Translate

Minggu, 28 Februari 2016

Ajaran Ketuhanan dalam Weda



Ajaran Ketuhanan dalam Weda
Mantram-mantram Veda itu adalah nyanyian-nyanyian pujaan yang ditujukan kepada para dewa. Para dewa dimohon supaya sudi mendengarkan nyanyian-nyanyian pemujanya yang pada umumnya mengandung permohonan agar para dewa menganugrahkan kerahayuan dalam mengayuh hidup di dunia ini. Nyanyian-nyanyian itu disusun dalam bahasa Sansekerta, bahasa orang India jaman dahulu.
Para dewa yang dipuja itu banyak jumlahnya. Yang sering dipuja antara lain ialah : Agni (dewa api), Surya (dewa mata- hari), Usas (dewa fajar), Prthivi (dewa bumi), Dyaus (dewa langit), Mitra (dewa siang dan langit yang terang benderang), Varuna (dewa langit yang gelap dan senja), Maruts (dewa angin ribut) Vayu (dewa angin), Savitr (dewa matahari pagi) dan lain-lainnya lagi.
Dari nama-namanya itu dewa-dewa itu personifikasi kekuatan-kekuatan yang tak tampak dibalik kekuatan-kekuatan alam. Kekuatan-kekuatan alam itu dan apa saja yang ada ini tunduk pada rta, yaitu tertib alam semesta. Oleh karena apa yang ada ini berada dalam keserasian antara yang satu dengan lainnya, maka pengendali rta itu harus satu saja. Demikianlah Varuna adalah rtavan, pengendali rta adalah Esa adanya.
Akan ajaran yang menyatakan bahwa Tuhan Esa adanya tersebar-sebar dalam mantram-mantram Veda. Beberapa di antaranya sebagai berikut:
Sumeta visva ojasa patim divo
ya eka id bhur atihir jananam,
sa purvyo nutanamo aji gisan
tam vartanir anu vavrta eka id
(Sama Veda, 327)
Artinya;
Marilah datang bersama, engkau semua, dengan semangat kuat pada Penguasa Langit.
Dia yang hanya Esa, tamu semua orang.
Dia yang purba ingin kembali baru. Kepada-Nyalah semua jalan perpaling, Sesungguhnya Dia Esa belaka.
Yo nah pita janita yo nidhata,
dhanani veda bhuvanani visva,
yo devanam namadha eka eva,
tam samprasnam bhuvana yantyanya
(Rg Veda X. 83. 3).
Artinya:
Oh, Bapa kami, Pencipta kami, pengatur kami yang mengetahui semua keadaan, semua apa yang terjadi,
Dia hanyalah Esa belaka memikul nama bermacam-macam dewa.
Kepada Nyalah yang lain mencari-cari dengan bertanya-tanya.
Indram mitram varunam
agnim ahur atho divyah
Ekam sad vipra bahudha vadantyagnim yarnam mata-risvanam ahuh
(Rg Veda 1.164.46).
Artinya:
Mereka menyebut Indra, Mitra, Varuna, Agni dan Dia yang bercahaya, yaitu Garutman yang bersayap elok, Satu Kebenaran itu (Tuhan) orang bijaksana menyebut dengan banyak nama seperti Agni, Yama, Matarisavan.
Tad evagnis tad adityas
tad vayus tad u candramah,
tad eva sukra tad brahma
ta apan sa prajapatih
(Yajur Veda 32.1).
Artinya:
Agni adalah Itu, Aditya adalah Itu,
Vayu adalah Itu, Candrama adalah Itu,
Cahaya adalah Itu, Brahman adalah Itu,
Apah adalah Itu, Prajapatilah Ia.

Tuhan yang Esa ini dipuja orang dengan berbagai cara, di berbagai tempat dan dalam berbagai aspek dan perwujudannya. Dewa-dewa itu adalah aspek dari Yang Esa.

Puja untuk Dewi Saraswati


Puja untuk Dewi Saraswati dapat dilakukan pada Kramaning Sembah III dengan kewangen/sekar kangkad, silakan baca comment pertama.

Om Saraswati namostubhyam
Warade kama rupini
Sidhir astu karaksami
Sidhir bhawantu sadham

Om Pranamya sarwa dewanca
Paramãtma nama wanca
Rupa sidhi karoksabet
Saraswati nama myaham

Om padma patram wimalaksmi
Padma kçara nandini
Nityam padma laya dewi
Tubhyam namah Saraswati

Om Brahma putri maha dewi
Brahmanye Brahma nandini
Saraswati sajňna yani
Praya naya Saraswati

Om kawyam wyakaranam tarkham
Weda çastram puranakam
Kalpa sidhini tantrani
Twam prasadat karoksabet

Om sulabha twam swara mantra
Irabheyam phalakam param
Sarwa kleça winaçanam
Santhi twam sanggatot manam

Om atheni rasa hasranam
Sarwa roga winaçanam
Twam mama sarwa sidhyantu
Sarwa karya prasidhyaye

Om Sang Saraswati sweta warna ya namah swaha
Om Bang Saraswati rakta warna ya namah swaha
Om Tang Saraswati pita warna ya namah swaha
Om Ang Saraswati kresna warna ya namah swaha
Om Ing Saraswati wiçwa warna ya namah swaha

Om sukham bhawantu, purnam bhawantu, çryam bhawantu
Om Sidhirastu tat astu astu swaha
Om Saraswati dipata ya namah

 Artinya :

Oh Hyang Widhi dalam wujud-Mu sebagai Dewi Saraswati, pujaan kami
Yang berwajah cantik, indah berandeng
Berkuasa mempengaruhi kami
Selalu berkuasa pada serba dunia

Oh Sang Hyang Saraswati, yang dihormati oleh semua dewa dewi
Karena engkau adalah brahman yang dimuliakan
Merupakan wujud yang kuasa
Kami muliakan Engkau dengan gelar Saraswati

Oh Sang Hyang Saraswati, Engkau suci bersih bagai daun bunga teratai
Berambut indah bagai sari bunga teratai
Selalu ada di sekitar padma
Patut dihormati sebagai sumber ilmu pengetahuan

Oh Putri Sang Hyang Brahma, Engkai dewi yang maha agung
Selalu ada bersama Brahma
Diberi gelar Saraswati yang indah
Mengatur semua mahluk

Oh Sang hyang Saraswati, Engkau mengubah segala ilmu tattwa
Weda dan Sastra, Purana-purana, serta ilmu Tantra
Yang menjiwai dan berkuasa sepanjang jaman
Engkaulah penciptanya

Oh Sang Hyang Saraswati, atas anugrahMu semoga doa kami menjadi bertuah,
Mendatangkan segala kebaikan untuk seluruh dunia
Semoga bathin yang cemar dan kotor menjadi musnah
Semoga damai dan bersatu bhatin kami kepadaMu

Oh Sang Hyang Saraswati, berkenan kiranya Engkau menganugrahi perasaan bathin yang indah, semoga yang menimbulkan penyakit menjadi musnah, berkenan kiranya engkau menganugrahi kami serba sejahtera, sehingga tugas karya kami terselesaikan

Oh Sang Hyang Saraswati, demikian puja kami kepadaMu, dalam prabhawaMu sebagai Sang Hyang Sadyajata, Sang Hyang Bhamadewa, Sang Hyang Tat purusha, Sang Hyang Aghora, serta dalam prabhawaMu sebagai Sang Hyang Içyana dengan pancaran warna putih, merah, kuning, hitam, serta serba warna
Oh Hyang Widhi dalam wujud-Mu sebagai Dewi Saraswati, semoga Engkau senantiasa memberikan kekuatan, keselamatan, semoga semuanya tiada halangan. Oh Sang Hyang Saraswati hamba memuja-Mu



*Catatan : Puja dapat dipilih satu sloka atau digabung dari beberapa sloka, kecuali sloka yang terakhir untuk penutup.

Puja untuk Pura Paibon, Pura Kawitan

Puja untuk Pura Paibon, Pura Kawitan dapat dilakukan pada Kramaning Sembah III dengan kewangen/sekar kangkad :

Om Brahmà Wisnu Iswara dewam
Tripurusa suddhàtmakam
Tridewa trimurti lokam
sarwa wighna winasanam

Artinya:
Oh Hyang Widhi, dalam wujud-Mu sebagai Brahma, Wisnu, Iswara, Dewa Tripurusa Maha Suci, Tridewa adalah Trimurti, semogalah hamba terbebas dari segala bencana.

BIJA ATAU WIJA



         Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir
dan suatu upacara persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan
air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL)
sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning. Bila dapat supaya diusahakan
beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata).
          Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada
hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam
dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih keSiwa-
an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila
ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta.
           Dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut Daivisampat
dan Asuri-sampat. Menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an berarti
menumbuhkembangkan sifat kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan.
Kedua sifat itu bersemayam dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan
berkembangnya sifat kedewataan atau benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dari hati
manusia maka tempat memuja itu yang terpenting di dua tempat, yaitu: pada pikiran dari
hati itu sendiri, masing-masing dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua kening
dan dengan menelannya. Patut pula diingat bahwa wija di samping sebagai lambang
Kumara, juga sebagai sarana persembahan.
           Agaknya perlu juga dikemukakan di sini bahwa wija/bija tidak sama dengan bhasma.
Kadangkala antara wija/bija dan bhasma itu pengertiannya rancu. Wija tersebut dari beras
sedangkan bhasma terbuat dari serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh
dengan menggosok-gosokkan kayu cendana yang dibubuhi air di atas sebuah periuk atau
dulang dari tanah liat. Kemudian hasil gosokan (asaban) itu diendapkan. Inilah bahan
bhasma. Kata bhasma sendiri secara harfiah berarti abu atau serbuk. Kata "bhas" dalam
kata bhasma tidak sama dengan kata baas dalam bahasa Bali yang berarti beras. Karena
kata Bhasma adalah kata dalam bahasa Sansekerta. Pemakaiannyapun berbeda. Kalau
wija umumnya dipakai oleh orang yang masih berstatus walaka, sedangkan bhasma
hanya dipakai oleh Sulinggih yang berstatus sebagai anak lingsir. Kata wija berdekatan
artinya dengan kata Walaka dan Kumara yang berarti biji benih atau putera.
           Bhasma dalam hal ini adalah lambang Sunya atau Siwa. Dengan pemakaian bhasma itu
Sulinggih bersangkutan menjadikan dirinya Siwa (Siwa Bhasma), disamping sebagai
sarana untuk menyucikan dirinya (Bhasma sesa).

TIRTA



Tirtha adalah air suci, yaitu air yang telah disucikan dengan suatu cara tertentu. Pada
umumnya tirtha itu diperoleh melalui dua cara, yaitu:
1. Dengan cara memohon di hadapan palinggih Ida Bhatara melalui upacara tertentu.
Tirtha yang diperoleh dengan cara ini pada umumnya disebut orang tirtha wangsuh
pada atau banyun cokor
2. Dengan cara membuat (ngareka) yang dilakukan dengan mengucapkan puja-mantra
tertentu, oleh beliau yang memiliki wewenang untuk itu. Tirtha yang diperoleh
dengan cara ini antara lain adalah: tirtha panglukatan, tirtha prayascita, tirtha
durmanggala dan sebagainya, dan juga tirtha-tirtha untuk pamuput upacara yadnya,
seperti tirtha pangentas, tirtha panembak dan sebagainya.
Adapun tirtha yang digunakan setelah selesai sembahyang adalah tirtha wangsuh pada
Ida Bhatara. Tirtha ini dipercikan di kepala, diminum dan dipakai mencuci muka. Hal ini
dimaksudkan agar pikiran dan hati orang menjadi bersih dan suci, yaitu bebas dari segala
kekotoran, noda dan dosa, kecemaran dan sejenisnya. Kebersihan dan kesucian hati
adalah pangkal ketenangan, kedamaian dan kebahagiaan lahir bathin.

PERSIAPAN SEMBAHYANG

Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan batin. Persiapan lahir seperti pakaian, bunga, dupa, sikap duduk, pengaturan nafas dan sikap tangan. Sedangkan persiapan bathin adalah ketenangan dan kesucian pikiran. Langkah-langkah persiapan dan sarana-sarana sembahyang (Sujana & Susila, 2002:27-28) adalah sebagai berikut:
1. Asuci laksana, yaitu membersihkan badan dengan mandi.
2. Pakaian, hendaknya memakai pakaian sembahyang yang bersih serta tidak mengganggu ketenangan pikiran dan sesuai dengan Desa Kala Patra (waktu, tempat dan keadaan).
3. Bunga dan Kawangen, yaitu lambang kesucian sehingga diusahakan memakai bungan yang segar, bersih dan harum. Jika dalam persembahyangan tidak ada kawangen, maka dapat diganti dengan bunga. Menurut Mangku Gede Darsa, pemangku Pura Parahyangan Jagat Kartta Gunung Salak Bogor, kawangen berasal dari kata kewangi (keharuman) yang menunjukkan cinta harum kita kepada Hyang Widhi. Beliau juga menambahkan bahwa kawangen juga menyimbolkan alam bhuana agung, seperti bulan, matahari dan bintang. Bentuknya yang segitiga menunjukkan apa yang kita mohon menuju pada diri kita.
4. Dupa, yaitu simbol Hyang Agni, saksi dan pengantar sembah kita kepada Hyang Widhi.
5. Tempat duduk hendaknya tidak menggangu ketenangan untuk sembahyang dan diusahakan beralaskan tikar dan sebagainya. Arah duduk adalah menghadap pelinggih.
6. Sikap duduk dapat dipilih sesuai Desa Kala Patra dan tidak mengganggu ketenangan hati. Ada empat yaitu padmasana, siddhasana, sukhasana, dan bajrasana.
7. Sikap tangan yang baik pada waktu sembahyang adalah “cakupang kara kalih”, yaitu kedua telapak tangan dikatupkan diletakkan di depan ubun-ubun. Bunga atau kawangen dijepit pada ujung jari.

MANFAAT BERSEMBAHYANG


Menurut Ketut Wiana (2005:49) salah satu manfaat sembahyang adalah untuk memelihara kesehatan. Selain pikiran menjadi jernih, sikap-sikap sembahyang seperti asana (padmasana, siddhasana, sukhasana, dan bajrasana) membuat otot dan pernafasan menjadi bagus.
Selain untuk kesehatan, bersembahyang dan berdoa juga mendidik kita untuk memiliki sifat ikhlas karena apa yang ada di dalam diri dan di luar diri kita tidak ada yang kekal, cepat lambat akan kita tinggalkan atau berpisah dengan diri kita. Keikhlasan inilah yang dapat meringankan rasa penderitaan yang kita alami karena kita telah paham benar akan kehendak Hyang Widhi. Bersembahyang juga dapat menentramkan jiwa karena adanya keyakinan bahwa Tuhan selalu akan melindungi umatNya.
Perbudakan materi juga dapat diatasi dengan bersembahyang karena orang akan dapat melihat dengan terang bahwa harta benda harus dicari dengan Dharma untuk melaksanakan Dharma. Sembahyang dengan tekun akan dapat menghilangkan rasa benci, marah, dendam, iri hati dan mementingkan diri sendiri, sehingga meningkatkan cinta kasih kepada sesama. Membenci orang lain sama saja dengan membenci diri sendiri karena Jiwatman yang ada pada semua makhluk adalah satu, bersumber dari Tuhan, seperti yang diajarkan dalam ajaran Tat Twam Asi. Kemudian dengan sembahyang kita dimotivasi untuk melestarikan alam karena bersembahyang membutuhkan sarana yang berasal dari alam, seperti bunga, daun, buah, sumber mata air, dan sebagainya.

DEFINISI SEMBAHYANG


Salah satu hakekat inti ajaran agama adalah sembahyang. Menurut kitab Atharwa Weda XI. 1.1, unsur iman atau Sraddha dalam Agama Hindu meliputi: (1) Satya, (2) Rta, (3) Tapa, (4) Diksa, (5) Brahma dan (6) Yajna. Dari keenam unsur iman di dalam Agama Hindu menurut kitab Atharwa Weda itu, dua ajaran terakhir termasuk ajaran sembahyang (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:12).
Sembahyang terdiri atas dua kata, yaitu: (1) Sembah yang berarti sujud atau sungkem yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dengan tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran baik dengan ucapan kata-kata maupun tanpa ucapan, misalnya hanya sikap pikiran. (2) Hyang berarti yang dihormati atau dimuliakan sebagai obyek dalam pemujaan, yaitu Tuhan Yang Maha Esa (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:13).
Di dalam bahasa sehari-hari kata sembahyang kadang-kadang disebut “muspa” atau “mebhakti” atau “maturan”. Disebut “muspa” karena dalam persembahyangan itu lazim juga dilakukan dengan persembahan kembang (puspa). Disebut “mebhakti” karena inti dari persembahan itu adalah penyerahan diri setulus hati tanpa pamrih kepada Hyang Widhi. Demikian pula kata “maturan” yang artinya mempersembahkan apa saja yang merupakan hasil karya sesuai dengan kemampuan dengn perasaan yang tulus ikhlas, seperti bunga, buah-buahan, jajanan, minuman dan lain-lain (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:13). Mangku Linggih, pemangku di Pura Parahyangan Jagat Kartta Gunung Salak Bogor, menambahkan makna maturan sebagai wujud syukur atas rejeki yang diberikan Hyang Widhi, sehingga kita wajib mempersembahkan/menghaturkan pemberian beliau terlebih dahulu. Setelah sembahyang baru kita “ngelungsur (prasadam)” apa yang telah kita haturkan, seperti canang, buah-buahan, dan sebagainya.

PANCA SEMBAH

Ambil Bunga
 
OM PUSPA DANTÀ YA NAMAH SWÀHA

1. Tangan Kosong (Sembah Puyung).
 
OM ÀTMÀ TATTWÀTMÀ SÙDDHA MÀM SWÀHA

2. Bunga Putih
 
OM ADITYASYÀ PARAM JYOTI RAKTA TEJO NAMO’STUTE  SWETA PANKAJA MADHYASTHA BHÀSKARÀYA NAMO’STUTE

3. Bunga Merah

OM NAMA DEWA ADHISTHANÀYA SARWA WYAPI WAI SIWÀYA PADMÀSANA EKA PRATISTHÀYA ARDHANARESWARYAI NAMO NAMAH

4. Kwangen

OM ANUGRAHA MANOHARAM DEWA DATTÀ NUGRAHAKA ARCANAM SARWÀ PÙJANAM NAMAH SARWÀ NUGRAHAKA DEWA-DEWI MAHÀSIDDHI YAJÑANYA NIRMALÀTMAKA LAKSMI SIDDHISÇA DIRGHÀYUH NIRWIGHNA SUKHA WRDDISCA

5. Tangan Kosong

OM DEWA SUKSMA PARAMÀ CINTYÀYA NAMA SWÀHA. OM SÀNTIH, SÀNTIH, SÀNTIH, OM

PUJA TRISANDHYA

Asana OM PRASADA STHITI SARIRA SIWA SUCI NIRMALÀYA NAMAH SWÀHA

Pranayama
OM ANG NAMAH
OM UNG NAMA
OM MANG NAMAH

Karasodhana
OM SUDDHA MÀM SWÀHA
OM ATI SUDDHA MÀM SWÀHA

Puja Trisandhya :
OM BHÙR BHVAH SVAH
TAT SAVITUR VARENYAM
BHARGO DEVASYA DHIMAHI
DHIYO YO NAH PRACODAYÀT

OM NÀRÀYANA EVEDAM SARVAM
YAD BHÙTAM YAC CA BHAVYAM
NISKALANKO NIRAÑJANO NIRVIKALPO
NIRÀKHYÀTAH SUDDO DEVA EKO
NÀRÀYANO NA DVITÌYO’STI KASCIT

OM TVAM SIVAH TVAM MAHÀDEVAH
ÌSVARAH PARAMESVARAH
BRAHMÀ VISNUSCA RUDRASCA
PURUSAH PARIKÌRTITAH

OM PÀPO’HAM PÀPAKARMÀHAM
PÀPÀTMÀ PÀPASAMBHAVAH
TRÀHI MÀM PUNDARIKÀKSA
SABÀHYÀBHYÀNTARAH SUCIH

OM KSAMASVA MÀM MAHÀDEVA
SARVAPRÀNI HITANKARA
MÀM MOCA SARVA PÀPEBYAH
PÀLAYASVA SADÀ SIVA

OM KSÀNTAVYAH KÀYIKO DOSAH
KSÀNTAVYO VÀCIKO MAMA
KSÀNTAVYO MÀNASO DOSAH
TAT PRAMÀDÀT KSAMASVA MÀM
OM SÀNTIH, SÀNTIH, SÀNTIH, OM

Ajaran Paham Waisnawa dalam Siwa Sidhanta


         Siwa Sidhanta yang berkembang di Bali saat ini merupakan hasil sejarah pra hindu, Hindu dan post Hindu di daerah Bali sendiri. Walaupun Siwa sidhanta lebih mengutamakan pemujaan terhadap Siwa, juga merangkul lokal jenius kebudayaan Bali dan sekte-sekte yang pernah berkembang di Bali, dimana salah satu sekte tersebut adalah waisnawa. Dalam penerapan ajaran agama Hindu di Indonesia khususnya di Bali sekarang ada banyak hal yang mencirikan ajaran waisnawa. Adapun ajaran waisnawa yang masih bisa dilihat dalam Siwa sidhanta saat ini seperti : tempat suci, orang suci, hari suci, dan upacara.
        Sebagaimana diketahui, di masa silam di Bali terdapat banyak sekte: Saiwa, Ganapatya, Sora (Surya), Brahmana, Sakta, Pasupata, Waisnawa, dan lainnya. Kemudian setelah kedatangan Mpu Kuturan, semua sekte di Bali dilebur menjadi sistem pemujaan Tri Murti dengan ciri khas Kahyangan Tiga: Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Dewa Wisnu, Pura Desa sebagai tempat memuja Dewa Brahma dan Pura Dalem sebagai tempat memuja Dewa Siwa.
        Kahyangan Tiga ini ada di setiap Desa Pakraman, baik dalam bentuk pura atau tempat suci, tiga dewa utama itu yang disembah sebagai manifestasi Tuhan dalam fungsi sebagai pencipta, pemelihara dan perehabilitasi, namun dalam praktik ritual dan pemujaan berbagai figur ista dewata (dewa yang dimuliakan) masing-masing sekte semuanya dipuja. Sebutlah menyembah Dewa Surya dalam acara kramaning sembah atau Nyurya Sewana para sulinggih setiap pagi. Demikian juga Ganesha dipuja dalam upacara pecaruan sebagai dewa penghancur semua halangan. Tapi dalam ritual yang berwarna praktik tantrik rupanya yang dominan adalah pengaruh faham Sakti, utamanya Bhima Bhairawa.

Kedudukan Wisnuisme dalam Sekte Waisnawa

Kedudukan Wisnuisme dalam Sekte Waisnawa 
 
          Mengenai wisnuisme di jawa-kuna ternyata pada kita juga tidak ada perbedaan (diferensiasi) tertentu antara dua kelompok yang utama ialah; bhagawata dan pancaratra. Wisnuisme tetap dalam keadaan sama seperti di zaman epik atau beberapa waktu setelah zaman itu (purana-purana yang lebih tua). Unsur-unsur tantris jelas dapat dipersaksikan. Awatara-awatara (tulis-tulisan) belum sampai jumlah sepuluh seperti kemudian hanya enam sebagaimana pada zaman epik diketahui; celeng (waraha), si laki-singa (narasingha), si cebol (wamana), selanjutnya Rama dan Krsna
         Di Bali sekarang tidak terdapat lagi wisnuisme yang diakui secara resmi, akan tetapi dapat ditemukan bekas-bekas dalam dua aliran (sepeti pada pasupata) yaitu disini lagi unsur-unsur yang diambil alih ke dalam agama umum dan disamping itu tokoh sengguhi
         Unsur-unsur yang dimaksudkan ke dalam agama umum adalah; popularitas besar yang diperoleh Sri (sakti Wisnu). Dari dewi rejeki dan dewi kebahagiaan. Ia menjadi Dewi-Padi, Dewi dari makanan utama orang-orang Jawa dan Bali, dalam seluruh kekayaan dongeng-dongeng tentang Dewi Sri terdapat campuran dari unsur-unsur pribumi kuno dengan Hindu. Akan tetapi masih ada suatu unsur lagi yang dimasukkan di sini, yaitu wisnu menjadi dewa dari perairan di alam bawah. Jadi dengan demikian mempunyai sifat sebagai demonis-chotnis) termasuk benar-benar makhluk alam bawah dan chthonis.
          Menganggap hal ini sebagi sisa-sisa dari agama Asia-purba umum yang mempunyai cabang-cabang baik ke Babylon maupun ke Cina. Namun sementara ini masih kekurangan keterangan untuk mengangkat pendapat yang kini di anut oleh beberapa sarjana ini menjadi suatu teori yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Ada suatu corak alam bawah yang lain dalam hakekat Wisnu yang sampai kini masih terdapat di Bali. Karena dalam berbagai pura terutama di kerajaan inti Gel-gel jadi wilayah sekeliling Klungkung sekarang suatu tempat pemujaan yang dipersembahkan kepada sang Sapta Patalar, tujuh neraka dihiasi dengan kepala naga atau kepala ular yang besar dan sang ular seperti juga sang kura-kura adalah binatang yang berhubungan dengan Wisnu. Gambaran Wisnu dan Sri berdua sambil beristirahat di atas ular dunia Cesa adalah suatu gambaran yang sangat populer bagi orang hindu. Peleburan dari wisnu dan ciwa terlihat dalam patung ardhanari dalam bentuk separuh pria dan separuh wanita. Wisnu sebagai ayu mewakili unsur wanita (prakrti, prahdana).
         Wisnu merupakan pelindung dari barat, penguasa atas kemakmuran, kesejahteraan, kerajaan yang diperintah dengan baik; raja biasanya dipandang sebagai titisan dari Wisnu di mana Rama dianggap yang ideal popularitas tokoh rama di Bali adalah imbangan dari pemakaian rama untuk nama raja. Gabungan sri dengan sadhana sebagai seri-sedana atau rambut-sedana di Bali merupakan nama patung-patung kecil yang disembah di pura-pura rumah sebagai patung-patung nenek moyang. Namun Wisnu sebagai dewa chotnis lebih sering merupakan pelindung dari Utara-Hitam.
         Dengan demikian masih terlihat adanya sisa-sisa pemujaan Wisnu dan Sri dalam agama Bali yang umum, disamping itu dalam tokoh Sengguhu terdapat sisa Wisnuisme yang tetap tersendiri. Sengguhu-sengguhu ini merupakan golongan pendeta yang tersendiri. Mereka bukan Brahmana dan bukan pendeta rakyat biasa seperti halnya pemangku di pura-pura.
        Bali dari sang guru, guru (Yang Mulia). Berperan pada pesta-pesta pergantian tahun yaitu pada bulan ke-9 (caitra = kasanga). Dirayakan pergantian tahun dengan suatu pesta sunyi. Pesta ini senantiasa jatuh pada musim semi. Jadi pada atau kira-kira sekitar bulan maret.
         Pada pesta ini diselenggarakan berbagai upacara yang menunjukkan pemberhentian magis dalam kehidupan sehari-hari. “suatu saat mengheningkan cipta”. Untuk selanjutnya memulai kembali kehidupan baru. Orang-orang memadamkan api. Lampu-lampu tidak masak dan tidak keluar ke jalan dan sebagainya
Kesepian ini (pesta ini disebut nyepi = merayakan kesepian, diam) didahului oleh suatu upacara pengorbanan pada simpang empat di tiap desa. Di sini pendeta yang memegang peranan pokok adalah sengguhu. Dengan berpakaian putih dia mengucap mantra-mantra dan mempersembahkan korban bagi alam bawah (banten ring sor). Kalau kita melihat bagaimana dalam pada itu ia mempergunakan cangkha, sengkala kerang Wisnu dan memaki seekor kura-kura (kurma) sebagai gantha dengan lonceng-lonceng di bawah. Pada tiap-tiap pengucapan doa, sengguhu sama seperti pedanda ciwa mengucapkan mantra-mantra sansekerta dan bukan mantra-mantra rumus-rumus pribumi kuno atau rumus-rumus Bali. Juga pada pesta besar yaitu pada pesta pengorbanan laut yang dirayakan tiap tahun sengguhu ini memegang peranan, disini diucapkan mantra-mantra, antara lain bagi Baruna dan Bayu dan raja ular Wasuki atau Besuki.
        Jadi dapat dilihat bahwa pada persembahan korban laut, suatu persembahan korban kepada Waruna, berperan seorang pendeta bercorak Wisnu, jadi suatu pengukuhan lagi dari pertempuran wisnu dengan dewa laut. Kecuali pada pesta ini.

Perjalanan Śiva Siddhānta di Bali.


Sumber Ajarannya :
          Sebagian sumber ajaran dari pada Śiva Siddhānta di Bali adalah bersumber pada ajaran Weda dan sumber suci dalam naskah tradisional. Sebagaimana dijelaskan dalam buku Siwa Sasana ada dikelompokkan beberapa naskah tradisional Bali. Kelompok yang dimaksud ada empat, yaitu :
1.       Kelompok weda, misalnya: weda parikrama, weda sanggraha, surya sevana, siva pakarana.
2.       Kelompok tattwa, meliputi: bhuana kosa, bhuana sang ksepa, wrhaspati tattwa, siva gama, sivatattwapurana, gong besi, purwa bumi kamulan, tantu panggelaran, usaha dewa, ganapati tattwa, tattwa jnana, dan jnana sidhanta.
3.       Kelompok ethica, adalah siva sasana, rsi sasana, wrti sesana, putra sesana dan slokantara.
4.       Kategori upakara agama, meliputi:
1)      Upakara Dewa Yadnya, antara lain: caturwedhya, wrhaspattikalpa, dewatattwa, sundari gama.
2)      Upakara Pitra Yadnya, meliputi: yamatattwa, empu lutuk aben, kramaning atiwatiwa, indik maligya, dan puteru pasaji.
3)      Upacara Rsi Yadnya, antara lain: kramaning madiksa, yadnya samkara.
4)      Upacara Manusa Yadnya, meliputi: dharma kahuripan, eka ratama, janmaprawerti, puja kala pati, puja kalib.
5)      Upacara Butha Yadnya, meliputi: eka dasa rudra, panca wali krama, indik caru, puja pali-pali.


 Ajarannya :
          Tattwan dan filsafat memiliki kesamaan makna, yakni sama-sama menekankan pada hakikat dan kebenaran. Juga sama-sama mengkaji hal atau objek yang kongkrit serta segala hakikat yang ada. Terkait dengan materi tattwam, bahwa ada beberapa sumber yang dijadikan dasar acuan materinya.
          Beberapa sumber lontar, seperti : Bhuwanan Kosa, Tattwa Jnana, Mahajnana, Ganapatitattwa, Wrhaspatitattwa, Jnansiddhanta, dan beberapa puja bercorak monism (Tim Penyusun , 1999 :1). Semua lontar diatas, adalah berisikan tentang ajaran mengenai paham Siwaistis.
          Bhuwana Kosa terdiri atas beberapa bab dan empat ratus delapan puluh tujuh sloka. Sumber teksnya bebrahasa Sangsekerta dalam bentuk sloka. Tahap penciptaan (utpeti) oleh Bhatara Siwa, seperti : Bhatara Siwa, Purusa, Awyakta, Budhi, Ahangkara, Pancatanmatra, Manah, Akasa, Bayu,Agni, Apah, dan Prthiwi. Sebaliknya proses peleburan (pralina) oleh Bhatara Siwa, meliputi : prthiwi, apah, agni, bayu, akasa, pancatanmatra, ahangkara, budhi, awyakta, purusa, dan kembali kehadapan Bhatara Siwa.
          Sedangkan Wrhaspatitattwa terdiri atas tujuh puluh sloka yang berbahasa Sansekerta. Dengan terjemahannya berbahasa kawi. Isi utama dalam naskah ini adalah dialog antara Bhatara Siwa dengan Bhagawan Wrhaspati mengenai cetana sebagai unsur kesadaran dan acetana sebagai unsur ketidaksadaran. Wrhaspati Tattwa mengajarkan tentang Yoga, cetana telu (Paramasiwa atau Nirguna Brahman, Sadasiwa, Siwatma Tattwa, maya, sakti, guna, swabhawa, aksara OM atau AUM, Saguna Brahman, atma, catur iswarya, panca yama brata, panca niyama brata, dan astasiddhi.
          Selanjutnya tentang Ganapati Tattwa berisikan ajaran agama Hindu secara dialog dengan Dewa Siwa dengan Sang Hyang Ganapati. Isi naskah berbahasa Sangsekerta dan Jawa Kuna. Dalam pemujaan kepada Hyang Siwa digunakan empat aksara suci (caturdasaaksara), yakni : sang, bang, tang, ang, ing, nang, mang, sing, wang, yang, ang, ung, mang, ong. Bagaimana proses penciptaan ini menurut Ganapati Tattwa, yaitu : “ tentang hakikat alam semesta, dimana diciptakan oleh Panca Dewata dari unsur yang paling halus sampai dengan tingkatan yang mempunyai wujud nyata” (Tim Penyusun, 1999:11). Setelah panca dewata ( Brahma, Wisnu, Rudra, Iswara, Sadasiwa) menciptakan pancatanmatra (gandha, rasa, rupa, sparsa, sabda tanmatra), kemudian tercipta panca maha butha (akasa=unsur suara, bayu=unsur angin, teja= unsur matahari, bintang, bulan, apah = unsur air, pertiwi=unsur bumi dan tanah). Demikian sekilas isi Wrahaspatitattwa.
          Adapun isi Sang Hyang Mahajnana adalah mengenai ajaran kelepasan yang bersifat Siwaistis yakni memuliakan Hyang Siwa. Naskah ini terdiri atas delapan puluh tujuh sloka dalam bahasa Sangsekerta yang terjemahannya dalam bahasa Kawi. Inti dari ajaran Sang Hyang Mahajnana yaitu bagaimana mencapai kelepasan dan bisa menyatu dengan Hyang Siwa. Ada tiga komponen utama yang dibicarakan yakni purusa (unsur kesadaran), pradhana (unsur ketidaksadaran), dan atma (unsur kebijaksanaan).
          Jadi tujuan utama berbakti kepada Hyang Siwa adalah untuk dapat menyatu dan mencapai tujuan hidup yang tertinggi yaitu moksa. Selanjutnya dalam Tattwajnana mengandung ajaran ketuhanan hindu terutama memuliakan Hyang Siwa. Ajaran Tattwajnana menguraikan dua unsur universal yakni cetana dan acetana. Unsur cetana merupakan komponen kesadaran yang disebut Siwatattwa dan unsur acetana merupakan unsur ketidaksadaran yang dinamai Mayatattwa. Unsur cetana bersifat tutur (sadar) dan acetana bersifat tan patutur (lupa). Unsur cetana atau Siwatattwa meliputi tiga komponen yakni Paramasiwatattwa  (Bhatara Siwameraga Niskala). Sadasiwatattwa ( Bhatara Siwa sudah tersentuh sarvajna, sarvakaryakarta, cadusakti, dan jnanasakti) sehingga beliau disebut Bhatara Jagatnhata, Bhatara Guru, dan sebutan yang lainnya, dan atmikatattwa (Bhatara Siwa, dalam keadaan gaib atau utaprota, seperti api ada dalam kayu, atau sebagai Bhatara Dharma yang tanpa pilih kasih bagai sinar matahari.
          Pertemuan sadar dan tak sadar dinamai Purusapradhana, yang melahirkan citta dan guna (sattwa, rajas, tamas). Dari triguna dan citta lahir buddhi, kemudian lahir ahangkara (ahangkara waikerta, taijasa, dan bhutadi). Ahangkara waikerta melahirkan manah dan dasendriya, taijasa melahirkan pancatanmatra serta pancamahabutha, dan bhutadi saling membantu dalam proses pencintaan untuk mempertemukan pancamahabhuta sehingga melahirkan andhabhuwana, misalnya sapta loka atau alam atas dan sdapta patala atau alam bawah, sehingga Bhatara Siwa menyusup di alam ini maka lahirlah ciptaan manusia. Untuk penyatuan atma dengan Bhatara Siwa maka ada jalan dinamai Prayogasandhi ( asana, pranayama, pratyahara, dharana, dyana, tarka, dan samadhi). Kemudian Jnanasiddhanta merupakan naskah yang berbahasa Sangsekerta dan Jawa Kuna yang terdiri atas dua puluh tujuh bab yang inti ajarannya tentang kelepasan (moksa) untuk menyatunya atma dengan pencipta (Hyang Siwa). Manusia diciptakan oleh hyang siwa yang digambarkan seperti Omkara atau Pranava, yakni dada, lengan, kepala, dan rambut (ongkara, ardhacandra, vindu, nada), sedang tubuh bagian dalam yakni paru-paru, limpah, jantung, empedu, ati (ongkara, ardhacandra, vindu, nada, matra). Untuk mencapai kelepasan dapat ditempuh dengan enam jalan yoga yakni pratyahara, dhyana, pranayama, dharana, taka, dan semadhi.
          Dalam melaksanakan yoga, maka ia harus mewujudkan atmalingga dalam dirinya. Atmalingga adalah mewujudkan Sang Hyang Ongkara dan Tri Aksara dalam diri berstana dalam batin. Dalam meditasi ada tujuh yang harus diperhatikan yaitu :
1.       Semua tingkah laku dipusatkan pada Bhatara Siwa.
2.       Batin dipusatkan pada Bhatara Siwa.
3.       Pendengaran dipusatkan pada Bhatara Siwa.
4.       Pengelihatan dipusatkan pada Bhatara Siwa.
5.       Kata-kata dipusatkan pada Bhatara Siwa.
6.       Jadikan kedipan mata itu kepada Bhatara Siwa.
7.       Jadikanlah Bhatara Siwa sebagai nafasmu.
          Ketujuh pemusatan pikiran ini disebut Sapta bddhyanggamarga (Tim Penyusun, 2000: 24). Kemudian ada tiga jalan utama saat peleburan, yaitu melalui ubun-ubun (nistha), melalui hidung (madhya), dan melalui mulut (uttama). Ketiga jalan itulah menuju kelepasan atau moksa.
          Dalam ajaran yoga ada dikenal dengan delapan tahap penting dalam bertata susila atau pengendalian diri. Kedelapan tahapan itu dinamai Astanggayoga. Adapun bagiannya yaitu :
1.       Yama iyalah pengendalian diri tahap pertama. Yaitu :
          1)      Ahimsa artinya tidak membunuh-bunuh.
          2)      Satya artinya setia, benar.
          3)      Asteya artinya tidak mencuri.
          4)      Brahmacari artinya pantang hubungan kelamin.
          5.       Aparigraha artinya tidak menerima, tidak loba (ibid, 50).
2.       Nyama iyalah pengendalian diri lebih lanjut. Pengendalian diri tahap kedua, antara lain :
          1)      Sauca artinya suci lahir batin.
          2)      Santosa artinya kepuasan.
          3)      Tapa artinya pengekangan diri.
          4)      Swadhayaya artinya belajar
          5)      Iswarapranidhana artinya bhakti kepada Tuhan (ibid, 54).
3.    Asana iyalah sikap duduk. dalam tahap asana diperlukan adanya sikap yang baik dan tenang seperti : padmasana, wajrasana, swastikasana, sukhasana, silasana,  
4.    Pranayama ialah pengendalian prana. dalam tahap Pranayama atau teknik pengaturan nafas/ pengendalian prana, dibedakan dalam tiga cara yakni puraka artinya menarik atau memasukkan nafas yang bersih, kumbaka yaitu menahan nafas, dan recaka mengeluarkan nafas yang kotor.
5.    Pratyahara ialah penarikan pikiran dari objeknya. pratyahara yakni penarikan pikiran dari objeknya, yang harapannya agar pikiran tidak kacau. Pikiran perlu tenang dan nyaman
6.    Dharana ialah pemusatan pikiran. Setelah ketenangan pikiran muncul dan       pikiran tertuju pada satu objek, maka pikiran selanjutnya untuk dipusatkan sesuai sasaran yang dituju (Dharana).
7.    Dhyana ialah meditasi. Bilamana hal ini telah dilakukan, maka dilanjutkan dengan dhyana yaitu melakukan meditasi, sehingga tahapan yang terakhir adalah dapat dilaksanakan samadhi
8.       Samadhi ialah luluhnya pikiran dengan atma (Sura, 1985:49)
Tempat Pemujaannya :
          Tempat pemujaan atau tempat suci umat Hindu Indonesia disebut Pura. Sering pula umat Hindu menyebutnya dengan nama Kahyangan atau Parahyangan Pura berasal dari bahasa Sansekerta (Pur) artinya benteng, kota, tempat yang dikelilingi oleh tembok. Pura adalah tempat suci untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi wasa/ Tuhan Yang Maha Esa atau para Dewa sebagai manifestasi Tuhan. Dalam hal ini dinamai pula Dewalaya atau Mandiram (bahasa Sansekerta) dan juga dinamai Mandir (bahasa Hindi). Tempat suci dapat digolongkan berdasarkan karakternya yaitu, a) pura keluarga, b)pura teritorial, c) pura fungsional, dan pura umum. Palemahan pura umumnya terdiri dari tiga yaitu jeroan (utama mandala) melambangkan alam atas (swah loka), jaba tengah (madhyana mandala) melambangkan alam tengah (bhwah loka), dan jaba sisi (kanista mandala) yang melambangkan alam bawah (bhur loka).
          Adapun tempat pemujaan bagi umat Hindu, antara lain :
1. Pura Keluarga adalah pura yang khusus bagi umat Hindu yang masih ada ikatan satu keluarga atau wit. Pura Keluarga juga dinamai Pura Kawitan, Pamerajan, Dadia, Panit, Ibu, Padarman, dan lain-lainnya. Bertempat di Pura Keluarga bahwa umat Hindu memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta roh suci leluhur atau atma sidha dewata. Pelinggih uatama pada Pura Keluarga biasanya berupa Gedong, Pelinggih Rong Tiga, atau ada pula berupa Meru serta Pelinggih Padmasana.
2. Pura Teritorial yang dimaksudkan adalah Pura Kahyangan Desa. Jenis pura ini juga dinamai Tri Kahyangan atau Kahyangan Tiga. nama-nama Pura Kahyangan Tiga adalah a) Pura Baleagung sebagai tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Brahma (Pencipta/Utpatti), b) Pura Puseh sebagai tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Wisnu (Pemelihara/Sthiti), c) Pura Dalem sebagai tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Siwa (Mengembalikan ke asalnya/ Pralina).
3. Pura Fungsional merupakan tempat suci dalam kaitannya dengan kekaryaan umat Hindu, Pura ini juga dinamai Pura Swagina. Jenis pura fungsional, seperti Pura Subak merupakan tempat suci umat Hindu yang memiliki ikatan kerja dalam pertanian. Pura Subak juga dinamai Pura Bedugul atau Ulun Suwi atau Pura Ulun Subak. Kalau kaitannya dengan ikatan profesi bagi para pedagang disekitar pasar atau di tempat tertentu untuk berjualan disebut Pura Melanting. Keempat, Pura Umum, Pura Umum adalah pura yang tergolong kahyangan jagat sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta segenap manifestasi-Nya. Yang tergolong sebagai Pura Umum adalah Pura Sad Kahyangan Jagat, Pura Dang Kahyangan Jagat, Pura Jagatnatha di sekitar perkotaan maupun pura yang dibangun di wilayah Indonesia yang dapat dijadikan tempat sembahyang oleh umat Hindu.
     Kalau di Bali bahwa Pura Kahyangan Jagat diklasifikasikan berdasarkan atas :
1. Konsep rwa bhinneda yaitu Pura Besakih sebagai Purusa dan Pura Batur sebagai unsur Pradhana.                                                                          
             
2.  Kalau berdasarkan konsep Cadu Sakti atau Caturlokapala (empat penjuru mata angin) maka yang tergolong Pura Kahyangan Jagat adalah Pura Lempuyang di arah timur (Purwa) sebagai tempat memuja Dewa Iswara, Pura Andakasa diarah selatan (Daksina) sebagai tempat memuja Dewa Brahma, Pura Batukaru di arah barat (Pascima) sebagai tempat memuja Dewa Mahadewa, dan Pura Batur diarah utara (Uttara) sebagai tempat memuja Dewa Wisnu.
3.       Berdasarkan konsep sadwinayaka, yang tergolong pura umum yaitu Kahyangan Gunung Agung (Pura Besakih) di daerah Kab. Karangasem, Kahyangan Lempuyang Luhur juga didaerah Kab. Karangasem, Kahyangan Goa Lawah di daerah Kabupaten Klungkung, Kahyangan Uluwatu di daerah Kab. Badung, Kahyangan Batukaru di daerah Kab. Tabanan, dan Kahyangan Pusering Tasik/ Pusering Jagat didaerah Kab. Gianyar (Subagiasta, 2006 : 52-55)
Penerapan Saiva Siddhanta di Bali :
          Penerapan Saiva Siddhanta di Bali lebih banyak yang nampak melalui pelaksanaan upacara agama hindu yang dikelompokkan ke dalam lima bagian besar yang dinamai panca yajna, yakni : pertama, Dewa Yajna yakni persembahan kepada Tuhang Hyang Maha Esa beserta dengan semua manifestasi-Nya, dengan pelaksanaan upacara agama berupa piodalan di pura, persembahyangan, perayaan hari suci agama Hindu seperti : Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Kuningan, Siwaratri, Nyepi, Purnama, Tilem, dan sebagainya; kedua, Manusa Yajna yakni persembahan kehadapan manusia yang dimulai sejak dalam kandungan sampai menjelang meninggal dengan berbagai jenis upacaranya bertujuan untuk melakukan penyucian diri serta peningkatan kualitas hidup manusia, yang pelaksanaannya dengan melakukan penghormatan terhadap sesama manusia, melakukan upacara agama seperti upacara megedong-gedongan, dapetan, tutug kambuhan, telu bulanan, ngotonin, ngeraja wala, matatah, mavivaha, pawintenan dan sebagainya; ketiga, Pitra Yajna yaitu persembahan kehadapan para pitara-pitara guna mendapatkan kerahayuan hidup di dunia ini dan di akhirat, cara pelaksanaannya dengan melakukan penghormatan kepada orang tua, berbakti kepada orang tua, melakukan upacara pitra yajna, dan lain-lainnya; keempat, Resi Yajna yakni persembahan kehadapan para orang suci, para resi yang telah berjasa dalam pembinaan, pengembangan, serta menuntun umat, yang pelaksanaannya dengan mentaati ajaran para resi, berbakti kepada para resi, berdana punia kepada para resi, memberkan pelayanan kepada para resi dan sebagainya; dan kelima, Bhuta Yajna yakni persembahan kehadapan para bhuta kala atau mahkluk bawahan, oleh karena para bhuta kala itu turut memberikan kekuatan kehidupan di alam semesta ini sehingga semua kehidupan menjadi harmonis. Pelaksanaannya dengan melakukan masegeh, macaru, dan pelaksanaan tawur.( Subagiasta, 2006 : 55-57)
Pengikutnya :
          Sebagai pengikut filsafat dan ajaran Saiva Siddhanta adalah segenap umat Hindu yang tinggal di Pulau Bali. Dalam perkembangan agama Hindu belakangan ini bahwa awalnya agama Hindu dengan paham Saiva Siddhanta tersebut yang berasal dari India terutama dari India Selatan tepatnya didaerah Tamil Nadu, bahwa pengikut Saiva Siddhanta selain umat Hindu yang berasal dari tanah bharatiya, maka filsafat Saiva Siddhanta tersebut juga diikuti oleh para sadharma atau umat Hindu yang asli Indonesia, di antaranya : umat Hindu di Sumatra, umat Hindu di Bali, umat Hindu di lombok, umat Hindu di Jawa, umat Hindu di Sumbawa, di Sumba, di Papua dan sebagainya di wilayah kepulauan Nusantara ini.
          Kemudian kalau di Pulau Dewata bahwa pengikut Saiva Siddhanta adalah umat Hindu pada umumnya, oleh karena kalau di Bali tidak ada perbedaan yang menjolok walaupun dari para bhakta adalah pengikut Vaisnawa dan yang lainnya, tetapi sama sebagai penyembah dan pemuja Hyang Siwa. Beliau Hyang Siwa sangat dimuliakan dan dihormati melalui pelaksanaan semabh bakti oleh segenap umat Hindu. Tidak adanya perbedaan yang mencolok dalam pemujaannya, juga dalam melakukan bhakti ke tempat suci atau di Pura, oleh karena dalam pelaksanaan pemujaan telah diakomodir melalui sembah, melalui doa, serta melalui penempatan para dewata dalam tempat suci itu sendiri (Subagiasta, 2006 : 56-57).
  Hari Sucinya :
          Hari suci merupakan hari baik bagi umat Hindu untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Beberapa hari suci Hindu antara lain :
1.       Hari raya Galungan yang pelaksanaannya setiap enam bulan sekali, yaitu pada Budha Kliwon Dungulan. Pada hari raya Galungan umat Hindu melakukan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, terutama dilakukan di Pura Keluarga (Pamerajan, Sanggah Gede, Dadia, Kawitan, Kamulan, Taksu, dan lain-lainnya), Pura Kahyangan Desa, serta Kahyangan jagat lainnya. Saat hari raya ini juga dinyatakan sebagai hari kemenangan kebenaran (Dharma) atas ketidakbenaran (Adharma). Perayaan Galungan dimulai pada Sabtu Kliwon Wariga sampai dengan rangkaian terakhir pada Budha Kliwon Pahang. Adapun rangkaian utama perayaan Galungan adalah penyekeban/penyajaan, pengejukan, penampahan, puncak perayaan Galunan, dan umanis Galungan.
2.       Hari raya Kuningan yang dirayakan pada hari Sabtu Kliwon Kuningan, sepuluh hari setelah perayaan Galungan. Hari Raya Kuningan juga diawali dengan rangkaian Penampahan Kuningan, Puncak perayaan Kuningan dan Ulihan.
3.       Hari raya Saraswati yang dilaksanakan pada Sabtu Umanis Watugunung. Umumnya perayaan ini dikenal dengan nama Piodalan Sang Hyang Aji Saraswati atau piodalan Sang Hyang Pengeweruh. Makna yang dikandung dari perayaan Saraswati adalah betapa pentingnya ilmu pengetahuan suci Weda dan sains lainnya untuk memajuan dan kesejahteraan umat manusia.
4.       Hari raya Pagerwesi adalah sebagai hari pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Hyang Paramesti Guru) yang dirayakan setiap Budha Kliwon Sinta. Perayaan hari raya ini bermakna untuk memohon kekuatan hidup baik secara fisik dan non fisik (wahya adhyatmika). Jadi perayaan Pagerwesi bertujuan untuk memohon kekuatan dan kemantapan sraddha dan bhakti umat Hindu.
5.       Hari raya Nyepi yang perayaannya dilaksanakan setiap penanggal pisan sasih kadasa. Rangkaian upacara hari raya Nyepi diawali dengan pelaksanaan melasti ke segara/samudra untuk memohon tirtha amertha atau air suci kehidupan serta untuk mengahyutkan segala mala pataka/dosa/papa, kemudian dilanjutkan dengan pengerupukan/mebuu-buu serta pelaksanaan Upacara Tawur Kasanga di setiap lingkungan desa terutama bertempat diperempatan jalan (catus pata) yang jatuh pada Tilem Sasih Kasanga.
6.       Hari Siwaratri yang berarti malam siwa. Siwa adalah sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang memiliki kekuasaan untuk pameralina. Dalam naskah Siwaratrikalpa dijelaskan bahwa Bhattara Siwa melakukan yoga untuk keselamatan denia beserta segenap isisnya beretapatan dengan caturdasi kresnapaksa atau pangelong ping patbelas sasih kapitu. Saat itu dipilih oleh Bhattara Siwa untuk beryoga, karena merupakan malam yang tergelap dan saat yang terbaik melakukan pemujaan kehadapan Bhattara Siwa. Saat Siwaratri, maka umat Hindu melakukan tapa brata yoga dan samadhi. Waktu pelaksanaannya selama 36 jam. Jenis brata dapat dilakukan berupa upawasa (tidak makan dan tidak minum), monabrata (tidak berbicara/selalu hening), dan jagra (tidak tidur) (Subagiasta, 2006 : 58-60)
Orang sucinya :
          Orang suci adalah sangat besar jasanya terhadap perkembangan dan penyebaran agama hindu kepada umat di dunia ini. Tanpa orang suci, maka agama hindu sulit untuk berkembang. Orang suci umat hindu secara umum disebut dengan nama Rsi. Ada beberapa orang suci antara lain:
1.       Bhagawan Bhrigu merupakan orang suci Hindu yang namanya banyak disebut-sebut dalam kitab purana. Beliau sebaga pendiri keluarga/warga Bhargawa.
2.       Bhagawan Bharadwaja sebagai orang suci Hindu yang ada kaitannya dengan cerita Ramayana yang ditulis oleh Bhagawan Walmiki. Bhagawan Bharadwaja juga sebagai penerima wahyu suci dari Tuhan Yang Maha Esa. Beliau sebagai guru suci pada sebuah ashram kenamaan Hindu di kota prayoga yang kini dikenal dengan nama kota Aalahabad. Pada kota prayoga ini adalah sebagai tempat suci Hindu, oleh karena disana terdapat campuhan (sangam) dari pada sungai Ganga, sungai Yamuna, dan sungai Saraswati (yang saat ini tidak nampak).
3.       Rsi Agastya sebagai oranmg suci lahir dikota Khasi atau Benares-India Utara (Uttara Pradesh). Beliau telah menyebarkan agama Hindu di india dab termasuk sampai di Indonesia dan Bali.
4.       Bhagawab Brihaspati adalah seorang putra dari Bhagawan Angira yang merupakan orang suci yang terkenal bagi umat Hindu.
5.       Mpu Tantular sebagai pujangga besar agama Hindu. Beliau telah menulis kekawin Sutasoma. Beliau memiliki empat putra yaitu: Mpu Kanawasikan, Mpu Asmaranatha, Mpu Shidimantra, Mpu Kepakisan.
6.       Mpu Kuturan sebagai orang suci yang telah berjasa menyebarkan ajaran agama Hindu di Indonesia dan di Bali khususnya. Beliau mengajarkan ajaran Tri Murti dan mengjarkan  konsep Tri Kahyangan di setiap desa adat dan desa pakraman di Bali.
7.       Mpu Bharadah sebagai oranh suci Hindu merupakan adik dari Mpu Kuturan. Kebesaran nama Mpu Bharadah sangat terkenal di bali dan Mpu Bharadah ada di muliakan di salah satu pura di kompleks pura Besakih.
8.       Rsi Markandeya adalah orang suci Hindu yang pertama kali dating ke Bali untuk menyebarkan ajaran agama Hindu. Beliau datang dari tanah jawa menuju Bali beserta dengan beberapa pengikutnya untuk merabas hutan Bali di jadikan lahan pertanian dan sekaligus menata kehidupan beraga Hindu di Bali.
9.       Dang Hyang Dwi Jendra nama lain beliau adalah Dang Hyang Nirathga. Jikalau di bali beliau bergelar pedanda Sakti Wawu Rawuh. Kalau di Lombok beliau bergelar Tuan Semeru dan di Sumatra bergelar Pangeran Sangupati. Banyak tempat suci yang telah beliau bangub di pulau Bali, seperti ; Pura Puruncak, Pura Rambut Siwi, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Tanah Lot, Pura Prti Tenget, Pura Uluwaru , Pura Air Jeruk dan lain-lain.
10.     Dang Hyang Astapaka merupakan salah satu orang suci dari Bhuda Mahayana dan Majapahit dan di Bali belai mendirikan Pura Sakenan di daerah Serangan Denpasar Selatan. Keturunan beliau di Bali kini menetap di daerah Karangasem yaitu Dsesa Budekeling (Subagiasta, 2006 : 61-63)

Perjalanan Śiva Siddhānta di India.

Sumber Ajarannya :
          Ada beberapa sumber ajaran Siva Siddhanta di India yaitu Veda, Saiva Agamas, serta sumber tertulis lainnya yang digunakan (Subagiasta, 2002:43). Jadi selain sumber tersebut bahwa da juga sumber yang penting lainnya berupa agamas, puranas, ithiasa, upanisad, yoga dan sebagainya.
          Saiva Siddhanta merupakan filsafat dari Saivaisme bagian selatan yang bersumber tidak dari penyusun tunggal, yang merupakan jalan tengah adwaita-nya Sankara dan Wasista-advaita-nya Ramanuja. Kepustakaannya terutama terdiri dari:
1.       28 buah tentang Saiwita Agama.
2.       Kumpulan dari puji-pujian Saiwaita yang dikenal sebagai Trimurti.
3.       Kumpulan tentang kehidupan orang-orang suci Saiwita, yang dikenal sebagai periyapurana.
4.       Siwajnanabodhamnya Meykandar.
5.       Siwajnanasiddhiyar-nya Arulandi  
6.       Karya-karya dari Umapati (Subagiasta, 2006:29).
Ajarannya  :
          Ajaran pokok dari filsafat Saiva Siddhanta yaitu bahwa Siwa merupakan realitas tertinggi dan jiwa atau roh pribadi adalah intisari yang sama dengan Siwa, tetapi tidak identik. Pati (Tuhan), Pasu (roh) dan Pasa (pengikat) dan 36 tattwa atau prinsip yang menyusun alam semesta, kesemuanya nyata (Subagiasta, 2006:30).
          Siwa merupakan ciri realitas tertinggi, merupakan kesadaran yang tak terbatas, yang abadi, tanpa perubahan, tanpa wujud, merdeka maha kuasa, ada dimana-mana, maha tahu, tanpa awal, tanpa penyebab, selalu bebas, selalu murni dan sempurna. Ia tidak dibatasi oleh waktu yang merupakan kebahagian dan kecerdasan yang tak terbatas, bebas dari cacat, maha pelaku, dan maha mengetahui. Lima kegiatan Tuhan (Panca Krtya) adalah : srsti (penciptaan), sthiti (pemeliharaan), samhara (penghancuran), tirobhawa (menutupi) dan anugraha (karunia), yang secara terpisah dianggap sebagai kegiatan dari Brahma, Wisnu, Rudra, Maheswara, dan Sadasiwa.
Tempat Pemujaannya :
          Tempat pemujaan umat Hindu di India termasuk bagi pengikut Saiwa Siddhanta dinamakan dengan Mandir. Istilah laninya bisa disebut dengan Dewalaya. Sebagai sentra pemujaan Siwa di India jika di daerah Uttra Pradesh dinamai kota Kasi. Para umat pada umumnya mengatakan dengan nama kita Siva. Oleh karena disana para umat Hindu memuja Bhatara Siwa, maka nama Mandirnya yaitu Visvanath Mandir. Ada juga trerdapat tempat suci yang sangat megah untuk pemujan Dewa Siwa yakni Golden Temple yang terletak di tengah-tengah kota Benares di dekat sungai Gangga.
          Dalam praktek kehidupan beragama Hindu bahwa pada setiap rumah tangga juga terdapat untuk pemujaan Dewa Siwa berupa altar atau sejenis pelangkiran bagi umat Hindu di Bali. Pada masing-masing altar itu juga disediakan tempat khusus untuk menempatkan sesaji, sarana pemujaan dan hal lain yang diperlukan. Umumnya disiapkan ruangan khusus yang memang disucikan (Subagiasta, 2006:30-31).
Penerapan Saiva Siddhanta di India :
          Penerapan Saiva Siddhanta di India dapat dilihat dalam praktek nyata kehidupan beragama Hindu di India secara sosiologisnya nampak dengan jelas. Kemudian pada religiusnya terlihat dalam praktek pemujaan (upasana atau puja), yang paling rutin dilaksanakan yaitu di suatu Mandir, baik di tingkat perseorangan maupun di tingkat komunal. Ada dua cara penerapannya yaitu dengan cara sarana, sadhana, material, upakara, banten/bali, atau simbol-simbol tertentu yang dinamai pratika atau saguna upasana. Sedangkan cara penerapan yang lainnya adalah ahamgraha upasana atau nirguna upasana. Cara ini dilakukan dengan cara meditasi pada patung, arca, pratima, gambar/citra, dewa-dewi, aksara atau hal yang dapat meningkatkan kualitas meditasi menuju spiritual yang paramaartha serta paramisa.
          Penerapan agama Hindu di India ada yang dinamai sepuluh samskara meliputi: Garbhadana samskara (mensucikan kegiatan penciptaan), Pumsavana samskara (ucapan mantra-mantra kandungan berumur bulan ketiga bagi anak), Simantonnayana samskara (pengucapan mantra weda pada saat kandungan berumur tujuh bulan), Jatakarma samskara (upacara segera kelahiran anak), Namakarana samskara (upacara pemberian nama anak), Annaprasana samskara (pemberian makanan pertama kali saat berumur enam bulan), Cudakarana samskara (upacara pencukuran rambut pertama kali bagi anak), Upanayana samskara (upacara mendekatkan anak untuk belajar pada gurunya), Samavartana samskara (upacara mengakhiri masa belajar agama atau weda), dan Vivaha samskara (upacara perkawinan atau masa berumah tangga). Penerapan Saiva Siddhanta di Bali hamipr sama dengan di India seperti konsep Panca Yadnya untuk Homa untuk Dewa Yadnya, tarpana atau srddha untuk pitra yadnya, belajar weda atau brama untuk resi yadnya, bali untuk Bhuta Yadnya, dan penghormatan atau keramahtamahan untuk Manusa Yajnya (Subagiasta, 2006:31-33).
Pengikutnya :
          Pengikut dari Siva Siddhanta pada umumnya adalah para bhakta Siva. Terutama umat Hindu di berbagai pelosok di negara bagian India. Pengikut lainnya adalah para Brahmana  dan Tamil Nadu. Di Tamil Nadu sebutan pengikut Siva Siddhanta  dinamai Gurukkal. Ada juga dinamai pengikut dalam sebutan dasnama sannyasin, tetapi pengikut ini tidak semua pemuja dan pengikut Siwa. Ada sebagaian yang memuja visnu atau dari paksa vaisnawa. Sisanya lagi dari para bhakta yang ada di India. Jadi yang dinamai dasanama sannyasin itu adalah para bhakta atau umat Hindu India yang memiliki kepercayaan yang sangat kuat baik terhadap Dewa Siwa, sebagian lagi kepada Dewa Visnu, pemuja Rama, pemuja Anomana, serta pemuja lainnya sesuai ista dewata dalam agama hindu (Subagiasta, 2006: 33-35).
Hari Sucinya :
          Di Indonesia dan juga di Bali bahwa perayaan suci agama Hindu nampak ada persamaan dan sedikit perbedaan. Ada yang sama dalam sebutan perayaan sucinya seperti : perayaan Siwaratri, perayaan Saraswati, Purnima atau  Purnama, Amavasya atau Tilem. Cara yang lazim dilakukan ada saat perayaan suci adalah dengan melakukan upawasa selama sehari penuh bahkan lebih dari sehari bhakta yang telah mampu melaksanakannya. Setiap perayaan suci diikuti dengan upawasa tersebut.
          Bilamana pada saat Siwaratri dan Maha Siwaratri yang dipuja adalah Dewa Siwa. Pada saat itu para bhakta melakukan pemujaan kehadapan Dewa Siwa. Kalau di India perayaan Siwaratri dilakukan sekitar bulan kapitu atau dinamai Sasi Marga sekitar bulan Januari dan Februari pada setiap tahunnya.Saat itulah umat hindu datang ketempat suci seperti mandir, ada yang ke campuan yakni tempat suci berupa pertemuan sungai . Disanalah umat Hindu atau pengikut Siva Siddhanta melakukan penyucian diri (kalau di Bali melukat, mesiram, melasti). Tempat suci sangam merupakan pertemuan dari tiga sungai suci Hindu yang bernama sungai Gangga, sungai Yamuna, dan sungai Saraswati, jadi ketiga sungai suci itu dinamai triveni atau trinadhi.
Hari suci yang lainnya lagi adalah pemujaan kehadapan sakti Siwa yang dinamai Durga Puja yakni hari suci untuk memuja Dewi Durga sebagai ibu suci dan ibu niskala yang memberikan kekuatan lahir batin terhadap umat Hindu. Dalam tradisi india ada yang disebut nawaratripuja yaitu pemujaan selama Sembilan hatri sembilan malam terhadap Dewa Siwa dan Dewi Durga. Praktek pemujaannya adalah dengan vrata/brata, yang dalam bahasa Hindinya dinamai ‘bret’ artinya tidak makan dalam kurun waktu yang diingini oleh para bhakta (Subagiasta, 2006:35-38).
Orang Sucinya :
          Orang suci umat Hindu yang ada di India ada yang dinamai pandit. Kata pandit (bahasa Hindi) sedangkan dalam bahasa Sansekerta disebut pandita. Kalau di Indonesia disebut “Pendeta” yakni orang suci yang memimpin suatu upacara keagamaan Hindu. Tidak saja itu juga diagama non Hindu juga menamai ‘Pendeta’. Dalam kenyataan masyarakat Hindu di Bharatiya bahwa peran orang suci adalah sangat menentukan oleh kalangan Brahmin, maka peran para orang suci sangat menentukan orang suci kalau di Bharatiya sangat dihormati dan disucikan oleh umat Hindu. Terutama bagi pengikut Saiva Siddhanta bahwa para pemuja Siva dan bhakta Siva begitu berbakti kepada orang suci.  Sesuai kepercayaan umat Hindu yang bersumber pada ajaran Veda bahwa orang suci Hindu ada dikenal dengan nama sapta resi. Ketujuh resi penerima wahyu yaitu Gratsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasistha, dan Maha Resi Kanwa.
Menurut tradisi Hindu. Maharesi terbesar dan sangat banyak jasanya dalam menghimpun dan mengkodifikasi Weda adalah Maharesi Wyasa. Selain itu juga ada dinamai maharesi penyusun catur veda samitha yakni Maharesi Paila (Pulaha) sebagai penyusun Rgweda samitha, Maharesi Waisampayana sebagai penyusun Yajurweda samitha, Maharesi Jamini sebagai penyusun Samaweda samitha, dan Maharesi Sumantu sebagai penyusun Atharwaweda samitha (Subagiasta, 2006:38-39).