Ajaran Ketuhanan dalam Weda | ||||||||||
Mantram-mantram Veda
itu adalah nyanyian-nyanyian pujaan yang
ditujukan kepada para dewa. Para dewa dimohon
supaya sudi mendengarkan nyanyian-nyanyian pemujanya yang
pada umumnya mengandung permohonan agar para dewa
menganugrahkan kerahayuan dalam mengayuh hidup di
dunia ini. Nyanyian-nyanyian itu disusun dalam
bahasa Sansekerta, bahasa orang India jaman
dahulu.
Para dewa yang dipuja itu banyak
jumlahnya. Yang sering dipuja antara lain ialah :
Agni (dewa api), Surya (dewa mata- hari), Usas
(dewa fajar), Prthivi (dewa bumi), Dyaus (dewa
langit), Mitra (dewa siang dan langit yang terang
benderang), Varuna (dewa langit yang gelap dan
senja), Maruts (dewa angin ribut) Vayu (dewa angin), Savitr (dewa matahari pagi) dan lain-lainnya lagi.
Dari
nama-namanya itu dewa-dewa itu personifikasi
kekuatan-kekuatan yang tak tampak dibalik kekuatan-kekuatan
alam. Kekuatan-kekuatan alam itu dan apa saja yang ada ini
tunduk pada rta, yaitu tertib alam semesta. Oleh
karena apa yang ada ini berada dalam keserasian
antara yang satu dengan lainnya, maka pengendali
rta itu harus satu saja. Demikianlah Varuna
adalah rtavan, pengendali rta adalah Esa adanya.
| ||||||||||
| ||||||||||
Tuhan yang Esa ini dipuja orang dengan berbagai cara, di berbagai tempat dan dalam berbagai aspek dan perwujudannya. Dewa-dewa itu adalah aspek dari Yang Esa. |
Translate
Minggu, 28 Februari 2016
Ajaran Ketuhanan dalam Weda
Puja untuk Dewi Saraswati
Puja untuk Dewi Saraswati dapat dilakukan pada Kramaning Sembah III dengan kewangen/sekar kangkad, silakan baca comment pertama.
Om Saraswati namostubhyam
Warade kama rupini
Sidhir astu karaksami
Sidhir bhawantu sadham
Om Pranamya sarwa dewanca
Paramãtma nama wanca
Rupa sidhi karoksabet
Saraswati nama myaham
Om padma patram wimalaksmi
Padma kçara nandini
Nityam padma laya dewi
Tubhyam namah Saraswati
Om Brahma putri maha dewi
Brahmanye Brahma nandini
Saraswati sajňna yani
Praya naya Saraswati
Om kawyam wyakaranam tarkham
Weda çastram puranakam
Kalpa sidhini tantrani
Twam prasadat karoksabet
Om sulabha twam swara mantra
Irabheyam phalakam param
Sarwa kleça winaçanam
Santhi twam sanggatot manam
Om atheni rasa hasranam
Sarwa roga winaçanam
Twam mama sarwa sidhyantu
Sarwa karya prasidhyaye
Om Sang Saraswati sweta warna ya namah swaha
Om Bang Saraswati rakta warna ya namah swaha
Om Tang Saraswati pita warna ya namah swaha
Om Ang Saraswati kresna warna ya namah swaha
Om Ing Saraswati wiçwa warna ya namah swaha
Om sukham bhawantu, purnam bhawantu, çryam bhawantu
Om Sidhirastu tat astu astu swaha
Om Saraswati dipata ya namah
Artinya :
Oh Hyang Widhi dalam wujud-Mu sebagai Dewi Saraswati, pujaan kami
Yang berwajah cantik, indah berandeng
Berkuasa mempengaruhi kami
Selalu berkuasa pada serba dunia
Oh Sang Hyang Saraswati, yang dihormati oleh semua dewa dewi
Karena engkau adalah brahman yang dimuliakan
Merupakan wujud yang kuasa
Kami muliakan Engkau dengan gelar Saraswati
Oh Sang Hyang Saraswati, Engkau suci bersih bagai daun bunga teratai
Berambut indah bagai sari bunga teratai
Selalu ada di sekitar padma
Patut dihormati sebagai sumber ilmu pengetahuan
Oh Putri Sang Hyang Brahma, Engkai dewi yang maha agung
Selalu ada bersama Brahma
Diberi gelar Saraswati yang indah
Mengatur semua mahluk
Oh Sang hyang Saraswati, Engkau mengubah segala ilmu tattwa
Weda dan Sastra, Purana-purana, serta ilmu Tantra
Yang menjiwai dan berkuasa sepanjang jaman
Engkaulah penciptanya
Oh Sang Hyang Saraswati, atas anugrahMu semoga doa kami menjadi bertuah,
Mendatangkan segala kebaikan untuk seluruh dunia
Semoga bathin yang cemar dan kotor menjadi musnah
Semoga damai dan bersatu bhatin kami kepadaMu
Oh Sang Hyang Saraswati, berkenan kiranya Engkau menganugrahi perasaan bathin yang indah, semoga yang menimbulkan penyakit menjadi musnah, berkenan kiranya engkau menganugrahi kami serba sejahtera, sehingga tugas karya kami terselesaikan
Oh Sang Hyang Saraswati, demikian puja kami kepadaMu, dalam prabhawaMu sebagai Sang Hyang Sadyajata, Sang Hyang Bhamadewa, Sang Hyang Tat purusha, Sang Hyang Aghora, serta dalam prabhawaMu sebagai Sang Hyang Içyana dengan pancaran warna putih, merah, kuning, hitam, serta serba warna
Oh Hyang Widhi dalam wujud-Mu sebagai Dewi Saraswati, semoga Engkau senantiasa memberikan kekuatan, keselamatan, semoga semuanya tiada halangan. Oh Sang Hyang Saraswati hamba memuja-Mu
*Catatan : Puja dapat dipilih satu sloka atau digabung dari beberapa sloka, kecuali sloka yang terakhir untuk penutup.
Puja untuk Pura Paibon, Pura Kawitan
Puja untuk Pura Paibon, Pura Kawitan dapat dilakukan pada Kramaning Sembah III dengan kewangen/sekar kangkad :
Om Brahmà Wisnu Iswara dewam
Tripurusa suddhàtmakam
Tridewa trimurti lokam
sarwa wighna winasanam
Artinya:
Oh Hyang Widhi, dalam wujud-Mu sebagai Brahma, Wisnu, Iswara, Dewa Tripurusa Maha Suci, Tridewa adalah Trimurti, semogalah hamba terbebas dari segala bencana.
Om Brahmà Wisnu Iswara dewam
Tripurusa suddhàtmakam
Tridewa trimurti lokam
sarwa wighna winasanam
Artinya:
Oh Hyang Widhi, dalam wujud-Mu sebagai Brahma, Wisnu, Iswara, Dewa Tripurusa Maha Suci, Tridewa adalah Trimurti, semogalah hamba terbebas dari segala bencana.
BIJA ATAU WIJA
Mawija atau mabija dilakukan
setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian terakhir
dan suatu upacara
persembahyangan. Wija atau bija adalah biji beras yang dicuci dengan
air bersih atau air cendana.
Kadangkala juga dicampur kunyit (Curcuma Domestica VAL)
sehingga berwarna kuning, maka
disebutlah bija kuning. Bila dapat supaya diusahakan
beras galih yaitu beras
yang utuh, tidak patah (aksata).
Wija atau bija adalah lambang Kumara,
yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada
hakekatnya yang dimaksud dengan
Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam
dalam diri setiap orang. Mawija
mengandung makna menumbuh- kembangkan benih keSiwa-
an itu dalam diri
orang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila
ladangnya bersih dan suci, maka
itu mewija dilakukan setelah mathirta.
Dalam diri manusia terdapat sifat
kedewataan dan sifat keraksasaan yang disebut Daivisampat
dan Asuri-sampat. Menumbuh-
kembangkan benih ke-Siwa-an berarti
menumbuhkembangkan sifat
kedewataan tersebut agar dapat mengatasi sifat keraksasaan.
Kedua sifat itu bersemayam dalam
pikiran dan lubuk hati manusia. Untuk tumbuh dan
berkembangnya sifat kedewataan
atau benih ke-Siwa-an itu dalam pikiran dari hati
manusia maka tempat memuja itu
yang terpenting di dua tempat, yaitu: pada pikiran dari
hati itu sendiri, masing-masing
dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua kening
dan dengan menelannya. Patut pula
diingat bahwa wija di samping sebagai lambang
Kumara, juga sebagai sarana
persembahan.
Agaknya perlu juga dikemukakan di
sini bahwa wija/bija tidak sama dengan bhasma.
Kadangkala antara wija/bija dan
bhasma itu pengertiannya rancu. Wija tersebut dari beras
sedangkan bhasma terbuat dari
serbuk cendana yang sangat halus. Serbuk ini diperoleh
dengan menggosok-gosokkan kayu
cendana yang dibubuhi air di atas sebuah periuk atau
dulang dari tanah liat. Kemudian
hasil gosokan (asaban) itu diendapkan. Inilah bahan
bhasma. Kata bhasma
sendiri secara harfiah berarti abu atau serbuk. Kata "bhas"
dalam
kata bhasma tidak sama
dengan kata baas dalam bahasa Bali yang berarti beras. Karena
kata Bhasma adalah kata
dalam bahasa Sansekerta. Pemakaiannyapun berbeda. Kalau
wija umumnya dipakai
oleh orang yang masih berstatus walaka, sedangkan bhasma
hanya dipakai oleh Sulinggih yang
berstatus sebagai anak lingsir. Kata wija berdekatan
artinya dengan kata Walaka dan
Kumara yang berarti biji benih atau putera.
Bhasma dalam hal ini adalah
lambang Sunya atau Siwa. Dengan pemakaian bhasma itu
Sulinggih bersangkutan menjadikan
dirinya Siwa (Siwa Bhasma), disamping sebagai
sarana untuk menyucikan dirinya (Bhasma sesa).
TIRTA
Tirtha adalah air suci,
yaitu air yang telah disucikan dengan suatu cara tertentu. Pada
umumnya tirtha itu diperoleh
melalui dua cara, yaitu:
1. Dengan cara memohon di hadapan
palinggih Ida Bhatara melalui upacara tertentu.
Tirtha yang diperoleh dengan cara
ini pada umumnya disebut orang tirtha wangsuh
pada atau banyun
cokor
2. Dengan cara membuat (ngareka)
yang dilakukan dengan mengucapkan puja-mantra
tertentu, oleh beliau yang
memiliki wewenang untuk itu. Tirtha yang diperoleh
dengan cara ini antara lain adalah:
tirtha panglukatan, tirtha prayascita, tirtha
durmanggala dan sebagainya,
dan juga tirtha-tirtha untuk pamuput upacara yadnya,
seperti tirtha pangentas,
tirtha panembak dan sebagainya.
Adapun tirtha yang digunakan
setelah selesai sembahyang adalah tirtha wangsuh pada
Ida Bhatara. Tirtha ini
dipercikan di kepala, diminum dan dipakai mencuci muka. Hal ini
dimaksudkan agar pikiran dan hati
orang menjadi bersih dan suci, yaitu bebas dari segala
kekotoran, noda dan dosa,
kecemaran dan sejenisnya. Kebersihan dan kesucian hati
adalah pangkal ketenangan,
kedamaian dan kebahagiaan lahir bathin.
PERSIAPAN SEMBAHYANG
Persiapan sembahyang meliputi persiapan lahir dan persiapan
batin. Persiapan lahir seperti pakaian, bunga, dupa, sikap duduk, pengaturan
nafas dan sikap tangan. Sedangkan persiapan bathin adalah ketenangan dan
kesucian pikiran. Langkah-langkah persiapan dan sarana-sarana sembahyang
(Sujana & Susila, 2002:27-28) adalah sebagai berikut:
1. Asuci laksana, yaitu membersihkan badan dengan
mandi.
2. Pakaian, hendaknya memakai pakaian sembahyang yang bersih
serta tidak mengganggu ketenangan pikiran dan sesuai dengan Desa Kala Patra
(waktu, tempat dan keadaan).
3. Bunga dan Kawangen, yaitu lambang kesucian sehingga
diusahakan memakai bungan yang segar, bersih dan harum. Jika dalam
persembahyangan tidak ada kawangen, maka dapat diganti dengan bunga. Menurut
Mangku Gede Darsa, pemangku Pura Parahyangan Jagat Kartta Gunung Salak Bogor,
kawangen berasal dari kata kewangi (keharuman) yang menunjukkan cinta harum
kita kepada Hyang Widhi. Beliau juga menambahkan bahwa kawangen juga
menyimbolkan alam bhuana agung, seperti bulan, matahari dan bintang. Bentuknya
yang segitiga menunjukkan apa yang kita mohon menuju pada diri kita.
4. Dupa, yaitu simbol Hyang Agni, saksi dan pengantar sembah
kita kepada Hyang Widhi.
5. Tempat duduk hendaknya tidak menggangu ketenangan untuk
sembahyang dan diusahakan beralaskan tikar dan sebagainya. Arah duduk adalah
menghadap pelinggih.
6. Sikap duduk dapat dipilih sesuai Desa Kala Patra dan
tidak mengganggu ketenangan hati. Ada empat yaitu padmasana, siddhasana,
sukhasana, dan bajrasana.
7. Sikap tangan yang baik pada waktu sembahyang adalah
“cakupang kara kalih”, yaitu kedua telapak tangan dikatupkan diletakkan di
depan ubun-ubun. Bunga atau kawangen dijepit pada ujung jari.
MANFAAT BERSEMBAHYANG
Menurut Ketut Wiana (2005:49) salah satu manfaat sembahyang
adalah untuk memelihara kesehatan. Selain pikiran menjadi jernih, sikap-sikap
sembahyang seperti asana (padmasana, siddhasana, sukhasana, dan
bajrasana) membuat otot dan pernafasan menjadi bagus.
Selain untuk kesehatan, bersembahyang dan berdoa juga
mendidik kita untuk memiliki sifat ikhlas karena apa yang ada di dalam diri dan
di luar diri kita tidak ada yang kekal, cepat lambat akan kita tinggalkan atau
berpisah dengan diri kita. Keikhlasan inilah yang dapat meringankan rasa
penderitaan yang kita alami karena kita telah paham benar akan kehendak Hyang
Widhi. Bersembahyang juga dapat menentramkan jiwa karena adanya keyakinan bahwa
Tuhan selalu akan melindungi umatNya.
Perbudakan materi juga dapat diatasi dengan bersembahyang
karena orang akan dapat melihat dengan terang bahwa harta benda harus dicari
dengan Dharma untuk melaksanakan Dharma. Sembahyang dengan tekun akan dapat
menghilangkan rasa benci, marah, dendam, iri hati dan mementingkan diri
sendiri, sehingga meningkatkan cinta kasih kepada sesama. Membenci orang lain
sama saja dengan membenci diri sendiri karena Jiwatman yang ada pada
semua makhluk adalah satu, bersumber dari Tuhan, seperti yang diajarkan dalam
ajaran Tat Twam Asi. Kemudian dengan sembahyang kita dimotivasi untuk
melestarikan alam karena bersembahyang membutuhkan sarana yang berasal dari
alam, seperti bunga, daun, buah, sumber mata air, dan sebagainya.
DEFINISI SEMBAHYANG
Salah satu hakekat inti ajaran agama adalah sembahyang.
Menurut kitab Atharwa Weda XI. 1.1, unsur iman atau Sraddha dalam Agama Hindu
meliputi: (1) Satya, (2) Rta, (3) Tapa, (4) Diksa,
(5) Brahma dan (6) Yajna. Dari keenam unsur iman di dalam Agama
Hindu menurut kitab Atharwa Weda itu, dua ajaran terakhir termasuk ajaran
sembahyang (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:12).
Sembahyang terdiri atas dua kata, yaitu: (1) Sembah yang
berarti sujud atau sungkem yang dilakukan dengan cara-cara tertentu dengan
tujuan untuk menyampaikan penghormatan, perasaan hati atau pikiran baik dengan
ucapan kata-kata maupun tanpa ucapan, misalnya hanya sikap pikiran. (2) Hyang
berarti yang dihormati atau dimuliakan sebagai obyek dalam pemujaan, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:13).
Di dalam
bahasa sehari-hari kata sembahyang kadang-kadang disebut “muspa” atau
“mebhakti” atau “maturan”. Disebut “muspa” karena dalam persembahyangan itu
lazim juga dilakukan dengan persembahan kembang (puspa). Disebut “mebhakti”
karena inti dari persembahan itu adalah penyerahan diri setulus hati tanpa
pamrih kepada Hyang Widhi. Demikian pula kata “maturan” yang artinya
mempersembahkan apa saja yang merupakan hasil karya sesuai dengan kemampuan
dengn perasaan yang tulus ikhlas, seperti bunga, buah-buahan, jajanan, minuman
dan lain-lain (Bajrayasa, Arisufhana & Goda 1981:13). Mangku Linggih,
pemangku di Pura Parahyangan Jagat Kartta Gunung Salak Bogor, menambahkan makna
maturan sebagai wujud syukur atas rejeki yang diberikan Hyang Widhi, sehingga
kita wajib mempersembahkan/menghaturkan pemberian beliau terlebih dahulu.
Setelah sembahyang baru kita “ngelungsur (prasadam)” apa yang telah kita
haturkan, seperti canang, buah-buahan, dan sebagainya.
PANCA SEMBAH
Ambil Bunga
OM PUSPA DANTÀ YA NAMAH SWÀHA
1. Tangan Kosong (Sembah Puyung).
OM ÀTMÀ TATTWÀTMÀ SÙDDHA MÀM SWÀHA
2. Bunga Putih
OM ADITYASYÀ PARAM JYOTI RAKTA TEJO NAMO’STUTE SWETA PANKAJA MADHYASTHA BHÀSKARÀYA NAMO’STUTE
3. Bunga Merah
OM NAMA DEWA ADHISTHANÀYA SARWA WYAPI WAI SIWÀYA PADMÀSANA EKA PRATISTHÀYA ARDHANARESWARYAI NAMO NAMAH
4. Kwangen
OM ANUGRAHA MANOHARAM DEWA DATTÀ NUGRAHAKA ARCANAM SARWÀ PÙJANAM NAMAH SARWÀ NUGRAHAKA DEWA-DEWI MAHÀSIDDHI YAJÑANYA NIRMALÀTMAKA LAKSMI SIDDHISÇA DIRGHÀYUH NIRWIGHNA SUKHA WRDDISCA
5. Tangan Kosong
OM DEWA SUKSMA PARAMÀ CINTYÀYA NAMA SWÀHA. OM SÀNTIH, SÀNTIH, SÀNTIH, OM
OM PUSPA DANTÀ YA NAMAH SWÀHA
1. Tangan Kosong (Sembah Puyung).
OM ÀTMÀ TATTWÀTMÀ SÙDDHA MÀM SWÀHA
2. Bunga Putih
OM ADITYASYÀ PARAM JYOTI RAKTA TEJO NAMO’STUTE SWETA PANKAJA MADHYASTHA BHÀSKARÀYA NAMO’STUTE
3. Bunga Merah
OM NAMA DEWA ADHISTHANÀYA SARWA WYAPI WAI SIWÀYA PADMÀSANA EKA PRATISTHÀYA ARDHANARESWARYAI NAMO NAMAH
4. Kwangen
OM ANUGRAHA MANOHARAM DEWA DATTÀ NUGRAHAKA ARCANAM SARWÀ PÙJANAM NAMAH SARWÀ NUGRAHAKA DEWA-DEWI MAHÀSIDDHI YAJÑANYA NIRMALÀTMAKA LAKSMI SIDDHISÇA DIRGHÀYUH NIRWIGHNA SUKHA WRDDISCA
5. Tangan Kosong
OM DEWA SUKSMA PARAMÀ CINTYÀYA NAMA SWÀHA. OM SÀNTIH, SÀNTIH, SÀNTIH, OM
PUJA TRISANDHYA
Asana
OM PRASADA STHITI SARIRA SIWA SUCI NIRMALÀYA NAMAH SWÀHA
Pranayama
OM ANG NAMAH
OM UNG NAMA
OM MANG NAMAH
Karasodhana
OM SUDDHA MÀM SWÀHA
OM ATI SUDDHA MÀM SWÀHA
Puja Trisandhya :
OM BHÙR BHVAH SVAH
TAT SAVITUR VARENYAM
BHARGO DEVASYA DHIMAHI
DHIYO YO NAH PRACODAYÀT
OM NÀRÀYANA EVEDAM SARVAM
YAD BHÙTAM YAC CA BHAVYAM
NISKALANKO NIRAÑJANO NIRVIKALPO
NIRÀKHYÀTAH SUDDO DEVA EKO
NÀRÀYANO NA DVITÌYO’STI KASCIT
OM TVAM SIVAH TVAM MAHÀDEVAH
ÌSVARAH PARAMESVARAH
BRAHMÀ VISNUSCA RUDRASCA
PURUSAH PARIKÌRTITAH
OM PÀPO’HAM PÀPAKARMÀHAM
PÀPÀTMÀ PÀPASAMBHAVAH
TRÀHI MÀM PUNDARIKÀKSA
SABÀHYÀBHYÀNTARAH SUCIH
OM KSAMASVA MÀM MAHÀDEVA
SARVAPRÀNI HITANKARA
MÀM MOCA SARVA PÀPEBYAH
PÀLAYASVA SADÀ SIVA
OM KSÀNTAVYAH KÀYIKO DOSAH
KSÀNTAVYO VÀCIKO MAMA
KSÀNTAVYO MÀNASO DOSAH
TAT PRAMÀDÀT KSAMASVA MÀM
OM SÀNTIH, SÀNTIH, SÀNTIH, OM
Pranayama
OM ANG NAMAH
OM UNG NAMA
OM MANG NAMAH
Karasodhana
OM SUDDHA MÀM SWÀHA
OM ATI SUDDHA MÀM SWÀHA
Puja Trisandhya :
OM BHÙR BHVAH SVAH
TAT SAVITUR VARENYAM
BHARGO DEVASYA DHIMAHI
DHIYO YO NAH PRACODAYÀT
OM NÀRÀYANA EVEDAM SARVAM
YAD BHÙTAM YAC CA BHAVYAM
NISKALANKO NIRAÑJANO NIRVIKALPO
NIRÀKHYÀTAH SUDDO DEVA EKO
NÀRÀYANO NA DVITÌYO’STI KASCIT
OM TVAM SIVAH TVAM MAHÀDEVAH
ÌSVARAH PARAMESVARAH
BRAHMÀ VISNUSCA RUDRASCA
PURUSAH PARIKÌRTITAH
OM PÀPO’HAM PÀPAKARMÀHAM
PÀPÀTMÀ PÀPASAMBHAVAH
TRÀHI MÀM PUNDARIKÀKSA
SABÀHYÀBHYÀNTARAH SUCIH
OM KSAMASVA MÀM MAHÀDEVA
SARVAPRÀNI HITANKARA
MÀM MOCA SARVA PÀPEBYAH
PÀLAYASVA SADÀ SIVA
OM KSÀNTAVYAH KÀYIKO DOSAH
KSÀNTAVYO VÀCIKO MAMA
KSÀNTAVYO MÀNASO DOSAH
TAT PRAMÀDÀT KSAMASVA MÀM
OM SÀNTIH, SÀNTIH, SÀNTIH, OM
Ajaran Paham Waisnawa dalam Siwa Sidhanta
Siwa Sidhanta yang berkembang di Bali saat ini merupakan hasil sejarah pra hindu, Hindu dan post Hindu di daerah Bali sendiri. Walaupun Siwa sidhanta lebih mengutamakan pemujaan terhadap Siwa, juga merangkul lokal jenius kebudayaan Bali dan sekte-sekte yang pernah berkembang di Bali, dimana salah satu sekte tersebut adalah waisnawa. Dalam penerapan ajaran agama Hindu di Indonesia khususnya di Bali sekarang ada banyak hal yang mencirikan ajaran waisnawa. Adapun ajaran waisnawa yang masih bisa dilihat dalam Siwa sidhanta saat ini seperti : tempat suci, orang suci, hari suci, dan upacara.
Sebagaimana diketahui, di masa silam di Bali terdapat banyak sekte: Saiwa, Ganapatya, Sora (Surya), Brahmana, Sakta, Pasupata, Waisnawa, dan lainnya. Kemudian setelah kedatangan Mpu Kuturan, semua sekte di Bali dilebur menjadi sistem pemujaan Tri Murti dengan ciri khas Kahyangan Tiga: Pura Puseh sebagai tempat pemujaan Dewa Wisnu, Pura Desa sebagai tempat memuja Dewa Brahma dan Pura Dalem sebagai tempat memuja Dewa Siwa.
Kahyangan Tiga ini ada di setiap Desa Pakraman, baik dalam bentuk pura atau tempat suci, tiga dewa utama itu yang disembah sebagai manifestasi Tuhan dalam fungsi sebagai pencipta, pemelihara dan perehabilitasi, namun dalam praktik ritual dan pemujaan berbagai figur ista dewata (dewa yang dimuliakan) masing-masing sekte semuanya dipuja. Sebutlah menyembah Dewa Surya dalam acara kramaning sembah atau Nyurya Sewana para sulinggih setiap pagi. Demikian juga Ganesha dipuja dalam upacara pecaruan sebagai dewa penghancur semua halangan. Tapi dalam ritual yang berwarna praktik tantrik rupanya yang dominan adalah pengaruh faham Sakti, utamanya Bhima Bhairawa.
Kedudukan Wisnuisme dalam Sekte Waisnawa
Kedudukan Wisnuisme dalam Sekte Waisnawa
Mengenai wisnuisme di jawa-kuna ternyata pada kita juga tidak ada perbedaan (diferensiasi) tertentu antara dua kelompok yang utama ialah; bhagawata dan pancaratra. Wisnuisme tetap dalam keadaan sama seperti di zaman epik atau beberapa waktu setelah zaman itu (purana-purana yang lebih tua). Unsur-unsur tantris jelas dapat dipersaksikan. Awatara-awatara (tulis-tulisan) belum sampai jumlah sepuluh seperti kemudian hanya enam sebagaimana pada zaman epik diketahui; celeng (waraha), si laki-singa (narasingha), si cebol (wamana), selanjutnya Rama dan Krsna
Di Bali sekarang tidak terdapat lagi wisnuisme yang diakui secara resmi, akan tetapi dapat ditemukan bekas-bekas dalam dua aliran (sepeti pada pasupata) yaitu disini lagi unsur-unsur yang diambil alih ke dalam agama umum dan disamping itu tokoh sengguhi
Unsur-unsur yang dimaksudkan ke dalam agama umum adalah; popularitas besar yang diperoleh Sri (sakti Wisnu). Dari dewi rejeki dan dewi kebahagiaan. Ia menjadi Dewi-Padi, Dewi dari makanan utama orang-orang Jawa dan Bali, dalam seluruh kekayaan dongeng-dongeng tentang Dewi Sri terdapat campuran dari unsur-unsur pribumi kuno dengan Hindu. Akan tetapi masih ada suatu unsur lagi yang dimasukkan di sini, yaitu wisnu menjadi dewa dari perairan di alam bawah. Jadi dengan demikian mempunyai sifat sebagai demonis-chotnis) termasuk benar-benar makhluk alam bawah dan chthonis.
Menganggap hal ini sebagi sisa-sisa dari agama Asia-purba umum yang mempunyai cabang-cabang baik ke Babylon maupun ke Cina. Namun sementara ini masih kekurangan keterangan untuk mengangkat pendapat yang kini di anut oleh beberapa sarjana ini menjadi suatu teori yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Ada suatu corak alam bawah yang lain dalam hakekat Wisnu yang sampai kini masih terdapat di Bali. Karena dalam berbagai pura terutama di kerajaan inti Gel-gel jadi wilayah sekeliling Klungkung sekarang suatu tempat pemujaan yang dipersembahkan kepada sang Sapta Patalar, tujuh neraka dihiasi dengan kepala naga atau kepala ular yang besar dan sang ular seperti juga sang kura-kura adalah binatang yang berhubungan dengan Wisnu. Gambaran Wisnu dan Sri berdua sambil beristirahat di atas ular dunia Cesa adalah suatu gambaran yang sangat populer bagi orang hindu. Peleburan dari wisnu dan ciwa terlihat dalam patung ardhanari dalam bentuk separuh pria dan separuh wanita. Wisnu sebagai ayu mewakili unsur wanita (prakrti, prahdana).
Wisnu merupakan pelindung dari barat, penguasa atas kemakmuran, kesejahteraan, kerajaan yang diperintah dengan baik; raja biasanya dipandang sebagai titisan dari Wisnu di mana Rama dianggap yang ideal popularitas tokoh rama di Bali adalah imbangan dari pemakaian rama untuk nama raja. Gabungan sri dengan sadhana sebagai seri-sedana atau rambut-sedana di Bali merupakan nama patung-patung kecil yang disembah di pura-pura rumah sebagai patung-patung nenek moyang. Namun Wisnu sebagai dewa chotnis lebih sering merupakan pelindung dari Utara-Hitam.
Dengan demikian masih terlihat adanya sisa-sisa pemujaan Wisnu dan Sri dalam agama Bali yang umum, disamping itu dalam tokoh Sengguhu terdapat sisa Wisnuisme yang tetap tersendiri. Sengguhu-sengguhu ini merupakan golongan pendeta yang tersendiri. Mereka bukan Brahmana dan bukan pendeta rakyat biasa seperti halnya pemangku di pura-pura.
Bali dari sang guru, guru (Yang Mulia). Berperan pada pesta-pesta pergantian tahun yaitu pada bulan ke-9 (caitra = kasanga). Dirayakan pergantian tahun dengan suatu pesta sunyi. Pesta ini senantiasa jatuh pada musim semi. Jadi pada atau kira-kira sekitar bulan maret.
Pada pesta ini diselenggarakan berbagai upacara yang menunjukkan pemberhentian magis dalam kehidupan sehari-hari. “suatu saat mengheningkan cipta”. Untuk selanjutnya memulai kembali kehidupan baru. Orang-orang memadamkan api. Lampu-lampu tidak masak dan tidak keluar ke jalan dan sebagainya
Kesepian ini (pesta ini disebut nyepi = merayakan kesepian, diam) didahului oleh suatu upacara pengorbanan pada simpang empat di tiap desa. Di sini pendeta yang memegang peranan pokok adalah sengguhu. Dengan berpakaian putih dia mengucap mantra-mantra dan mempersembahkan korban bagi alam bawah (banten ring sor). Kalau kita melihat bagaimana dalam pada itu ia mempergunakan cangkha, sengkala kerang Wisnu dan memaki seekor kura-kura (kurma) sebagai gantha dengan lonceng-lonceng di bawah. Pada tiap-tiap pengucapan doa, sengguhu sama seperti pedanda ciwa mengucapkan mantra-mantra sansekerta dan bukan mantra-mantra rumus-rumus pribumi kuno atau rumus-rumus Bali. Juga pada pesta besar yaitu pada pesta pengorbanan laut yang dirayakan tiap tahun sengguhu ini memegang peranan, disini diucapkan mantra-mantra, antara lain bagi Baruna dan Bayu dan raja ular Wasuki atau Besuki.
Jadi dapat dilihat bahwa pada persembahan korban laut, suatu persembahan korban kepada Waruna, berperan seorang pendeta bercorak Wisnu, jadi suatu pengukuhan lagi dari pertempuran wisnu dengan dewa laut. Kecuali pada pesta ini.
Mengenai wisnuisme di jawa-kuna ternyata pada kita juga tidak ada perbedaan (diferensiasi) tertentu antara dua kelompok yang utama ialah; bhagawata dan pancaratra. Wisnuisme tetap dalam keadaan sama seperti di zaman epik atau beberapa waktu setelah zaman itu (purana-purana yang lebih tua). Unsur-unsur tantris jelas dapat dipersaksikan. Awatara-awatara (tulis-tulisan) belum sampai jumlah sepuluh seperti kemudian hanya enam sebagaimana pada zaman epik diketahui; celeng (waraha), si laki-singa (narasingha), si cebol (wamana), selanjutnya Rama dan Krsna
Di Bali sekarang tidak terdapat lagi wisnuisme yang diakui secara resmi, akan tetapi dapat ditemukan bekas-bekas dalam dua aliran (sepeti pada pasupata) yaitu disini lagi unsur-unsur yang diambil alih ke dalam agama umum dan disamping itu tokoh sengguhi
Unsur-unsur yang dimaksudkan ke dalam agama umum adalah; popularitas besar yang diperoleh Sri (sakti Wisnu). Dari dewi rejeki dan dewi kebahagiaan. Ia menjadi Dewi-Padi, Dewi dari makanan utama orang-orang Jawa dan Bali, dalam seluruh kekayaan dongeng-dongeng tentang Dewi Sri terdapat campuran dari unsur-unsur pribumi kuno dengan Hindu. Akan tetapi masih ada suatu unsur lagi yang dimasukkan di sini, yaitu wisnu menjadi dewa dari perairan di alam bawah. Jadi dengan demikian mempunyai sifat sebagai demonis-chotnis) termasuk benar-benar makhluk alam bawah dan chthonis.
Menganggap hal ini sebagi sisa-sisa dari agama Asia-purba umum yang mempunyai cabang-cabang baik ke Babylon maupun ke Cina. Namun sementara ini masih kekurangan keterangan untuk mengangkat pendapat yang kini di anut oleh beberapa sarjana ini menjadi suatu teori yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Ada suatu corak alam bawah yang lain dalam hakekat Wisnu yang sampai kini masih terdapat di Bali. Karena dalam berbagai pura terutama di kerajaan inti Gel-gel jadi wilayah sekeliling Klungkung sekarang suatu tempat pemujaan yang dipersembahkan kepada sang Sapta Patalar, tujuh neraka dihiasi dengan kepala naga atau kepala ular yang besar dan sang ular seperti juga sang kura-kura adalah binatang yang berhubungan dengan Wisnu. Gambaran Wisnu dan Sri berdua sambil beristirahat di atas ular dunia Cesa adalah suatu gambaran yang sangat populer bagi orang hindu. Peleburan dari wisnu dan ciwa terlihat dalam patung ardhanari dalam bentuk separuh pria dan separuh wanita. Wisnu sebagai ayu mewakili unsur wanita (prakrti, prahdana).
Wisnu merupakan pelindung dari barat, penguasa atas kemakmuran, kesejahteraan, kerajaan yang diperintah dengan baik; raja biasanya dipandang sebagai titisan dari Wisnu di mana Rama dianggap yang ideal popularitas tokoh rama di Bali adalah imbangan dari pemakaian rama untuk nama raja. Gabungan sri dengan sadhana sebagai seri-sedana atau rambut-sedana di Bali merupakan nama patung-patung kecil yang disembah di pura-pura rumah sebagai patung-patung nenek moyang. Namun Wisnu sebagai dewa chotnis lebih sering merupakan pelindung dari Utara-Hitam.
Dengan demikian masih terlihat adanya sisa-sisa pemujaan Wisnu dan Sri dalam agama Bali yang umum, disamping itu dalam tokoh Sengguhu terdapat sisa Wisnuisme yang tetap tersendiri. Sengguhu-sengguhu ini merupakan golongan pendeta yang tersendiri. Mereka bukan Brahmana dan bukan pendeta rakyat biasa seperti halnya pemangku di pura-pura.
Bali dari sang guru, guru (Yang Mulia). Berperan pada pesta-pesta pergantian tahun yaitu pada bulan ke-9 (caitra = kasanga). Dirayakan pergantian tahun dengan suatu pesta sunyi. Pesta ini senantiasa jatuh pada musim semi. Jadi pada atau kira-kira sekitar bulan maret.
Pada pesta ini diselenggarakan berbagai upacara yang menunjukkan pemberhentian magis dalam kehidupan sehari-hari. “suatu saat mengheningkan cipta”. Untuk selanjutnya memulai kembali kehidupan baru. Orang-orang memadamkan api. Lampu-lampu tidak masak dan tidak keluar ke jalan dan sebagainya
Kesepian ini (pesta ini disebut nyepi = merayakan kesepian, diam) didahului oleh suatu upacara pengorbanan pada simpang empat di tiap desa. Di sini pendeta yang memegang peranan pokok adalah sengguhu. Dengan berpakaian putih dia mengucap mantra-mantra dan mempersembahkan korban bagi alam bawah (banten ring sor). Kalau kita melihat bagaimana dalam pada itu ia mempergunakan cangkha, sengkala kerang Wisnu dan memaki seekor kura-kura (kurma) sebagai gantha dengan lonceng-lonceng di bawah. Pada tiap-tiap pengucapan doa, sengguhu sama seperti pedanda ciwa mengucapkan mantra-mantra sansekerta dan bukan mantra-mantra rumus-rumus pribumi kuno atau rumus-rumus Bali. Juga pada pesta besar yaitu pada pesta pengorbanan laut yang dirayakan tiap tahun sengguhu ini memegang peranan, disini diucapkan mantra-mantra, antara lain bagi Baruna dan Bayu dan raja ular Wasuki atau Besuki.
Jadi dapat dilihat bahwa pada persembahan korban laut, suatu persembahan korban kepada Waruna, berperan seorang pendeta bercorak Wisnu, jadi suatu pengukuhan lagi dari pertempuran wisnu dengan dewa laut. Kecuali pada pesta ini.
Perjalanan Śiva Siddhānta di Bali.
Sumber Ajarannya :
Sebagian sumber ajaran dari pada Śiva
Siddhānta di Bali adalah bersumber pada ajaran Weda dan sumber suci dalam naskah tradisional. Sebagaimana
dijelaskan dalam buku Siwa Sasana ada dikelompokkan beberapa naskah tradisional
Bali. Kelompok yang dimaksud ada empat, yaitu :
1.
Kelompok weda, misalnya: weda
parikrama, weda sanggraha, surya sevana, siva pakarana.
2. Kelompok tattwa, meliputi: bhuana
kosa, bhuana sang ksepa, wrhaspati tattwa, siva gama, sivatattwapurana, gong
besi, purwa bumi kamulan, tantu panggelaran, usaha dewa, ganapati tattwa,
tattwa jnana, dan jnana sidhanta.
3. Kelompok ethica, adalah siva sasana, rsi sasana, wrti sesana, putra sesana dan
slokantara.
4. Kategori upakara agama, meliputi:
1) Upakara
Dewa Yadnya, antara lain: caturwedhya,
wrhaspattikalpa, dewatattwa, sundari gama.
2) Upakara
Pitra Yadnya, meliputi: yamatattwa,
empu lutuk aben, kramaning atiwatiwa, indik maligya, dan puteru pasaji.
3) Upacara Rsi Yadnya, antara lain: kramaning madiksa, yadnya samkara.
4) Upacara
Manusa Yadnya, meliputi: dharma
kahuripan, eka ratama, janmaprawerti, puja kala pati, puja kalib.
5) Upacara
Butha Yadnya, meliputi: eka dasa
rudra, panca wali krama, indik caru, puja pali-pali.
Ajarannya :
Tattwan
dan filsafat memiliki kesamaan makna, yakni sama-sama menekankan pada hakikat
dan kebenaran. Juga sama-sama mengkaji hal atau objek yang kongkrit serta
segala hakikat yang ada. Terkait dengan materi tattwam, bahwa ada beberapa sumber yang dijadikan dasar acuan
materinya.
Beberapa sumber lontar, seperti : Bhuwanan Kosa, Tattwa Jnana, Mahajnana,
Ganapatitattwa, Wrhaspatitattwa, Jnansiddhanta, dan beberapa puja bercorak
monism (Tim Penyusun , 1999 :1). Semua lontar diatas, adalah berisikan tentang
ajaran mengenai paham Siwaistis.
Bhuwana
Kosa terdiri atas beberapa bab dan empat ratus delapan puluh tujuh sloka.
Sumber teksnya bebrahasa Sangsekerta dalam bentuk sloka. Tahap penciptaan (utpeti)
oleh Bhatara Siwa, seperti : Bhatara Siwa, Purusa, Awyakta, Budhi,
Ahangkara, Pancatanmatra, Manah, Akasa, Bayu,Agni, Apah, dan Prthiwi. Sebaliknya proses peleburan (pralina) oleh Bhatara Siwa, meliputi : prthiwi,
apah, agni, bayu, akasa, pancatanmatra, ahangkara, budhi, awyakta, purusa,
dan kembali kehadapan Bhatara Siwa.
Sedangkan Wrhaspatitattwa terdiri atas tujuh puluh sloka yang berbahasa Sansekerta.
Dengan terjemahannya berbahasa kawi.
Isi utama dalam naskah ini adalah dialog antara Bhatara Siwa dengan Bhagawan
Wrhaspati mengenai cetana sebagai
unsur kesadaran dan acetana sebagai
unsur ketidaksadaran. Wrhaspati Tattwa
mengajarkan tentang Yoga, cetana telu
(Paramasiwa atau Nirguna Brahman, Sadasiwa, Siwatma Tattwa, maya, sakti, guna, swabhawa, aksara OM atau AUM, Saguna Brahman, atma,
catur iswarya, panca yama brata, panca niyama brata, dan astasiddhi.
Selanjutnya tentang Ganapati Tattwa berisikan ajaran agama
Hindu secara dialog dengan Dewa Siwa
dengan Sang Hyang Ganapati. Isi
naskah berbahasa Sangsekerta dan Jawa Kuna. Dalam pemujaan kepada Hyang Siwa digunakan empat aksara suci (caturdasaaksara), yakni : sang, bang, tang, ang, ing, nang, mang,
sing, wang, yang, ang, ung, mang, ong. Bagaimana proses penciptaan ini
menurut Ganapati Tattwa, yaitu : “
tentang hakikat alam semesta, dimana diciptakan oleh Panca Dewata dari unsur yang paling halus sampai dengan tingkatan
yang mempunyai wujud nyata” (Tim Penyusun, 1999:11). Setelah panca dewata ( Brahma, Wisnu, Rudra, Iswara, Sadasiwa) menciptakan pancatanmatra (gandha, rasa, rupa, sparsa, sabda tanmatra), kemudian tercipta panca maha butha (akasa=unsur suara, bayu=unsur
angin, teja= unsur matahari, bintang,
bulan, apah = unsur air, pertiwi=unsur bumi dan tanah). Demikian
sekilas isi Wrahaspatitattwa.
Adapun isi Sang Hyang Mahajnana adalah mengenai ajaran kelepasan yang bersifat
Siwaistis yakni memuliakan Hyang Siwa. Naskah ini terdiri atas
delapan puluh tujuh sloka dalam bahasa Sangsekerta yang terjemahannya dalam
bahasa Kawi. Inti dari ajaran Sang Hyang Mahajnana yaitu bagaimana mencapai
kelepasan dan bisa menyatu dengan Hyang Siwa. Ada tiga komponen utama yang
dibicarakan yakni purusa (unsur
kesadaran), pradhana (unsur
ketidaksadaran), dan atma (unsur
kebijaksanaan).
Jadi tujuan utama berbakti kepada Hyang Siwa adalah untuk dapat menyatu
dan mencapai tujuan hidup yang tertinggi yaitu moksa. Selanjutnya dalam Tattwajnana
mengandung ajaran ketuhanan hindu terutama memuliakan Hyang Siwa. Ajaran
Tattwajnana menguraikan dua unsur universal yakni cetana dan acetana. Unsur
cetana merupakan komponen kesadaran
yang disebut Siwatattwa dan unsur acetana merupakan unsur ketidaksadaran
yang dinamai Mayatattwa. Unsur cetana bersifat tutur (sadar) dan acetana bersifat tan patutur (lupa).
Unsur cetana atau Siwatattwa meliputi tiga komponen yakni Paramasiwatattwa (Bhatara
Siwameraga Niskala). Sadasiwatattwa
( Bhatara Siwa sudah tersentuh sarvajna, sarvakaryakarta, cadusakti, dan
jnanasakti) sehingga beliau disebut Bhatara
Jagatnhata, Bhatara Guru, dan sebutan yang lainnya, dan atmikatattwa (Bhatara Siwa, dalam keadaan
gaib atau utaprota, seperti api ada dalam kayu, atau sebagai Bhatara Dharma yang tanpa pilih kasih
bagai sinar matahari.
Pertemuan sadar dan tak sadar dinamai Purusapradhana, yang melahirkan citta dan guna (sattwa, rajas, tamas). Dari triguna dan citta lahir
buddhi, kemudian lahir ahangkara (ahangkara
waikerta, taijasa, dan bhutadi). Ahangkara
waikerta melahirkan manah dan dasendriya, taijasa melahirkan pancatanmatra serta pancamahabutha, dan bhutadi
saling membantu dalam proses pencintaan untuk mempertemukan pancamahabhuta sehingga melahirkan andhabhuwana, misalnya sapta loka atau alam atas dan sdapta patala atau alam bawah, sehingga Bhatara Siwa menyusup di alam ini maka
lahirlah ciptaan manusia. Untuk penyatuan atma dengan Bhatara Siwa maka ada jalan dinamai Prayogasandhi ( asana,
pranayama, pratyahara, dharana, dyana, tarka, dan samadhi). Kemudian Jnanasiddhanta merupakan naskah yang
berbahasa Sangsekerta dan Jawa Kuna yang terdiri atas dua puluh tujuh bab yang
inti ajarannya tentang kelepasan (moksa)
untuk menyatunya atma dengan pencipta (Hyang
Siwa). Manusia diciptakan oleh hyang siwa yang digambarkan seperti Omkara atau Pranava, yakni dada, lengan, kepala, dan rambut (ongkara, ardhacandra, vindu, nada),
sedang tubuh bagian dalam yakni paru-paru, limpah, jantung, empedu, ati (ongkara, ardhacandra, vindu, nada, matra).
Untuk mencapai kelepasan dapat ditempuh dengan enam jalan yoga yakni pratyahara, dhyana, pranayama, dharana,
taka, dan semadhi.
Dalam melaksanakan yoga, maka ia harus
mewujudkan atmalingga dalam dirinya. Atmalingga adalah mewujudkan Sang Hyang Ongkara dan Tri Aksara dalam diri berstana dalam
batin. Dalam meditasi ada tujuh yang harus diperhatikan yaitu :
1. Semua tingkah laku dipusatkan pada Bhatara Siwa.
2. Batin dipusatkan pada Bhatara Siwa.
3.
Pendengaran dipusatkan pada Bhatara Siwa.
4.
Pengelihatan dipusatkan pada Bhatara Siwa.
5.
Kata-kata dipusatkan pada Bhatara Siwa.
6.
Jadikan kedipan mata itu kepada Bhatara Siwa.
7.
Jadikanlah Bhatara Siwa sebagai nafasmu.
Ketujuh pemusatan pikiran ini disebut Sapta bddhyanggamarga (Tim Penyusun,
2000: 24). Kemudian ada tiga jalan utama saat peleburan, yaitu melalui
ubun-ubun (nistha), melalui hidung (madhya), dan melalui mulut (uttama). Ketiga jalan itulah menuju
kelepasan atau moksa.
Dalam ajaran yoga ada dikenal dengan
delapan tahap penting dalam bertata susila atau pengendalian diri. Kedelapan
tahapan itu dinamai Astanggayoga.
Adapun bagiannya yaitu :
1. Yama
iyalah pengendalian diri tahap pertama. Yaitu :
1) Ahimsa
artinya tidak membunuh-bunuh.
2) Satya artinya setia, benar.
3) Asteya artinya tidak mencuri.
4) Brahmacari artinya pantang hubungan
kelamin.
5. Aparigraha artinya tidak menerima, tidak
loba (ibid, 50).
2.
Nyama
iyalah pengendalian diri lebih lanjut. Pengendalian diri tahap kedua, antara
lain :
1) Sauca artinya suci lahir batin.
2) Santosa artinya kepuasan.
3) Tapa artinya pengekangan diri.
4) Swadhayaya artinya belajar
5) Iswarapranidhana artinya bhakti kepada
Tuhan (ibid, 54).
3.
Asana
iyalah sikap duduk. dalam tahap asana diperlukan adanya sikap yang baik dan
tenang seperti : padmasana, wajrasana,
swastikasana, sukhasana, silasana,
4.
Pranayama
ialah pengendalian prana. dalam tahap Pranayama
atau teknik pengaturan nafas/ pengendalian prana, dibedakan dalam tiga cara
yakni puraka artinya menarik atau
memasukkan nafas yang bersih, kumbaka yaitu
menahan nafas, dan recaka mengeluarkan nafas yang kotor.
5. Pratyahara
ialah penarikan pikiran dari objeknya. pratyahara
yakni penarikan pikiran dari objeknya, yang harapannya agar pikiran tidak
kacau. Pikiran perlu tenang dan nyaman
6.
Dharana
ialah pemusatan pikiran. Setelah ketenangan pikiran muncul dan pikiran tertuju pada satu objek, maka
pikiran selanjutnya untuk dipusatkan sesuai sasaran yang dituju (Dharana).
7.
Dhyana
ialah meditasi. Bilamana hal ini telah dilakukan, maka dilanjutkan dengan
dhyana yaitu melakukan meditasi, sehingga tahapan yang terakhir adalah dapat
dilaksanakan samadhi
8.
Samadhi
ialah luluhnya pikiran dengan atma
(Sura, 1985:49)
Tempat Pemujaannya :
Tempat pemujaan atau tempat suci umat
Hindu Indonesia disebut Pura. Sering pula umat Hindu menyebutnya dengan nama Kahyangan atau Parahyangan Pura berasal dari bahasa Sansekerta (Pur) artinya
benteng, kota, tempat yang dikelilingi oleh tembok. Pura adalah tempat suci
untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi wasa/
Tuhan Yang Maha Esa atau para Dewa sebagai manifestasi Tuhan. Dalam hal ini
dinamai pula Dewalaya atau Mandiram (bahasa Sansekerta) dan juga
dinamai Mandir (bahasa Hindi). Tempat
suci dapat digolongkan berdasarkan karakternya yaitu, a) pura keluarga, b)pura
teritorial, c) pura fungsional, dan pura umum. Palemahan pura umumnya terdiri dari tiga yaitu jeroan (utama mandala) melambangkan alam atas (swah loka), jaba tengah (madhyana mandala) melambangkan alam
tengah (bhwah loka), dan jaba sisi (kanista mandala) yang melambangkan alam
bawah (bhur loka).
Adapun tempat pemujaan bagi umat
Hindu, antara lain :
1.
Pura Keluarga adalah pura yang khusus
bagi umat Hindu yang masih ada ikatan satu keluarga atau wit. Pura Keluarga
juga dinamai Pura Kawitan, Pamerajan,
Dadia, Panit, Ibu, Padarman, dan lain-lainnya. Bertempat di Pura Keluarga
bahwa umat Hindu memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta roh suci leluhur atau
atma sidha dewata. Pelinggih uatama
pada Pura Keluarga biasanya berupa Gedong,
Pelinggih Rong Tiga, atau ada pula berupa Meru serta Pelinggih
Padmasana.
2.
Pura Teritorial yang dimaksudkan
adalah Pura Kahyangan Desa. Jenis
pura ini juga dinamai Tri Kahyangan
atau Kahyangan Tiga. nama-nama Pura Kahyangan Tiga adalah a) Pura Baleagung sebagai tempat memuja
Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa
Brahma (Pencipta/Utpatti), b) Pura
Puseh sebagai tempat memuja Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa Wisnu (Pemelihara/Sthiti), c) Pura Dalem sebagai tempat memuja Hyang
Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Dewa
Siwa (Mengembalikan ke asalnya/ Pralina).
3.
Pura Fungsional merupakan tempat suci
dalam kaitannya dengan kekaryaan umat Hindu, Pura ini juga dinamai Pura
Swagina. Jenis pura fungsional, seperti Pura
Subak merupakan tempat suci umat Hindu yang memiliki ikatan kerja dalam
pertanian. Pura Subak juga dinamai Pura
Bedugul atau Ulun Suwi atau Pura Ulun Subak. Kalau kaitannya dengan
ikatan profesi bagi para pedagang disekitar pasar atau di tempat tertentu untuk
berjualan disebut Pura Melanting.
Keempat, Pura Umum, Pura Umum adalah pura yang tergolong kahyangan jagat
sebagai tempat memuja Ida Sang Hyang
Widhi Wasa serta segenap manifestasi-Nya. Yang tergolong sebagai Pura Umum
adalah Pura Sad Kahyangan Jagat, Pura Dang Kahyangan Jagat, Pura Jagatnatha di sekitar perkotaan
maupun pura yang dibangun di wilayah Indonesia yang dapat dijadikan tempat
sembahyang oleh umat Hindu.
Kalau di Bali bahwa Pura Kahyangan Jagat diklasifikasikan berdasarkan atas :
1.
Konsep rwa bhinneda yaitu Pura Besakih
sebagai Purusa dan Pura Batur sebagai unsur Pradhana.
2. Kalau berdasarkan konsep Cadu Sakti atau Caturlokapala
(empat penjuru mata angin) maka yang tergolong Pura Kahyangan Jagat adalah Pura
Lempuyang di arah timur (Purwa)
sebagai tempat memuja Dewa Iswara, Pura Andakasa diarah selatan (Daksina) sebagai tempat memuja Dewa Brahma, Pura Batukaru di arah barat (Pascima)
sebagai tempat memuja Dewa Mahadewa,
dan Pura Batur diarah utara (Uttara) sebagai tempat memuja Dewa Wisnu.
3. Berdasarkan konsep sadwinayaka, yang tergolong pura umum yaitu Kahyangan Gunung Agung (Pura Besakih) di daerah Kab. Karangasem, Kahyangan Lempuyang Luhur juga didaerah
Kab. Karangasem, Kahyangan Goa Lawah
di daerah Kabupaten Klungkung, Kahyangan
Uluwatu di daerah Kab. Badung, Kahyangan
Batukaru di daerah Kab. Tabanan, dan Kahyangan
Pusering Tasik/ Pusering Jagat didaerah Kab. Gianyar (Subagiasta, 2006 :
52-55)
Penerapan Saiva Siddhanta di Bali :
Penerapan
Saiva Siddhanta di Bali lebih banyak
yang nampak melalui pelaksanaan upacara agama hindu yang dikelompokkan ke dalam
lima bagian besar yang dinamai panca
yajna, yakni : pertama, Dewa Yajna
yakni persembahan kepada Tuhang Hyang Maha Esa beserta dengan semua
manifestasi-Nya, dengan pelaksanaan upacara agama berupa piodalan di pura, persembahyangan, perayaan hari suci agama Hindu
seperti : Saraswati, Pagerwesi, Galungan,
Kuningan, Siwaratri, Nyepi, Purnama, Tilem, dan sebagainya; kedua, Manusa Yajna yakni persembahan kehadapan
manusia yang dimulai sejak dalam kandungan sampai menjelang meninggal dengan
berbagai jenis upacaranya bertujuan untuk melakukan penyucian diri serta
peningkatan kualitas hidup manusia, yang pelaksanaannya dengan melakukan
penghormatan terhadap sesama manusia, melakukan upacara agama seperti upacara megedong-gedongan, dapetan, tutug kambuhan,
telu bulanan, ngotonin, ngeraja wala, matatah, mavivaha, pawintenan dan
sebagainya; ketiga, Pitra Yajna yaitu
persembahan kehadapan para pitara-pitara guna mendapatkan kerahayuan hidup di
dunia ini dan di akhirat, cara pelaksanaannya dengan melakukan penghormatan
kepada orang tua, berbakti kepada orang tua, melakukan upacara pitra yajna, dan lain-lainnya; keempat, Resi Yajna yakni persembahan kehadapan
para orang suci, para resi yang telah berjasa dalam pembinaan, pengembangan,
serta menuntun umat, yang pelaksanaannya dengan mentaati ajaran para resi,
berbakti kepada para resi, berdana punia kepada para resi, memberkan pelayanan kepada para resi dan sebagainya; dan kelima, Bhuta Yajna yakni persembahan
kehadapan para bhuta kala atau
mahkluk bawahan, oleh karena para bhuta kala itu turut memberikan kekuatan
kehidupan di alam semesta ini sehingga semua kehidupan menjadi harmonis.
Pelaksanaannya dengan melakukan masegeh,
macaru, dan pelaksanaan tawur.( Subagiasta, 2006 : 55-57)
Pengikutnya :
Sebagai pengikut filsafat dan ajaran Saiva Siddhanta adalah segenap umat
Hindu yang tinggal di Pulau Bali. Dalam perkembangan agama Hindu belakangan ini
bahwa awalnya agama Hindu dengan paham Saiva
Siddhanta tersebut yang berasal dari India terutama dari India Selatan
tepatnya didaerah Tamil Nadu, bahwa pengikut Saiva Siddhanta selain umat Hindu yang berasal dari tanah
bharatiya, maka filsafat Saiva Siddhanta tersebut juga diikuti oleh para
sadharma atau umat Hindu yang asli Indonesia, di antaranya : umat Hindu di
Sumatra, umat Hindu di Bali, umat Hindu di lombok, umat Hindu di Jawa, umat
Hindu di Sumbawa, di Sumba, di Papua dan sebagainya di wilayah kepulauan
Nusantara ini.
Kemudian kalau di Pulau Dewata bahwa
pengikut Saiva Siddhanta adalah umat
Hindu pada umumnya, oleh karena kalau di Bali tidak ada perbedaan yang menjolok
walaupun dari para bhakta adalah
pengikut Vaisnawa dan yang lainnya,
tetapi sama sebagai penyembah dan pemuja Hyang
Siwa. Beliau Hyang Siwa sangat dimuliakan
dan dihormati melalui pelaksanaan semabh bakti oleh segenap umat Hindu. Tidak
adanya perbedaan yang mencolok dalam pemujaannya, juga dalam melakukan bhakti
ke tempat suci atau di Pura, oleh karena dalam pelaksanaan pemujaan telah
diakomodir melalui sembah, melalui doa, serta melalui penempatan para dewata
dalam tempat suci itu sendiri (Subagiasta, 2006 : 56-57).
Hari Sucinya :
Hari suci merupakan hari baik bagi
umat Hindu untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Beberapa hari
suci Hindu antara lain :
1. Hari raya Galungan yang pelaksanaannya setiap enam bulan sekali, yaitu pada Budha Kliwon Dungulan. Pada hari raya Galungan umat Hindu melakukan
persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi
Wasa, terutama dilakukan di Pura
Keluarga (Pamerajan, Sanggah Gede, Dadia, Kawitan, Kamulan, Taksu, dan
lain-lainnya), Pura Kahyangan Desa,
serta Kahyangan jagat lainnya. Saat hari raya ini juga dinyatakan sebagai hari
kemenangan kebenaran (Dharma) atas
ketidakbenaran (Adharma). Perayaan Galungan dimulai pada Sabtu Kliwon Wariga sampai dengan
rangkaian terakhir pada Budha Kliwon
Pahang. Adapun rangkaian utama perayaan Galungan adalah penyekeban/penyajaan, pengejukan,
penampahan, puncak perayaan Galunan, dan umanis Galungan.
2. Hari raya Kuningan yang dirayakan pada hari Sabtu Kliwon Kuningan, sepuluh hari setelah perayaan Galungan. Hari Raya Kuningan juga
diawali dengan rangkaian Penampahan Kuningan, Puncak perayaan Kuningan dan Ulihan.
3.
Hari raya Saraswati yang dilaksanakan pada Sabtu Umanis Watugunung. Umumnya perayaan ini dikenal dengan nama
Piodalan Sang Hyang Aji Saraswati
atau piodalan Sang Hyang Pengeweruh.
Makna yang dikandung dari perayaan Saraswati
adalah betapa pentingnya ilmu pengetahuan suci Weda dan sains lainnya untuk memajuan dan kesejahteraan umat
manusia.
4. Hari
raya Pagerwesi adalah sebagai hari
pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widhi
Wasa (Hyang Paramesti Guru) yang dirayakan setiap Budha Kliwon Sinta. Perayaan hari raya ini bermakna untuk memohon
kekuatan hidup baik secara fisik dan non fisik (wahya adhyatmika). Jadi perayaan Pagerwesi bertujuan untuk memohon
kekuatan dan kemantapan sraddha dan
bhakti umat Hindu.
5.
Hari raya Nyepi yang perayaannya dilaksanakan setiap penanggal pisan sasih kadasa. Rangkaian upacara hari raya Nyepi diawali dengan pelaksanaan melasti ke segara/samudra untuk memohon tirtha amertha atau air suci kehidupan
serta untuk mengahyutkan segala mala
pataka/dosa/papa, kemudian dilanjutkan dengan pengerupukan/mebuu-buu serta
pelaksanaan Upacara Tawur Kasanga di
setiap lingkungan desa terutama bertempat diperempatan jalan (catus pata) yang jatuh pada Tilem Sasih Kasanga.
6. Hari Siwaratri
yang berarti malam siwa. Siwa adalah
sebagai manifestasi Ida Sang Hyang Widhi
Wasa yang memiliki kekuasaan untuk pameralina.
Dalam naskah Siwaratrikalpa
dijelaskan bahwa Bhattara Siwa
melakukan yoga untuk keselamatan denia beserta segenap isisnya beretapatan
dengan caturdasi kresnapaksa atau pangelong ping patbelas sasih kapitu.
Saat itu dipilih oleh Bhattara Siwa
untuk beryoga, karena merupakan malam yang tergelap dan saat yang terbaik
melakukan pemujaan kehadapan Bhattara
Siwa. Saat Siwaratri, maka umat
Hindu melakukan tapa brata yoga dan samadhi. Waktu pelaksanaannya selama 36
jam. Jenis brata dapat dilakukan berupa upawasa
(tidak makan dan tidak minum), monabrata
(tidak berbicara/selalu hening), dan jagra
(tidak tidur) (Subagiasta, 2006 : 58-60)
Orang sucinya :
Orang suci adalah sangat besar jasanya
terhadap perkembangan dan penyebaran agama hindu kepada umat di dunia ini.
Tanpa orang suci, maka agama hindu sulit untuk berkembang. Orang suci umat
hindu secara umum disebut dengan nama Rsi.
Ada beberapa orang suci antara lain:
1. Bhagawan
Bhrigu merupakan orang suci Hindu yang namanya banyak disebut-sebut dalam
kitab purana. Beliau sebaga pendiri
keluarga/warga Bhargawa.
2. Bhagawan
Bharadwaja sebagai orang suci Hindu yang ada kaitannya dengan cerita Ramayana yang ditulis oleh Bhagawan Walmiki. Bhagawan Bharadwaja juga sebagai penerima wahyu suci dari Tuhan
Yang Maha Esa. Beliau sebagai guru suci pada sebuah ashram kenamaan Hindu di kota prayoga
yang kini dikenal dengan nama kota Aalahabad. Pada kota prayoga ini adalah sebagai tempat suci Hindu, oleh karena disana
terdapat campuhan (sangam) dari pada
sungai Ganga, sungai Yamuna, dan sungai Saraswati (yang saat ini tidak nampak).
3. Rsi
Agastya sebagai oranmg suci lahir dikota Khasi atau Benares-India Utara
(Uttara Pradesh). Beliau telah menyebarkan agama Hindu di india dab termasuk
sampai di Indonesia dan Bali.
4. Bhagawab
Brihaspati adalah seorang putra dari Bhagawan
Angira yang merupakan orang suci yang terkenal bagi umat Hindu.
5. Mpu
Tantular sebagai pujangga besar agama Hindu. Beliau telah menulis kekawin Sutasoma. Beliau memiliki empat putra yaitu:
Mpu Kanawasikan, Mpu Asmaranatha, Mpu
Shidimantra, Mpu Kepakisan.
6. Mpu
Kuturan sebagai orang suci yang telah berjasa menyebarkan ajaran agama
Hindu di Indonesia dan di Bali khususnya. Beliau mengajarkan ajaran Tri Murti dan mengjarkan konsep Tri
Kahyangan di setiap desa adat dan desa pakraman di Bali.
7. Mpu
Bharadah sebagai oranh suci Hindu merupakan adik dari Mpu Kuturan. Kebesaran nama Mpu
Bharadah sangat terkenal di bali dan Mpu
Bharadah ada di muliakan di salah satu pura di kompleks pura Besakih.
8. Rsi
Markandeya adalah orang suci Hindu yang pertama kali dating ke Bali untuk
menyebarkan ajaran agama Hindu. Beliau datang dari tanah jawa menuju Bali
beserta dengan beberapa pengikutnya untuk merabas hutan Bali di jadikan lahan
pertanian dan sekaligus menata kehidupan beraga Hindu di Bali.
9. Dang
Hyang Dwi Jendra nama lain beliau adalah Dang Hyang Nirathga. Jikalau di bali beliau bergelar pedanda Sakti
Wawu Rawuh. Kalau di Lombok beliau bergelar Tuan Semeru dan di Sumatra bergelar
Pangeran Sangupati. Banyak tempat
suci yang telah beliau bangub di pulau Bali, seperti ; Pura Puruncak, Pura Rambut Siwi, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura
Tanah Lot, Pura Prti Tenget, Pura Uluwaru , Pura Air Jeruk dan lain-lain.
10. Dang
Hyang Astapaka merupakan salah satu orang suci dari Bhuda Mahayana dan Majapahit dan di Bali belai mendirikan Pura Sakenan di daerah Serangan Denpasar
Selatan. Keturunan beliau di Bali kini menetap di daerah Karangasem yaitu Dsesa Budekeling (Subagiasta, 2006 :
61-63)
Perjalanan Śiva Siddhānta di India.
Sumber Ajarannya :
Ada beberapa sumber ajaran Siva Siddhanta di India yaitu Veda, Saiva Agamas, serta sumber
tertulis lainnya yang digunakan (Subagiasta, 2002:43). Jadi selain sumber
tersebut bahwa da juga sumber yang penting lainnya berupa agamas, puranas, ithiasa, upanisad, yoga dan sebagainya.
Saiva
Siddhanta merupakan filsafat dari Saivaisme
bagian selatan yang bersumber tidak dari penyusun tunggal, yang merupakan
jalan tengah adwaita-nya Sankara dan Wasista-advaita-nya Ramanuja. Kepustakaannya terutama terdiri dari:
1.
28 buah tentang Saiwita Agama.
2.
Kumpulan dari puji-pujian Saiwaita yang dikenal sebagai Trimurti.
3.
Kumpulan tentang kehidupan
orang-orang suci Saiwita, yang
dikenal sebagai periyapurana.
4. Siwajnanabodhamnya
Meykandar.
5.
Siwajnanasiddhiyar-nya Arulandi
6. Karya-karya dari Umapati (Subagiasta,
2006:29).
Ajarannya :
Ajaran pokok dari filsafat Saiva Siddhanta yaitu bahwa Siwa merupakan realitas tertinggi dan
jiwa atau roh pribadi adalah intisari yang sama dengan Siwa, tetapi tidak identik. Pati
(Tuhan), Pasu (roh) dan Pasa (pengikat) dan 36 tattwa atau
prinsip yang menyusun alam semesta, kesemuanya nyata (Subagiasta, 2006:30).
Siwa merupakan ciri realitas
tertinggi, merupakan kesadaran yang tak terbatas, yang abadi, tanpa perubahan,
tanpa wujud, merdeka maha kuasa, ada dimana-mana, maha tahu, tanpa awal, tanpa
penyebab, selalu bebas, selalu murni dan sempurna. Ia tidak dibatasi oleh waktu
yang merupakan kebahagian dan kecerdasan yang tak terbatas, bebas dari cacat,
maha pelaku, dan maha mengetahui. Lima kegiatan Tuhan (Panca Krtya) adalah : srsti (penciptaan),
sthiti (pemeliharaan), samhara (penghancuran), tirobhawa (menutupi) dan anugraha (karunia), yang secara terpisah
dianggap sebagai kegiatan dari Brahma,
Wisnu, Rudra, Maheswara, dan Sadasiwa.
Tempat Pemujaannya :
Tempat pemujaan umat Hindu di India
termasuk bagi pengikut Saiwa Siddhanta
dinamakan dengan Mandir. Istilah laninya bisa disebut dengan Dewalaya. Sebagai sentra pemujaan Siwa
di India jika di daerah Uttra Pradesh dinamai kota Kasi. Para umat pada umumnya
mengatakan dengan nama kita Siva. Oleh karena disana para umat Hindu memuja
Bhatara Siwa, maka nama Mandirnya yaitu Visvanath Mandir. Ada juga trerdapat tempat
suci yang sangat megah untuk pemujan Dewa Siwa yakni Golden Temple yang
terletak di tengah-tengah kota Benares di dekat sungai Gangga.
Dalam praktek kehidupan beragama Hindu
bahwa pada setiap rumah tangga juga terdapat untuk pemujaan Dewa Siwa berupa
altar atau sejenis pelangkiran bagi umat Hindu di Bali. Pada masing-masing
altar itu juga disediakan tempat khusus untuk menempatkan sesaji, sarana
pemujaan dan hal lain yang diperlukan. Umumnya disiapkan ruangan khusus yang
memang disucikan (Subagiasta, 2006:30-31).
Penerapan Saiva Siddhanta di India :
Penerapan Saiva Siddhanta di India dapat
dilihat dalam praktek nyata kehidupan beragama Hindu di India secara
sosiologisnya nampak dengan jelas. Kemudian pada religiusnya terlihat dalam
praktek pemujaan (upasana atau puja), yang paling rutin dilaksanakan
yaitu di suatu Mandir, baik di tingkat perseorangan maupun di tingkat komunal.
Ada dua cara penerapannya yaitu dengan cara sarana,
sadhana, material, upakara, banten/bali, atau simbol-simbol tertentu yang
dinamai pratika atau saguna upasana.
Sedangkan cara penerapan yang lainnya adalah ahamgraha upasana atau nirguna
upasana. Cara ini dilakukan dengan cara meditasi pada patung, arca,
pratima, gambar/citra, dewa-dewi, aksara atau hal yang dapat meningkatkan
kualitas meditasi menuju spiritual yang paramaartha serta paramisa.
Penerapan
agama Hindu di India ada yang dinamai sepuluh samskara meliputi: Garbhadana
samskara (mensucikan kegiatan penciptaan), Pumsavana samskara (ucapan mantra-mantra kandungan berumur bulan
ketiga bagi anak), Simantonnayana
samskara (pengucapan mantra weda pada saat kandungan berumur tujuh bulan), Jatakarma samskara (upacara segera
kelahiran anak), Namakarana samskara
(upacara pemberian nama anak), Annaprasana
samskara (pemberian makanan pertama kali saat berumur enam bulan), Cudakarana samskara (upacara pencukuran
rambut pertama kali bagi anak), Upanayana
samskara (upacara mendekatkan anak untuk belajar pada gurunya), Samavartana samskara (upacara mengakhiri
masa belajar agama atau weda), dan Vivaha
samskara (upacara perkawinan atau masa berumah tangga). Penerapan Saiva Siddhanta
di Bali hamipr sama dengan di India seperti konsep Panca Yadnya untuk Homa untuk Dewa Yadnya, tarpana atau srddha untuk pitra yadnya, belajar weda atau brama untuk resi yadnya, bali untuk Bhuta Yadnya, dan penghormatan atau
keramahtamahan untuk Manusa Yajnya (Subagiasta,
2006:31-33).
Pengikutnya :
Pengikut dari Siva Siddhanta pada
umumnya adalah para bhakta Siva.
Terutama umat Hindu di berbagai pelosok di negara bagian India. Pengikut
lainnya adalah para Brahmana dan Tamil Nadu. Di Tamil Nadu sebutan
pengikut Siva Siddhanta dinamai Gurukkal.
Ada juga dinamai pengikut dalam sebutan dasnama
sannyasin, tetapi pengikut ini tidak semua pemuja dan pengikut Siwa. Ada sebagaian yang memuja visnu atau dari paksa vaisnawa. Sisanya lagi dari para bhakta yang ada di India. Jadi yang dinamai dasanama sannyasin itu adalah para bhakta atau umat Hindu India
yang memiliki kepercayaan yang sangat kuat baik terhadap Dewa Siwa, sebagian
lagi kepada Dewa Visnu, pemuja Rama, pemuja Anomana, serta pemuja lainnya sesuai
ista dewata dalam agama hindu (Subagiasta, 2006: 33-35).
Hari Sucinya :
Di
Indonesia dan juga di Bali bahwa perayaan suci agama Hindu nampak ada persamaan
dan sedikit perbedaan. Ada yang sama dalam sebutan perayaan sucinya seperti :
perayaan Siwaratri, perayaan Saraswati, Purnima atau Purnama, Amavasya atau Tilem. Cara yang lazim dilakukan ada
saat perayaan suci adalah dengan melakukan upawasa
selama sehari penuh bahkan lebih dari sehari bhakta yang telah mampu melaksanakannya. Setiap perayaan suci
diikuti dengan upawasa tersebut.
Bilamana pada saat Siwaratri dan Maha Siwaratri yang dipuja adalah Dewa Siwa. Pada saat itu para bhakta
melakukan pemujaan kehadapan Dewa Siwa. Kalau di India perayaan Siwaratri dilakukan sekitar bulan kapitu
atau dinamai Sasi Marga sekitar bulan
Januari dan Februari pada setiap tahunnya.Saat itulah umat hindu datang
ketempat suci seperti mandir, ada
yang ke campuan yakni tempat suci
berupa pertemuan sungai . Disanalah umat Hindu atau pengikut Siva Siddhanta
melakukan penyucian diri (kalau di Bali melukat,
mesiram, melasti). Tempat suci sangam
merupakan pertemuan dari tiga sungai suci Hindu yang bernama sungai Gangga, sungai Yamuna, dan sungai Saraswati,
jadi ketiga sungai suci itu dinamai triveni
atau trinadhi.
Hari
suci yang lainnya lagi adalah pemujaan kehadapan sakti Siwa yang dinamai Durga Puja yakni hari suci untuk memuja
Dewi Durga sebagai ibu suci dan ibu niskala yang memberikan kekuatan lahir
batin terhadap umat Hindu. Dalam tradisi india ada yang disebut nawaratripuja yaitu pemujaan selama
Sembilan hatri sembilan malam terhadap Dewa Siwa dan Dewi Durga. Praktek
pemujaannya adalah dengan vrata/brata, yang
dalam bahasa Hindinya dinamai ‘bret’ artinya
tidak makan dalam kurun waktu yang diingini oleh para bhakta (Subagiasta, 2006:35-38).
Orang Sucinya :
Orang
suci umat Hindu yang ada di India ada yang dinamai pandit. Kata pandit (bahasa
Hindi) sedangkan dalam bahasa Sansekerta disebut pandita. Kalau di Indonesia disebut “Pendeta” yakni orang suci yang
memimpin suatu upacara keagamaan Hindu. Tidak saja itu juga diagama non Hindu
juga menamai ‘Pendeta’. Dalam kenyataan masyarakat Hindu di Bharatiya bahwa peran orang suci adalah
sangat menentukan oleh kalangan Brahmin, maka
peran para orang suci sangat menentukan orang suci kalau di Bharatiya sangat dihormati dan disucikan
oleh umat Hindu. Terutama bagi pengikut Saiva
Siddhanta bahwa para pemuja Siva dan
bhakta Siva begitu berbakti kepada
orang suci. Sesuai kepercayaan umat Hindu yang bersumber
pada ajaran Veda bahwa orang suci Hindu ada dikenal dengan nama sapta resi. Ketujuh resi penerima wahyu yaitu Gratsamada,
Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja, Wasistha, dan Maha Resi Kanwa.
Menurut
tradisi Hindu. Maharesi terbesar dan sangat banyak jasanya dalam menghimpun dan
mengkodifikasi Weda adalah Maharesi Wyasa.
Selain itu juga ada dinamai maharesi penyusun catur veda samitha yakni Maharesi
Paila (Pulaha) sebagai penyusun Rgweda
samitha, Maharesi Waisampayana
sebagai penyusun Yajurweda samitha, Maharesi Jamini sebagai penyusun Samaweda samitha, dan Maharesi Sumantu sebagai penyusun Atharwaweda samitha (Subagiasta,
2006:38-39).
Langganan:
Postingan (Atom)