Translate

Minggu, 28 Februari 2016

Perjalanan Śiva Siddhānta di Bali.


Sumber Ajarannya :
          Sebagian sumber ajaran dari pada Śiva Siddhānta di Bali adalah bersumber pada ajaran Weda dan sumber suci dalam naskah tradisional. Sebagaimana dijelaskan dalam buku Siwa Sasana ada dikelompokkan beberapa naskah tradisional Bali. Kelompok yang dimaksud ada empat, yaitu :
1.       Kelompok weda, misalnya: weda parikrama, weda sanggraha, surya sevana, siva pakarana.
2.       Kelompok tattwa, meliputi: bhuana kosa, bhuana sang ksepa, wrhaspati tattwa, siva gama, sivatattwapurana, gong besi, purwa bumi kamulan, tantu panggelaran, usaha dewa, ganapati tattwa, tattwa jnana, dan jnana sidhanta.
3.       Kelompok ethica, adalah siva sasana, rsi sasana, wrti sesana, putra sesana dan slokantara.
4.       Kategori upakara agama, meliputi:
1)      Upakara Dewa Yadnya, antara lain: caturwedhya, wrhaspattikalpa, dewatattwa, sundari gama.
2)      Upakara Pitra Yadnya, meliputi: yamatattwa, empu lutuk aben, kramaning atiwatiwa, indik maligya, dan puteru pasaji.
3)      Upacara Rsi Yadnya, antara lain: kramaning madiksa, yadnya samkara.
4)      Upacara Manusa Yadnya, meliputi: dharma kahuripan, eka ratama, janmaprawerti, puja kala pati, puja kalib.
5)      Upacara Butha Yadnya, meliputi: eka dasa rudra, panca wali krama, indik caru, puja pali-pali.


 Ajarannya :
          Tattwan dan filsafat memiliki kesamaan makna, yakni sama-sama menekankan pada hakikat dan kebenaran. Juga sama-sama mengkaji hal atau objek yang kongkrit serta segala hakikat yang ada. Terkait dengan materi tattwam, bahwa ada beberapa sumber yang dijadikan dasar acuan materinya.
          Beberapa sumber lontar, seperti : Bhuwanan Kosa, Tattwa Jnana, Mahajnana, Ganapatitattwa, Wrhaspatitattwa, Jnansiddhanta, dan beberapa puja bercorak monism (Tim Penyusun , 1999 :1). Semua lontar diatas, adalah berisikan tentang ajaran mengenai paham Siwaistis.
          Bhuwana Kosa terdiri atas beberapa bab dan empat ratus delapan puluh tujuh sloka. Sumber teksnya bebrahasa Sangsekerta dalam bentuk sloka. Tahap penciptaan (utpeti) oleh Bhatara Siwa, seperti : Bhatara Siwa, Purusa, Awyakta, Budhi, Ahangkara, Pancatanmatra, Manah, Akasa, Bayu,Agni, Apah, dan Prthiwi. Sebaliknya proses peleburan (pralina) oleh Bhatara Siwa, meliputi : prthiwi, apah, agni, bayu, akasa, pancatanmatra, ahangkara, budhi, awyakta, purusa, dan kembali kehadapan Bhatara Siwa.
          Sedangkan Wrhaspatitattwa terdiri atas tujuh puluh sloka yang berbahasa Sansekerta. Dengan terjemahannya berbahasa kawi. Isi utama dalam naskah ini adalah dialog antara Bhatara Siwa dengan Bhagawan Wrhaspati mengenai cetana sebagai unsur kesadaran dan acetana sebagai unsur ketidaksadaran. Wrhaspati Tattwa mengajarkan tentang Yoga, cetana telu (Paramasiwa atau Nirguna Brahman, Sadasiwa, Siwatma Tattwa, maya, sakti, guna, swabhawa, aksara OM atau AUM, Saguna Brahman, atma, catur iswarya, panca yama brata, panca niyama brata, dan astasiddhi.
          Selanjutnya tentang Ganapati Tattwa berisikan ajaran agama Hindu secara dialog dengan Dewa Siwa dengan Sang Hyang Ganapati. Isi naskah berbahasa Sangsekerta dan Jawa Kuna. Dalam pemujaan kepada Hyang Siwa digunakan empat aksara suci (caturdasaaksara), yakni : sang, bang, tang, ang, ing, nang, mang, sing, wang, yang, ang, ung, mang, ong. Bagaimana proses penciptaan ini menurut Ganapati Tattwa, yaitu : “ tentang hakikat alam semesta, dimana diciptakan oleh Panca Dewata dari unsur yang paling halus sampai dengan tingkatan yang mempunyai wujud nyata” (Tim Penyusun, 1999:11). Setelah panca dewata ( Brahma, Wisnu, Rudra, Iswara, Sadasiwa) menciptakan pancatanmatra (gandha, rasa, rupa, sparsa, sabda tanmatra), kemudian tercipta panca maha butha (akasa=unsur suara, bayu=unsur angin, teja= unsur matahari, bintang, bulan, apah = unsur air, pertiwi=unsur bumi dan tanah). Demikian sekilas isi Wrahaspatitattwa.
          Adapun isi Sang Hyang Mahajnana adalah mengenai ajaran kelepasan yang bersifat Siwaistis yakni memuliakan Hyang Siwa. Naskah ini terdiri atas delapan puluh tujuh sloka dalam bahasa Sangsekerta yang terjemahannya dalam bahasa Kawi. Inti dari ajaran Sang Hyang Mahajnana yaitu bagaimana mencapai kelepasan dan bisa menyatu dengan Hyang Siwa. Ada tiga komponen utama yang dibicarakan yakni purusa (unsur kesadaran), pradhana (unsur ketidaksadaran), dan atma (unsur kebijaksanaan).
          Jadi tujuan utama berbakti kepada Hyang Siwa adalah untuk dapat menyatu dan mencapai tujuan hidup yang tertinggi yaitu moksa. Selanjutnya dalam Tattwajnana mengandung ajaran ketuhanan hindu terutama memuliakan Hyang Siwa. Ajaran Tattwajnana menguraikan dua unsur universal yakni cetana dan acetana. Unsur cetana merupakan komponen kesadaran yang disebut Siwatattwa dan unsur acetana merupakan unsur ketidaksadaran yang dinamai Mayatattwa. Unsur cetana bersifat tutur (sadar) dan acetana bersifat tan patutur (lupa). Unsur cetana atau Siwatattwa meliputi tiga komponen yakni Paramasiwatattwa  (Bhatara Siwameraga Niskala). Sadasiwatattwa ( Bhatara Siwa sudah tersentuh sarvajna, sarvakaryakarta, cadusakti, dan jnanasakti) sehingga beliau disebut Bhatara Jagatnhata, Bhatara Guru, dan sebutan yang lainnya, dan atmikatattwa (Bhatara Siwa, dalam keadaan gaib atau utaprota, seperti api ada dalam kayu, atau sebagai Bhatara Dharma yang tanpa pilih kasih bagai sinar matahari.
          Pertemuan sadar dan tak sadar dinamai Purusapradhana, yang melahirkan citta dan guna (sattwa, rajas, tamas). Dari triguna dan citta lahir buddhi, kemudian lahir ahangkara (ahangkara waikerta, taijasa, dan bhutadi). Ahangkara waikerta melahirkan manah dan dasendriya, taijasa melahirkan pancatanmatra serta pancamahabutha, dan bhutadi saling membantu dalam proses pencintaan untuk mempertemukan pancamahabhuta sehingga melahirkan andhabhuwana, misalnya sapta loka atau alam atas dan sdapta patala atau alam bawah, sehingga Bhatara Siwa menyusup di alam ini maka lahirlah ciptaan manusia. Untuk penyatuan atma dengan Bhatara Siwa maka ada jalan dinamai Prayogasandhi ( asana, pranayama, pratyahara, dharana, dyana, tarka, dan samadhi). Kemudian Jnanasiddhanta merupakan naskah yang berbahasa Sangsekerta dan Jawa Kuna yang terdiri atas dua puluh tujuh bab yang inti ajarannya tentang kelepasan (moksa) untuk menyatunya atma dengan pencipta (Hyang Siwa). Manusia diciptakan oleh hyang siwa yang digambarkan seperti Omkara atau Pranava, yakni dada, lengan, kepala, dan rambut (ongkara, ardhacandra, vindu, nada), sedang tubuh bagian dalam yakni paru-paru, limpah, jantung, empedu, ati (ongkara, ardhacandra, vindu, nada, matra). Untuk mencapai kelepasan dapat ditempuh dengan enam jalan yoga yakni pratyahara, dhyana, pranayama, dharana, taka, dan semadhi.
          Dalam melaksanakan yoga, maka ia harus mewujudkan atmalingga dalam dirinya. Atmalingga adalah mewujudkan Sang Hyang Ongkara dan Tri Aksara dalam diri berstana dalam batin. Dalam meditasi ada tujuh yang harus diperhatikan yaitu :
1.       Semua tingkah laku dipusatkan pada Bhatara Siwa.
2.       Batin dipusatkan pada Bhatara Siwa.
3.       Pendengaran dipusatkan pada Bhatara Siwa.
4.       Pengelihatan dipusatkan pada Bhatara Siwa.
5.       Kata-kata dipusatkan pada Bhatara Siwa.
6.       Jadikan kedipan mata itu kepada Bhatara Siwa.
7.       Jadikanlah Bhatara Siwa sebagai nafasmu.
          Ketujuh pemusatan pikiran ini disebut Sapta bddhyanggamarga (Tim Penyusun, 2000: 24). Kemudian ada tiga jalan utama saat peleburan, yaitu melalui ubun-ubun (nistha), melalui hidung (madhya), dan melalui mulut (uttama). Ketiga jalan itulah menuju kelepasan atau moksa.
          Dalam ajaran yoga ada dikenal dengan delapan tahap penting dalam bertata susila atau pengendalian diri. Kedelapan tahapan itu dinamai Astanggayoga. Adapun bagiannya yaitu :
1.       Yama iyalah pengendalian diri tahap pertama. Yaitu :
          1)      Ahimsa artinya tidak membunuh-bunuh.
          2)      Satya artinya setia, benar.
          3)      Asteya artinya tidak mencuri.
          4)      Brahmacari artinya pantang hubungan kelamin.
          5.       Aparigraha artinya tidak menerima, tidak loba (ibid, 50).
2.       Nyama iyalah pengendalian diri lebih lanjut. Pengendalian diri tahap kedua, antara lain :
          1)      Sauca artinya suci lahir batin.
          2)      Santosa artinya kepuasan.
          3)      Tapa artinya pengekangan diri.
          4)      Swadhayaya artinya belajar
          5)      Iswarapranidhana artinya bhakti kepada Tuhan (ibid, 54).
3.    Asana iyalah sikap duduk. dalam tahap asana diperlukan adanya sikap yang baik dan tenang seperti : padmasana, wajrasana, swastikasana, sukhasana, silasana,  
4.    Pranayama ialah pengendalian prana. dalam tahap Pranayama atau teknik pengaturan nafas/ pengendalian prana, dibedakan dalam tiga cara yakni puraka artinya menarik atau memasukkan nafas yang bersih, kumbaka yaitu menahan nafas, dan recaka mengeluarkan nafas yang kotor.
5.    Pratyahara ialah penarikan pikiran dari objeknya. pratyahara yakni penarikan pikiran dari objeknya, yang harapannya agar pikiran tidak kacau. Pikiran perlu tenang dan nyaman
6.    Dharana ialah pemusatan pikiran. Setelah ketenangan pikiran muncul dan       pikiran tertuju pada satu objek, maka pikiran selanjutnya untuk dipusatkan sesuai sasaran yang dituju (Dharana).
7.    Dhyana ialah meditasi. Bilamana hal ini telah dilakukan, maka dilanjutkan dengan dhyana yaitu melakukan meditasi, sehingga tahapan yang terakhir adalah dapat dilaksanakan samadhi
8.       Samadhi ialah luluhnya pikiran dengan atma (Sura, 1985:49)
Tempat Pemujaannya :
          Tempat pemujaan atau tempat suci umat Hindu Indonesia disebut Pura. Sering pula umat Hindu menyebutnya dengan nama Kahyangan atau Parahyangan Pura berasal dari bahasa Sansekerta (Pur) artinya benteng, kota, tempat yang dikelilingi oleh tembok. Pura adalah tempat suci untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi wasa/ Tuhan Yang Maha Esa atau para Dewa sebagai manifestasi Tuhan. Dalam hal ini dinamai pula Dewalaya atau Mandiram (bahasa Sansekerta) dan juga dinamai Mandir (bahasa Hindi). Tempat suci dapat digolongkan berdasarkan karakternya yaitu, a) pura keluarga, b)pura teritorial, c) pura fungsional, dan pura umum. Palemahan pura umumnya terdiri dari tiga yaitu jeroan (utama mandala) melambangkan alam atas (swah loka), jaba tengah (madhyana mandala) melambangkan alam tengah (bhwah loka), dan jaba sisi (kanista mandala) yang melambangkan alam bawah (bhur loka).
          Adapun tempat pemujaan bagi umat Hindu, antara lain :
1. Pura Keluarga adalah pura yang khusus bagi umat Hindu yang masih ada ikatan satu keluarga atau wit. Pura Keluarga juga dinamai Pura Kawitan, Pamerajan, Dadia, Panit, Ibu, Padarman, dan lain-lainnya. Bertempat di Pura Keluarga bahwa umat Hindu memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta roh suci leluhur atau atma sidha dewata. Pelinggih uatama pada Pura Keluarga biasanya berupa Gedong, Pelinggih Rong Tiga, atau ada pula berupa Meru serta Pelinggih Padmasana.
2. Pura Teritorial yang dimaksudkan adalah Pura Kahyangan Desa. Jenis pura ini juga dinamai Tri Kahyangan atau Kahyangan Tiga. nama-nama Pura Kahyangan Tiga adalah a) Pura Baleagung sebagai tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Brahma (Pencipta/Utpatti), b) Pura Puseh sebagai tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Wisnu (Pemelihara/Sthiti), c) Pura Dalem sebagai tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Siwa (Mengembalikan ke asalnya/ Pralina).
3. Pura Fungsional merupakan tempat suci dalam kaitannya dengan kekaryaan umat Hindu, Pura ini juga dinamai Pura Swagina. Jenis pura fungsional, seperti Pura Subak merupakan tempat suci umat Hindu yang memiliki ikatan kerja dalam pertanian. Pura Subak juga dinamai Pura Bedugul atau Ulun Suwi atau Pura Ulun Subak. Kalau kaitannya dengan ikatan profesi bagi para pedagang disekitar pasar atau di tempat tertentu untuk berjualan disebut Pura Melanting. Keempat, Pura Umum, Pura Umum adalah pura yang tergolong kahyangan jagat sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa serta segenap manifestasi-Nya. Yang tergolong sebagai Pura Umum adalah Pura Sad Kahyangan Jagat, Pura Dang Kahyangan Jagat, Pura Jagatnatha di sekitar perkotaan maupun pura yang dibangun di wilayah Indonesia yang dapat dijadikan tempat sembahyang oleh umat Hindu.
     Kalau di Bali bahwa Pura Kahyangan Jagat diklasifikasikan berdasarkan atas :
1. Konsep rwa bhinneda yaitu Pura Besakih sebagai Purusa dan Pura Batur sebagai unsur Pradhana.                                                                          
             
2.  Kalau berdasarkan konsep Cadu Sakti atau Caturlokapala (empat penjuru mata angin) maka yang tergolong Pura Kahyangan Jagat adalah Pura Lempuyang di arah timur (Purwa) sebagai tempat memuja Dewa Iswara, Pura Andakasa diarah selatan (Daksina) sebagai tempat memuja Dewa Brahma, Pura Batukaru di arah barat (Pascima) sebagai tempat memuja Dewa Mahadewa, dan Pura Batur diarah utara (Uttara) sebagai tempat memuja Dewa Wisnu.
3.       Berdasarkan konsep sadwinayaka, yang tergolong pura umum yaitu Kahyangan Gunung Agung (Pura Besakih) di daerah Kab. Karangasem, Kahyangan Lempuyang Luhur juga didaerah Kab. Karangasem, Kahyangan Goa Lawah di daerah Kabupaten Klungkung, Kahyangan Uluwatu di daerah Kab. Badung, Kahyangan Batukaru di daerah Kab. Tabanan, dan Kahyangan Pusering Tasik/ Pusering Jagat didaerah Kab. Gianyar (Subagiasta, 2006 : 52-55)
Penerapan Saiva Siddhanta di Bali :
          Penerapan Saiva Siddhanta di Bali lebih banyak yang nampak melalui pelaksanaan upacara agama hindu yang dikelompokkan ke dalam lima bagian besar yang dinamai panca yajna, yakni : pertama, Dewa Yajna yakni persembahan kepada Tuhang Hyang Maha Esa beserta dengan semua manifestasi-Nya, dengan pelaksanaan upacara agama berupa piodalan di pura, persembahyangan, perayaan hari suci agama Hindu seperti : Saraswati, Pagerwesi, Galungan, Kuningan, Siwaratri, Nyepi, Purnama, Tilem, dan sebagainya; kedua, Manusa Yajna yakni persembahan kehadapan manusia yang dimulai sejak dalam kandungan sampai menjelang meninggal dengan berbagai jenis upacaranya bertujuan untuk melakukan penyucian diri serta peningkatan kualitas hidup manusia, yang pelaksanaannya dengan melakukan penghormatan terhadap sesama manusia, melakukan upacara agama seperti upacara megedong-gedongan, dapetan, tutug kambuhan, telu bulanan, ngotonin, ngeraja wala, matatah, mavivaha, pawintenan dan sebagainya; ketiga, Pitra Yajna yaitu persembahan kehadapan para pitara-pitara guna mendapatkan kerahayuan hidup di dunia ini dan di akhirat, cara pelaksanaannya dengan melakukan penghormatan kepada orang tua, berbakti kepada orang tua, melakukan upacara pitra yajna, dan lain-lainnya; keempat, Resi Yajna yakni persembahan kehadapan para orang suci, para resi yang telah berjasa dalam pembinaan, pengembangan, serta menuntun umat, yang pelaksanaannya dengan mentaati ajaran para resi, berbakti kepada para resi, berdana punia kepada para resi, memberkan pelayanan kepada para resi dan sebagainya; dan kelima, Bhuta Yajna yakni persembahan kehadapan para bhuta kala atau mahkluk bawahan, oleh karena para bhuta kala itu turut memberikan kekuatan kehidupan di alam semesta ini sehingga semua kehidupan menjadi harmonis. Pelaksanaannya dengan melakukan masegeh, macaru, dan pelaksanaan tawur.( Subagiasta, 2006 : 55-57)
Pengikutnya :
          Sebagai pengikut filsafat dan ajaran Saiva Siddhanta adalah segenap umat Hindu yang tinggal di Pulau Bali. Dalam perkembangan agama Hindu belakangan ini bahwa awalnya agama Hindu dengan paham Saiva Siddhanta tersebut yang berasal dari India terutama dari India Selatan tepatnya didaerah Tamil Nadu, bahwa pengikut Saiva Siddhanta selain umat Hindu yang berasal dari tanah bharatiya, maka filsafat Saiva Siddhanta tersebut juga diikuti oleh para sadharma atau umat Hindu yang asli Indonesia, di antaranya : umat Hindu di Sumatra, umat Hindu di Bali, umat Hindu di lombok, umat Hindu di Jawa, umat Hindu di Sumbawa, di Sumba, di Papua dan sebagainya di wilayah kepulauan Nusantara ini.
          Kemudian kalau di Pulau Dewata bahwa pengikut Saiva Siddhanta adalah umat Hindu pada umumnya, oleh karena kalau di Bali tidak ada perbedaan yang menjolok walaupun dari para bhakta adalah pengikut Vaisnawa dan yang lainnya, tetapi sama sebagai penyembah dan pemuja Hyang Siwa. Beliau Hyang Siwa sangat dimuliakan dan dihormati melalui pelaksanaan semabh bakti oleh segenap umat Hindu. Tidak adanya perbedaan yang mencolok dalam pemujaannya, juga dalam melakukan bhakti ke tempat suci atau di Pura, oleh karena dalam pelaksanaan pemujaan telah diakomodir melalui sembah, melalui doa, serta melalui penempatan para dewata dalam tempat suci itu sendiri (Subagiasta, 2006 : 56-57).
  Hari Sucinya :
          Hari suci merupakan hari baik bagi umat Hindu untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Beberapa hari suci Hindu antara lain :
1.       Hari raya Galungan yang pelaksanaannya setiap enam bulan sekali, yaitu pada Budha Kliwon Dungulan. Pada hari raya Galungan umat Hindu melakukan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, terutama dilakukan di Pura Keluarga (Pamerajan, Sanggah Gede, Dadia, Kawitan, Kamulan, Taksu, dan lain-lainnya), Pura Kahyangan Desa, serta Kahyangan jagat lainnya. Saat hari raya ini juga dinyatakan sebagai hari kemenangan kebenaran (Dharma) atas ketidakbenaran (Adharma). Perayaan Galungan dimulai pada Sabtu Kliwon Wariga sampai dengan rangkaian terakhir pada Budha Kliwon Pahang. Adapun rangkaian utama perayaan Galungan adalah penyekeban/penyajaan, pengejukan, penampahan, puncak perayaan Galunan, dan umanis Galungan.
2.       Hari raya Kuningan yang dirayakan pada hari Sabtu Kliwon Kuningan, sepuluh hari setelah perayaan Galungan. Hari Raya Kuningan juga diawali dengan rangkaian Penampahan Kuningan, Puncak perayaan Kuningan dan Ulihan.
3.       Hari raya Saraswati yang dilaksanakan pada Sabtu Umanis Watugunung. Umumnya perayaan ini dikenal dengan nama Piodalan Sang Hyang Aji Saraswati atau piodalan Sang Hyang Pengeweruh. Makna yang dikandung dari perayaan Saraswati adalah betapa pentingnya ilmu pengetahuan suci Weda dan sains lainnya untuk memajuan dan kesejahteraan umat manusia.
4.       Hari raya Pagerwesi adalah sebagai hari pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Hyang Paramesti Guru) yang dirayakan setiap Budha Kliwon Sinta. Perayaan hari raya ini bermakna untuk memohon kekuatan hidup baik secara fisik dan non fisik (wahya adhyatmika). Jadi perayaan Pagerwesi bertujuan untuk memohon kekuatan dan kemantapan sraddha dan bhakti umat Hindu.
5.       Hari raya Nyepi yang perayaannya dilaksanakan setiap penanggal pisan sasih kadasa. Rangkaian upacara hari raya Nyepi diawali dengan pelaksanaan melasti ke segara/samudra untuk memohon tirtha amertha atau air suci kehidupan serta untuk mengahyutkan segala mala pataka/dosa/papa, kemudian dilanjutkan dengan pengerupukan/mebuu-buu serta pelaksanaan Upacara Tawur Kasanga di setiap lingkungan desa terutama bertempat diperempatan jalan (catus pata) yang jatuh pada Tilem Sasih Kasanga.
6.       Hari Siwaratri yang berarti malam siwa. Siwa adalah sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang memiliki kekuasaan untuk pameralina. Dalam naskah Siwaratrikalpa dijelaskan bahwa Bhattara Siwa melakukan yoga untuk keselamatan denia beserta segenap isisnya beretapatan dengan caturdasi kresnapaksa atau pangelong ping patbelas sasih kapitu. Saat itu dipilih oleh Bhattara Siwa untuk beryoga, karena merupakan malam yang tergelap dan saat yang terbaik melakukan pemujaan kehadapan Bhattara Siwa. Saat Siwaratri, maka umat Hindu melakukan tapa brata yoga dan samadhi. Waktu pelaksanaannya selama 36 jam. Jenis brata dapat dilakukan berupa upawasa (tidak makan dan tidak minum), monabrata (tidak berbicara/selalu hening), dan jagra (tidak tidur) (Subagiasta, 2006 : 58-60)
Orang sucinya :
          Orang suci adalah sangat besar jasanya terhadap perkembangan dan penyebaran agama hindu kepada umat di dunia ini. Tanpa orang suci, maka agama hindu sulit untuk berkembang. Orang suci umat hindu secara umum disebut dengan nama Rsi. Ada beberapa orang suci antara lain:
1.       Bhagawan Bhrigu merupakan orang suci Hindu yang namanya banyak disebut-sebut dalam kitab purana. Beliau sebaga pendiri keluarga/warga Bhargawa.
2.       Bhagawan Bharadwaja sebagai orang suci Hindu yang ada kaitannya dengan cerita Ramayana yang ditulis oleh Bhagawan Walmiki. Bhagawan Bharadwaja juga sebagai penerima wahyu suci dari Tuhan Yang Maha Esa. Beliau sebagai guru suci pada sebuah ashram kenamaan Hindu di kota prayoga yang kini dikenal dengan nama kota Aalahabad. Pada kota prayoga ini adalah sebagai tempat suci Hindu, oleh karena disana terdapat campuhan (sangam) dari pada sungai Ganga, sungai Yamuna, dan sungai Saraswati (yang saat ini tidak nampak).
3.       Rsi Agastya sebagai oranmg suci lahir dikota Khasi atau Benares-India Utara (Uttara Pradesh). Beliau telah menyebarkan agama Hindu di india dab termasuk sampai di Indonesia dan Bali.
4.       Bhagawab Brihaspati adalah seorang putra dari Bhagawan Angira yang merupakan orang suci yang terkenal bagi umat Hindu.
5.       Mpu Tantular sebagai pujangga besar agama Hindu. Beliau telah menulis kekawin Sutasoma. Beliau memiliki empat putra yaitu: Mpu Kanawasikan, Mpu Asmaranatha, Mpu Shidimantra, Mpu Kepakisan.
6.       Mpu Kuturan sebagai orang suci yang telah berjasa menyebarkan ajaran agama Hindu di Indonesia dan di Bali khususnya. Beliau mengajarkan ajaran Tri Murti dan mengjarkan  konsep Tri Kahyangan di setiap desa adat dan desa pakraman di Bali.
7.       Mpu Bharadah sebagai oranh suci Hindu merupakan adik dari Mpu Kuturan. Kebesaran nama Mpu Bharadah sangat terkenal di bali dan Mpu Bharadah ada di muliakan di salah satu pura di kompleks pura Besakih.
8.       Rsi Markandeya adalah orang suci Hindu yang pertama kali dating ke Bali untuk menyebarkan ajaran agama Hindu. Beliau datang dari tanah jawa menuju Bali beserta dengan beberapa pengikutnya untuk merabas hutan Bali di jadikan lahan pertanian dan sekaligus menata kehidupan beraga Hindu di Bali.
9.       Dang Hyang Dwi Jendra nama lain beliau adalah Dang Hyang Nirathga. Jikalau di bali beliau bergelar pedanda Sakti Wawu Rawuh. Kalau di Lombok beliau bergelar Tuan Semeru dan di Sumatra bergelar Pangeran Sangupati. Banyak tempat suci yang telah beliau bangub di pulau Bali, seperti ; Pura Puruncak, Pura Rambut Siwi, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Tanah Lot, Pura Prti Tenget, Pura Uluwaru , Pura Air Jeruk dan lain-lain.
10.     Dang Hyang Astapaka merupakan salah satu orang suci dari Bhuda Mahayana dan Majapahit dan di Bali belai mendirikan Pura Sakenan di daerah Serangan Denpasar Selatan. Keturunan beliau di Bali kini menetap di daerah Karangasem yaitu Dsesa Budekeling (Subagiasta, 2006 : 61-63)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar