Kedudukan Wisnuisme dalam Sekte Waisnawa
Mengenai wisnuisme di
jawa-kuna ternyata pada kita juga tidak ada perbedaan (diferensiasi)
tertentu antara dua kelompok yang utama ialah; bhagawata dan pancaratra.
Wisnuisme tetap dalam keadaan sama seperti di zaman epik atau beberapa
waktu setelah zaman itu (purana-purana yang lebih tua). Unsur-unsur
tantris jelas dapat dipersaksikan. Awatara-awatara (tulis-tulisan) belum
sampai jumlah sepuluh seperti kemudian hanya enam sebagaimana pada
zaman epik diketahui; celeng (waraha), si laki-singa (narasingha), si
cebol (wamana), selanjutnya Rama dan Krsna
Di Bali sekarang tidak
terdapat lagi wisnuisme yang diakui secara resmi, akan tetapi dapat
ditemukan bekas-bekas dalam dua aliran (sepeti pada pasupata) yaitu
disini lagi unsur-unsur yang diambil alih ke dalam agama umum dan
disamping itu tokoh sengguhi
Unsur-unsur yang dimaksudkan ke dalam
agama umum adalah; popularitas besar yang diperoleh Sri (sakti Wisnu).
Dari dewi rejeki dan dewi kebahagiaan. Ia menjadi Dewi-Padi, Dewi dari
makanan utama orang-orang Jawa dan Bali, dalam seluruh kekayaan
dongeng-dongeng tentang Dewi Sri terdapat campuran dari unsur-unsur
pribumi kuno dengan Hindu. Akan tetapi masih ada suatu unsur lagi yang
dimasukkan di sini, yaitu wisnu menjadi dewa dari perairan di alam
bawah. Jadi dengan demikian mempunyai sifat sebagai demonis-chotnis)
termasuk benar-benar makhluk alam bawah dan chthonis.
Menganggap hal
ini sebagi sisa-sisa dari agama Asia-purba umum yang mempunyai
cabang-cabang baik ke Babylon maupun ke Cina. Namun sementara ini masih
kekurangan keterangan untuk mengangkat pendapat yang kini di anut oleh
beberapa sarjana ini menjadi suatu teori yang dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah. Ada suatu corak alam bawah yang lain dalam
hakekat Wisnu yang sampai kini masih terdapat di Bali. Karena dalam
berbagai pura terutama di kerajaan inti Gel-gel jadi wilayah sekeliling
Klungkung sekarang suatu tempat pemujaan yang dipersembahkan kepada sang
Sapta Patalar, tujuh neraka dihiasi dengan kepala naga atau kepala ular
yang besar dan sang ular seperti juga sang kura-kura adalah binatang
yang berhubungan dengan Wisnu. Gambaran Wisnu dan Sri berdua sambil
beristirahat di atas ular dunia Cesa adalah suatu gambaran yang sangat
populer bagi orang hindu. Peleburan dari wisnu dan ciwa terlihat dalam
patung ardhanari dalam bentuk separuh pria dan separuh wanita. Wisnu
sebagai ayu mewakili unsur wanita (prakrti, prahdana).
Wisnu
merupakan pelindung dari barat, penguasa atas kemakmuran, kesejahteraan,
kerajaan yang diperintah dengan baik; raja biasanya dipandang sebagai
titisan dari Wisnu di mana Rama dianggap yang ideal popularitas tokoh
rama di Bali adalah imbangan dari pemakaian rama untuk nama raja.
Gabungan sri dengan sadhana sebagai seri-sedana atau rambut-sedana di
Bali merupakan nama patung-patung kecil yang disembah di pura-pura rumah
sebagai patung-patung nenek moyang. Namun Wisnu sebagai dewa chotnis
lebih sering merupakan pelindung dari Utara-Hitam.
Dengan demikian
masih terlihat adanya sisa-sisa pemujaan Wisnu dan Sri dalam agama Bali
yang umum, disamping itu dalam tokoh Sengguhu terdapat sisa Wisnuisme
yang tetap tersendiri. Sengguhu-sengguhu ini merupakan golongan pendeta
yang tersendiri. Mereka bukan Brahmana dan bukan pendeta rakyat biasa
seperti halnya pemangku di pura-pura.
Bali dari sang guru, guru (Yang
Mulia). Berperan pada pesta-pesta pergantian tahun yaitu pada bulan ke-9
(caitra = kasanga). Dirayakan pergantian tahun dengan suatu pesta
sunyi. Pesta ini senantiasa jatuh pada musim semi. Jadi pada atau
kira-kira sekitar bulan maret.
Pada pesta ini diselenggarakan berbagai
upacara yang menunjukkan pemberhentian magis dalam kehidupan
sehari-hari. “suatu saat mengheningkan cipta”. Untuk selanjutnya memulai
kembali kehidupan baru. Orang-orang memadamkan api. Lampu-lampu tidak
masak dan tidak keluar ke jalan dan sebagainya
Kesepian ini (pesta
ini disebut nyepi = merayakan kesepian, diam) didahului oleh suatu
upacara pengorbanan pada simpang empat di tiap desa. Di sini pendeta
yang memegang peranan pokok adalah sengguhu. Dengan berpakaian putih
dia mengucap mantra-mantra dan mempersembahkan korban bagi alam bawah
(banten ring sor). Kalau kita melihat bagaimana dalam pada itu ia
mempergunakan cangkha, sengkala kerang Wisnu dan memaki seekor kura-kura
(kurma) sebagai gantha dengan lonceng-lonceng di bawah. Pada tiap-tiap
pengucapan doa, sengguhu sama seperti pedanda ciwa mengucapkan
mantra-mantra sansekerta dan bukan mantra-mantra rumus-rumus pribumi
kuno atau rumus-rumus Bali. Juga pada pesta besar yaitu pada pesta
pengorbanan laut yang dirayakan tiap tahun sengguhu ini memegang
peranan, disini diucapkan mantra-mantra, antara lain bagi Baruna dan
Bayu dan raja ular Wasuki atau Besuki.
Jadi dapat dilihat bahwa pada
persembahan korban laut, suatu persembahan korban kepada Waruna,
berperan seorang pendeta bercorak Wisnu, jadi suatu pengukuhan lagi dari
pertempuran wisnu dengan dewa laut. Kecuali pada pesta ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar