Salah satu hakekat inti ajaran agama adalah sembahyang.
Menurut kitab Atharwa Weda XI. 1.1, unsur iman atau Sraddha dalam Agama Hindu
meliputi: (1) Satya, (2) Rta, (3) Tapa, (4) Diksa,
(5) Brahma dan (6) Yajna. Dari keenam unsur iman di dalam Agama
Hindu menurut kitab Atharwa Weda itu, dua ajaran terakhir termasuk ajaran
sembahyang (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:12).
Sembahyang terdiri atas dua kata, yaitu: (1) Sembah yang
berarti sujud atau sungkem yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dengan
tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran baik dengan
ucapan kata-kata maupun tanpa ucapan, misalnya hanya sikap pikiran. (2) Hyang
berarti yang dihormati atau dimuliakan sebagai obyek dalam pemujaan, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:13).
Di dalam
bahasa sehari-hari kata sembahyang kadang-kadang disebut “muspa” atau
“mebhakti” atau “maturan”. Disebut “muspa” karena dalam persembahyangan itu
lazim juga dilakukan dengan persembahan kembang (puspa). Disebut “mebhakti”
karena inti dari persembahan itu adalah penyerahan diri setulus hati tanpa
pamrih kepada Hyang Widhi. Demikian pula kata “maturan” yang artinya
mempersembahkan apa saja yang merupakan hasil karya sesuai dengan kemampuan
dengn perasaan yang tulus ikhlas, seperti bunga, buah-buahan, jajanan, minuman
dan lain-lain (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:13). Mangku Linggih,
pemangku di Pura Parahyangan Jagat Kartta Gunung Salak Bogor, menambahkan makna
maturan sebagai wujud syukur atas rejeki yang diberikan Hyang Widhi, sehingga
kita wajib mempersembahkan/menghaturkan pemberian beliau terlebih dahulu.
Setelah sembahyang baru kita “ngelungsur (prasadam)” apa yang telah kita
haturkan, seperti canang, buah-buahan, dan sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar