Translate

Minggu, 28 Februari 2016

BIJA ATAU WIJA



         Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir
dan suatu upacara persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan
air bersih atau air cendana. Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL)
sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning. Bila dapat supaya diusahakan
beras galih yaitu beras yang utuh, tidak patah (aksata).
          Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada
hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam
dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh- kembangkan benih keSiwa-
an itu dalam diri orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila
ladangnya bersih dan suci, maka itu mewija dilakukan setelah mathirta.
           Dalam diri manusia terdapat sifat kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut Daivisampat
dan Asuri-sampat. Menumbuh- kembangkan benih ke-Siwa-an berarti
menumbuhkembangkan sifat kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan.
Kedua sifat itu bersemayam dalam pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan
berkembangnya sifat kedewataan atau benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dari hati
manusia maka tempat memuja itu yang terpenting di dua tempat, yaitu: pada pikiran dari
hati itu sendiri, masing-masing dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua kening
dan dengan menelannya. Patut pula diingat bahwa wija di samping sebagai lambang
Kumara, juga sebagai sarana persembahan.
           Agaknya perlu juga dikemukakan di sini bahwa wija/bija tidak sama dengan bhasma.
Kadangkala antara wija/bija dan bhasma itu pengertiannya rancu. Wija tersebut dari beras
sedangkan bhasma terbuat dari serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh
dengan menggosok-gosokkan kayu cendana yang dibubuhi air di atas sebuah periuk atau
dulang dari tanah liat. Kemudian hasil gosokan (asaban) itu diendapkan. Inilah bahan
bhasma. Kata bhasma sendiri secara harfiah berarti abu atau serbuk. Kata "bhas" dalam
kata bhasma tidak sama dengan kata baas dalam bahasa Bali yang berarti beras. Karena
kata Bhasma adalah kata dalam bahasa Sansekerta. Pemakaiannyapun berbeda. Kalau
wija umumnya dipakai oleh orang yang masih berstatus walaka, sedangkan bhasma
hanya dipakai oleh Sulinggih yang berstatus sebagai anak lingsir. Kata wija berdekatan
artinya dengan kata Walaka dan Kumara yang berarti biji benih atau putera.
           Bhasma dalam hal ini adalah lambang Sunya atau Siwa. Dengan pemakaian bhasma itu
Sulinggih bersangkutan menjadikan dirinya Siwa (Siwa Bhasma), disamping sebagai
sarana untuk menyucikan dirinya (Bhasma sesa).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar