyambut yang duniawi (lwir sanggraheng lokika). Maka oleh karena kewajiban hidupnya (dharma), walaupun ia mengalami rasa damai dan bahagia dalam persatuan dengan Tuhan yang disembahnya (santosa), ia rela tetap tersekat tabir kemayaan (aheletan kelir), yang memisahkannya dari Sang Pencipta Dunia (sanghyang jagatkarana). Itulah sikap, pembawaan, dan tindakan (ambek) tokoh pahlawan (sang nayaka), yang telah memperoleh kejayaan di kahyangan (kawijayan ring kahyangan). Kemenangan ini berhubungan dengan pertolongan yang telah ia berikan kepada kahyangan dewata, yang sedang terancam oleh kejahatan Sang Niwatakawaca. Maka pada benih cerita (bija) inilah tersirat semangat keperwiraan (virarasa) dan sekaligus suasana kedamaian (santarasa), yang memancar dari dalam kehidupannya. Maka sebagai lawan dari sang pahlawan (pratinayaka) adalah Sang Prabu Niwatakawaca. Seorang raksasa (daitya) sakti yang berkuasa, bermegah, dan berjaya di mana-mana di seluruh dunia (akhyating jagad digjaya). Seorang pertapa (atapa) yang dianugerahi kesaktian dan keunggulan (warawirya). Berkat yoga dan tapanya iapun mencapai maksudnya (krta-krtya), yaitu tidak akan mati di tangan dewa, yaksa, asura, dan denawa. Karena pembatasnya hanyalah seorang manusia sakti (manusa sakti). Maka dari Sanghyang Siwarudra sendirilah Sang Niwatakawaca telah memperoleh anugerah berupa kekuasaan atas ketiga dunia (bhuh swargadi, jagad raya). Karena memuja Bhatara Bhirawa iapun mendapat kesaktian batin (siddhi), kebal tak dapat dicincang (achedya), tak dapat dibunuh (amarana), dan memiliki delapan kemampuan (astaguna). Akan tetapi itu semua merupakan kesia-siaan (wiyartha), karena ia terbelenggu oleh napsu (raga), yang membawa kehancuran (hala). Maka seperti utusannya, Sang Mamangmurka, yang menjelma menjadi babi hutan (wok, wraha), demikian pula Sang Niwatakawaca adalah makhluk (pasu) yang terikat (pasa) oleh kesemuan dunia (maya). Dalam keangkaraannya ia ingin menghancurkan kahyangan (swargaloka), menundukan Bhatara Indra (dewaraya), dan merebut Suprabha (sri sakti). Maka kegagalannya untuk memperoleh Suprabha itu diakibatkan oleh keangkaraan napsu (rajah) dan kegelapan batin (tamas) yang menyelimuti jiwanya. Karena gelora asmara yang membara ia tidak tahan terhadap bujuk rayu Suprabha, sehingga terpancinglah keluar (kahuwan) rahasia kesaktiannya, yaitu kelemahan yang terdapat di ujung lidahnya (jihwagra). Karena tidak waspada (yatna), terhadap manusia sakti, sehingga terkecoh dan tertipu (kasalib kabancana) oleh muslihat (upaya) Arjuna. Maka Sang Niwatakawaca, yang telah memojokkan Indra dalam kesulitan bahaya (durniti lawan bhaya), akhirnya mengalami kehancuran. Kepada manusia sakti, yang akan dapat mengalahkan Sang Niwatakawaca, Indrapun berpaling. Ingin menjadikannya sekutu, teman, dan pembantu (sahaya), dalam rangka menghadapi musuh (satru). Dialah Arjuna, seorang yogi yang bertapa (atapa), dan ksatria yang bercita-cita untuk menang dalam perang (asadhyajaya ring rana). Akan tetapi hanyalah tapa seorang raja yogi (yogiswara) yang dapat memberikan karunia (wara) dan anugerah (krtanugraha). Bilamana tapanya masih dipengaruhi oleh keinginan rendah (rajah) dan kebutaan akal (tamas), kesaktian yang diperolehnya hanya akan menjadi sumber kehancuran bagi dirinya dan penderitaan bagi orang lain. Sesungguhnya manusia sakti yang dicari Indra adalah seorang ksatria yang tekun memuja Sang Hakekat Tertinggi (siwasmrti), sampai memperoleh anugerah (sraddha) daripadaNya. Seorang ksatria yang batinnya terbebas dari jaringan napsu kelima indera (nirwisaya), sehingga berada dalam keadaan hening jernih (alilang), bebas lepas (huwa-huwa), dan bahagia baka (sukha-dhyatmika). Maka Arjuna itulah manusia sakti (manusa sakti, wwang sakti), yang diminta bantuannya oleh Indra untuk membela kahyangan dewata dari ancaman bahaya. Karena sesungguhnya Arjuna telah mencapai keheningan batin yang sempurna (anasrayasamadhi), hingga mengalami keterlelapan diri (lina), yaitu memasuki suasana terlenyap dan terserap kedalam kekosongan (sunyata), yang kenikmatannya tak terlukiskan. Ketika itulah ia mengenakan keadaan yang bertubuh halus (ng sukmarira), berwujud baka (apinda niskala), dan berhakikat baka (asari niskala). Ia mengalami pencerahan rokhani (jnanawisesa), yang memberi kebahagiaan jauh melebihi kenikmatan bersenggama (sukhaning samagama). Sesungguhnya itulah kebahagiaan tertinggi yang mustahil untuk dibayangkan (ng paramasukha luput linaksana). Maka ketika berhadapan dengan para bidadari iapun tidak tergoda (niskalangka), tidak tergoyahkan (tan wikalpa), tidak terkeruh kejernihannya (hening), karena telah mencapai tingkat keheningan batin yang cenderung tidak lagi memilah-milah di antara berbagai keadaan (nirwikalpa). Demikian pula ketika menghadapi cobaan jerat Sang Indra (bancana indrajala), yang membawa kegelapan batin (tamas), menimbulkan kebingungan akal (moha), dan melahirkan ketidak-tahuan (ajnana). Godaan kemayaan itupun dihadapi dan diatasinya dengan berhasil. Maka luluslah Arjuna dalam ujian dewata, karena dalam keteguhannya untuk menemukan hakekat yang sejati, ia tidaklah ragu untuk menjalankan kewajiban hidup (dharma)nya sebagai ksatria. Dijangkaunya keadaan yang mutlak tanpa melepaskan kejadian dunia yang semu (maya), yaitu permainan (lila) para dewata. Bahkan di dalam kemayaan hidup itulah Arjuna menemukan kehidupan sejati. Maka bersabdalah Indra bahwa akan datang penampakan suci yang indah itu (sanghyang hayu). Setelah masak yoganya (atasak yoganira), Arjunapun menjadi manusia berwatak dewata (manusa dibya). Ia telah mematahkan belenggu kemayaan, yaitu godaan bidadari, cobaan Indra, gangguan Mamangmurka, dan kemudian tantangan Sang Kirata. Melalui pergulatannya dengan Ksatria Kirata pahlawan Arjuna memasuki pergumulan batin di alam keheningan. Dalam keteguhan hatinya Arjuna memuja Siwamurti sebagai Rudra, dan Aditya (suryasewana), serta Sang Hyang Hayu. Ia diliputi api yang menghanguskan (gumeseng), tetapi telah ditawarkan (kunda nisprabha), maka membawa keselamatan bagi dirinya. Api yang suci meresapi dirinya, sehingga iapun mengenakan cahaya (prabha) dan kecermerlangan (teja), bagaikan bulan purnama (sasangka purnama, sasiwimba). Ketujuh bidadari, yaitu daya sakti yang bersemayam dalam ketujuh lidah api, menyatu dengan dirinya. Di antaranya adalah dua yang utama (rwekang adi), yaitu Sang Kecermerlangan (Suprabha) berupa api, yang bernyala bersama Sang Biji-bijian utama (Tilottama), yang ditaburkan ke dalam api. Maka dalam samadhi yoga, Suprabha itu adalah api yang naik di dalam tubuh untuk membakar semua racun (wisa) dan menghasilkan air kehidupan (tirta amrta), seperti halnya Sri Maha Nilakantha (siwamurti) mereguk racun yang menyertai keluarnya air kehidupan pada pengadukan laut susu (udadhimanthana). Api sakti (suprabha) itu naik bersama naiknya daya biji-bijian utama (tilottama), dari ucapan mantra (bijaksara), hingga tembus di ujung kepala. Maka pecahnya ketopong Arjuna (rukuh ira remuk), yang disertai berhamburannya bunga permata (ratna), menunjukkan terjadinya pencerahan rokhani. Arjuna memeluk kaki Ksatria Kirata (jong sang hyang) melambangkan upacara untuk menurunkan dewata (dewapratistha), yang disertai dengan penerapan mantra pada setiap bagian tubuh (nyasa). Maka Sang Pencipta Dunia berkenan untuk hadir dalam rupa pria-wanita (ardhanariswara), yaitu kesatuan Siwa-Sakti, yang bersemayam di atas singgasana teratai manikam (padmasana mani). Sungguh mahir Arjuna dalam memuja dewata (nipuna ring dewopacarana) dan benar ia tahu akan pujaan singkat untuk kemanunggalan rasa (sang siptapuja). Arjuna menyembah Sang Hyang Rudra dengan sikap tangan yang sempurna, mantra puncak yang selaras, dan pengheningan cipta tanpa bernoda (mudramwang kutamantra smrti wimala), yaitu mantra pemujaan (pujamantra), yang diucapkan dalam upacara penyembahan bunga (Puspanjali). Adapun ucapan sembahnya (uccarana) itu bermula dengan mantra suci triaksara (AUM), dan memuncak pada persatuan dengan Siwa Hakekat Tertinggi, yang kini tak berkelir tabir pemisah lagi (paramarthasiwatmanirawarana). Sesuai dengan paham Tantrayana dalam penyembahan itu disatukanlah ketiga sisi dari pengucapan mantra, yaitu suara keheningan (sabda), hembusan kehidupan (bayu), dan semangat kesadaran (hidep). Maka naiklah mantra yang suci (AUM), melalui kedua-belas tingkat keheningan diri (samadhi), yaitu kedua-belas tingkat kesadaran jiwa (ang, ung, mang, bindu, ardhacandra, nirodhika, nada, nadanta, sakti, vyapini, samana, unmana). Pada tingkat kesepuluh tercapailah daya yang meresapi (wyapi-wyapaka). Lalu pada tingkat kesebelas tercapailah keseimbangan sempurna dari segala daya (samana), di mana sang yogi mencapai ketenangan sempurna (sama). Akhirnya pada tingkat kedua belas tercapailah keadaan yang mengatasi pikiran (unmana), di mana sang yogi menghayati kesuwungan (sunyata), dan masuk kealam yang mutlak (niskala). Maka pada peristiwa inilah Arjuna menerima anugerah berupa panah Pasupati (pasupatisastraka), yaitu keempat kesaktian (cadu sakti), yang keluar dari tangan Tuhan (sang iswara) dalam bentuk api. Setelah Hyang Batara sirna dari pemandangan (suksma), Arjuna merasa seolah-olah ia bukan dari dunia ini (rasa tan irat), karena seakan-seakan ia berganti tubuh, bahagia tak mungkin kembali duka (kadi maslin sarira, sukha tan pabalik prihati … sukha tan pabalik dukha). Demikianlah Arjuna kemudian berlaga melawan Sang Niwatakawaca. Dalam suatu pertempuran kesaktian di mana kekuatan kebajikan (dharma) berperang melawan kekuatan kejahatan (adharma). Arjuna berjuang untuk mengatasi kesaktian dan kekuatan gaib (siddhi). Digunakannya senjata-senjata Astramantra, yaitu Sanghyang Pasupatastramantra, Sanghyang Tripuranta Kagnisara, dan Sanghyang Naracasastra Sarirabandhana. Maka itulah mantra (astramantra), yang dilepaskan dengan gerakan mudra (naracamudra), untuk membunuh musuh, sambil melindungi tubuh (sarira), dan mengikat kekuatan beragam pada alam semesta (digbandhana). Arjuna berhasil membunuh Sang Niwatakawaca, setelah memasang rahasia siasat (rahasya ning upaya), dan mengenakan ilmu gaib perihal kutuk balik (suksmajnananing antasapa). Maka karena terjerat dan terkecoh oleh tipu-muslihat (kasalib kabancana), Prabu Niwatakawaca akhirnya mati (pejah) oleh panah api (agnisara). Dengan turunnya kutuk akhir, yaitu kutukan balik (antasapa pralina), melalui Arjuna, Bhatara Siwa bertindak untuk mengakhiri anugerah (wekas ingkang anugraha), berupa kesaktian yang telah diberi kepada Sang Niwatakawaca, dan menyerapnya kembali kedalam diriNya. Dahulu Arjuna telah memenangkan Dewi Drupadi (Sri Drupadaatmaja), yang mejadi sakti bagi kerajaan Amarta, yaitu penjelmaan Sri Laksmi, melalui pernikahannya dengan Pandawa (panca rajya). Kini ia juga telah memenangkan Suprabha, yaitu sakti kerajaan Indra, sebagai kekuatan yang menyatu dengan dirinya. Maka dia yang masih terhitung sebagai putra Indra (sang masih atanaya) pun menjadi layak untuk menjadi raja kehormatan di Kahyangan Indraloka. Adapun Dewi Suprabha (sri sakti) itu adalah kekuatan (dayaguna), yang diperebutkan oleh Arjuna (manusa sakti) dan Niwatakawaca (daitya sakti). Arjuna adalah ksatria yang berhak untuk mempersunting Suprabha karena ia telah berhasil menyelamatkan kerajaan indra dan memulihkan kebenaran (dharma), sebagai sumber ketertiban alam semesta. Maka dalam rangka samadhi-yoga penobatan (abhiseka) Arjuna adalah pentahbisan suci (diksa), yang mempersatukan dirinya dengan Hakekat Tertinggi (Paramarthasiwatwa), dan pernikahan (wiwaha) Arjuna adalah persekutuan cinta (kama), yang mempersatukan dirinya dengan ketujuh daya kehidupan semesta (sri sapta apsari sakti). Karena itulah Arjuna memperoleh kemenangan di mana-mana (digwijaya). Demikianlah perjuangan Arjuna, Ksatria Pandawa, yang menjadi sumber keteladanan yang sempurna. Dengan penghayatan akan pencerahan rokhani, kejernihan pikiran, dan kebahagian batin itulah Arjuna mengemban kewajiban hidupnya (dharma) sebagai seorang ksatria. Dalam keyakinannya, walaupun ia tidak menanggalkan tanggung-jawab keduniawian, pada akhirnya ia juga bertujuan untuk mencapai moksa (sanghyang kalepasan), yaitu nirwana yang suwung (nirbanacintya). Sesungguhnya melaksanakan amanat ksatria-yogi itu adalah dengan memasuki alam kesemuan hidup (maya), yang merupakan sulapan permainan (lila) belaka, sebagai keadaan yang menyelubungi kesejatian yang hakiki. Bermain di dalammya tanpa terbawa hanyut dan sekaligus mengatasi segala sesuatu dalam ke-suwung-an. Dengan teguh menjalankan yoga seorang ksatria, yaitu membina kesejahteraan dunia (mahaywang rat). Maka disebutkan pula mengenai Arjuna dalam kakawinnya … "Pantaslah ditiru keberhasilannya mencapai tujuan berkat keteguhan" (satirun-tirun krtartha sira de ni kadhiran ira) … "Segala yang dikehendaki terlaksana dengan meneladani Sang Panduputra" (sakaharepen kasrada makadarsana pandusuta). Sang Pujangga Kawi menggubah kakawin tentang Arjuna, yang unggul dalam yoga, dan di dalamnya Arjuna sendiripun menulis kakawin, yaitu seperti dikatakan oleh bidadari Tilottama … "Itulah kesetiaan namanya bagi orang seperti engkau, mengabdi seorang kawi, yang merupakan puncak kesetiaan suami" (yeka satya ngaranya ring kadi kitaniwi kawi wekas ing pati brata). Karena memang sesungguhnya mengabdi Sang Pujangga Kawi adalah sebuah jalan tapa brata, karena dia sendiri adalah puncak tapa-brata. Adalah tokoh Ksatria Arjuna, sebagai gambaran Sri Airlangga, yang kejayaannya layak untuk dituliskan. Dalam keheningan batinnya Sang Pujangga Kawi telah menerima petunjuk suci, yang kemudian diteguhnya di dalam kakawin melalui kata-kata Indra. Ketika Arjuna berpamitan akan kembali kedunia, Indrapun memahami betapa besarnya rasa ke-bakti-an Arjuna kepada kakak dan ibunya, akan tetapi ia telah menahan Arjuna beberapa lama oleh karena adanya sebuah keinginan yang luhur. Dalam sabdanya Bhatara Indra menetapkan … "Agar indah dilukiskan kejayaanmu oleh Sang Pujangga Kawi di kemudian hari, itulah tujuanku" (rapwan ramya winarnana nikang anagatakawi wijayanta don mami). Demikianlah Arjunawiwaha kemudian digubah untuk menceritakan kebesaran Arjuna sebagai seorang ksatria yang mahir dalam yoga. Dialah Arjuna, Ksatria Pandawa, yang diagungkan oleh dewata dan manusia.