Translate
Rabu, 28 September 2016
Pengertian Pura
Pura merupakan tempat suci Umat Hindu. Pura biasanya didirikan di tempat yang sekelilingnya asri seperti laut, gunung, goa, hutan dan sebagainya. Penyebutan nama tempat suci dalam Ajaran Hindu tidak secara gamblang. Tempat suci atau pemujaan ini disebut devalaya, devasthana, deval atau deul yang berarti rumah para dewa. Beberapa istilah tempat suci Umat Hindu di belahan bumi ini adalah:
Mandir atau Mandira (Bahasa Hindi)
Alayam atau Kovil (Bahasa Tamil)
Devasthana atau Gudi (Kannada)
Gudi, Devalayam atau Kovela (Bahasa Telugu)
Puja Pandai (Bahasa Bengali)
Kshetram atau Ambalam (Malayayam)
Candi (Jawa, merupakan bangunan kuno)
Tempat suci menurut Hindu mempunyai 2 (dua) pengertian yaitu tempat suci karena kondisi alam (sendirinya) dan tempat suci karena disucikan atau dibangun. Tempat suci karena sendirinya adalah puncak gunung, sumber mata air. Sedangkan tempat suci yang dibangun adalah Pura.
Etimologi
Kata ‘Pura’ berasal dari akhiran Bahasa Sansekerta (-pur, -puri, -pura, -puram, -pore) yang artinya kota, kota berbenteng, kota dengan menara atau istana. Dalam perkembangannya di Pulau Bali, istilah ‘Pura’ menjadi khusus untuk tempat ibadah, sedangkan kata ‘puri’ menjadi tempat tinggal bagi para raja dan bangsawan.
‘Pura’ yang berarti keraton atau istana raja, kata ini banyak dijumpai di Bali pada saat pemerintahan Dalem Kresna Kepakisan, seperti Linggarsapura di Samprangan, Swecapura di Gelgel, Semarapura di Klungkung, Bandanapura (Badung), Kawyapura (Mengwi).
‘Pura’ sebagai tempat pemujaan dimulai pada jaman sebelum Dalem Kepakisan, Rsi Markandeya mendirikan Pura Besakih. Pada abad XI Empu Kuturan mempopulerkan Pura dengan Pura Kahyangan Tiga (Pura Desa, Puseh dan Dalem) dan tempat memuja Sang Hyang Widhi yang disebut Meru. Pada jaman Dang Hyang Dwi jendra, tempat memuja Sang Hyang Widhi disebut Padmasana.
Rangkuman (Sari Cerita) : KAKAWIN ARJUNA WIWAHA Karya Mpu KANWA
KAKAWIN ARJUNAWIWAHA
Karya MPU KANWA
Pujangga Kerajaan KADIRI
BAGIAN PERTAMA : Penulisan Kakawin
Ini adalah Arjunawiwaha, yaitu kakawin yang suci dan indah, hasil karya Pujangga Kawi Empu Kanwa, yang telah mengikat cerita (sampun keketan ing katha), bagaikan menguntai permata, dan merangkai sajak (angiket bhasa rudita), seperti merangkai ikatan bunga (angiket sekar taji). Semuanya dituliskan pada papan, rapi, berupa goresan (rinekaken munggw ing wiletanan aradin warna cacahan), sebagai hasil karya pujangga agung yang telah menyusun, dan menghasilkan kidung bersyair (tumatametu-metu kakawin), yang keluar dari puncak budi (tungtung ing hidep), dan keluar dari batu-tulis (tungtung ing tanah). Maka kakawin ini adalah karya-sastra agung yang dipersembahkan bagi Sri Paduka Raja, yaitu sebagaimana disebutkan … "Sembah kehadapan Sri Airlangga. Dia yang dipuja sampai patah batu-tulis, memberi restu" (Sri Airlanggha namastu sang panikelanya tanah anumata).
Sang Pujangga Kawi menggalang keindahan dengan kiasaan kata yang mengungkapan kiasan (alamkara), dan hiasan permainan kata dengan bunyi yang rumit (sabdalamkara), serta hiasan permainan arti yang menyarankan makna berganda (arthalamkara). Ia membukanya dengan pujaan (asir, manggala), diikuti rangkaian satuan kisah yang terdiri dari perundingan (mantra), utusan (duta), keberangkatan pasukan (prayana), pertempuran (aji), dan kemenangan Sang Pahlawan (nayaka bhyudaya). Dibubuhkannya lukisan alam pegunungan (saila), laut (arnawa), dan kota (nagara), berikut gambaran musim (rtu), dan terbitnya bulan (candrodaya), ketika berlangsung permainan di taman (udyanakrida) dan di air (salilakrida). Diungkapkannya pula ajaran tentang kewajiban hidup (dharmasastra) dan kesejahteraan hidup (arthasastra). Kemudian diutarakannya adegan percintaan, yang dipenuhi dengan rasa asmara (srngararasa), ulah cinta penuh kesenangan (sambhogasrngara), dan kesedihan karena perpisahan atau penolakan (vipralambha), yang diakhiri dengan keadaan yang menyenangkan (rdhimat). Adapun di dalam menulis diramunya pembukaan (mukha), yang mengandung benih cerita (bija), diikuti dengan pembukaan kembali (pratimukha), perkembangan yang menjadi kandungan cerita (garbha), pertimbangan (vimarsa), untuk menyingkirkan halangan (avamarsa), dan kesimpulan cerita (nirvahana). Maka itulah yang disebut kelima sendi (panca-sandhi) dalam wiracarita berbentuk kakawin.
Dibangunnya pula jalinan cita-rasa (rasa) dan perasaan (sthayibhava), yaitu asmara (srngara) dan cinta (rati), kelucuan (hasya), dan kejenakaan (hasa), belas-kasihan (karuna) dan kesedihan (soka), keganasan (raudra), dan kemarahan (krodha), kepahlawanan (vira) dan keteguhan (utsaha), kekuatiran (bhayanaka) dan ketakutan (bhaya), kengerian (bibhatsa) dan kemuakan (jugupsa), serta ketakjuban (adbhuta) dan keheranan (vismaya). Sehingga akhirnya tercapailah kedamaian (santa) dan ketenangan (sama), yang bergaya semesta, mengatasi ruang (desa), waktu (kala), dan keadaan (patra), serta menjangkau kepada tingkat kesadaran tertinggi. Itulah rasa damai-bahagia (santosa), yaitu kebahagiaan yang tertinggi (paramasukha), karena merupakan kebahagiaan yang tak mungkin kembali menjadi duka (sukha tan pabalik dukha).
Demikan pula Sang Pujangga Kawi kemudian memuja cahaya keindahan yang asali (istadewata), dalam rangka memohon pertolongan dan menyatu dengannya (dewasraya). Karena ia ingin menjadi tunas keindahan (alung-lango), yang akan menciptakan keindahan (kalangwan), sebagai tempat persemayaman, yaitu tempat yang dipuja (candi). Maka karyanya itulah pula yang akan menjadi bekal kematiannya (silunglung), dalam rangka mencapai kelepasan (moksa). Sumber keindahan itupun turunlah, dari alam niskala memasuki alam sakala-niskala, bersemayam di atas padma (munggw ing sarasiya) di dalam hati dan jiwa Sang Pujangga Kawi (twas, jnana, hidep, tutur). Melalui kawi-yoga menyatulah sumber keindahan di alam niskala dengan kekaguman di lubuk hati Sang Pujangga Kawi yang memancarkan keindahan. Di dalam keanekaan-ragaman kini ia melihat hakekat yang satu. Iapun mengembara untuk menyaksikan keindahan pada alam kehidupan seraya menjalankan tapa brata (abrata). Maka terbayanglah keindahan di mana-mana, yaitu keindahan yang akan dituangkan dalam karya sastra kakawin. Sang Pujangga Kawi pun tenggelam dalam keindahan alam, dan sekaligus menyatu dengan keindahan yang mutlak, di kala ia telah mampu untuk mengatasi berbagai godaan dan cobaan. Ditemukannya sumber kidung bersyair yang berada di dalam dirinya, yaitu pada ujung pemusatan pikiran (dhyana), yang menuju kepada tataran keheningan (samadhi). Maka ditulisnyalah Kakawin Arjunawiwaha, yang memuja kebajikan (yasa), sebagai buah-usaha pujangga yang berbuat jasa (yasa), dan menjadi sebuah tanda peringatan (yasa). Bagaikan sebuah candi dengan prasasti yang mengabadikan baik kebajikan dari yang dipuja maupun kebaktian dari yang memuja.
Demikianlah Kakawin Arjunawiwaha kemudian menjadi jalan perenungan (sadhana), yang dapat dibaca (amaca) maupun dilagukan (angidung). Ketiga puluh enam pupuh dalam kakawin menjadi tingkat-tingkat kesadaran yang sarat dengan gelombang rasa rokhani. Maka ketiga rasa yang utama, yaitu yang dijumpai dalam suasana pertapaan (santa), pertempuran (vira), dan percintaan (srngara), muncul secara bergantian untuk akhirnya bertemu dalam kesatuan rasa. Kesemuanya itu membawa pembaca dan pendengar kakawin, untuk beralih dari alam sakala kepada alam sakala-niskala. Maka haruslah semua yang membacanya menghadapi dan mengatasi tabir yang menyelubungi kesejatian makna (maya). Karena di dalam keindahan itupun terdapat godaan dan cobaan, yang membangkitkan gelora perasaan raga-jasmani, yaitu keadaan yang harus dilepaskan dalam rangka tercapainya hakekat rasa sejati. Selanjutnya dengan melakukan pembacaan berulang-kali akan terjadilah penggandaan buah-pikiran, yang bergerak menuju kepada satu pengertian. Sehingga pada saat alunan suara kidung berhenti terdengar, dan keheninganpun turun, tibalah jiwa pada keadaan yang mutlak. Sesungguhnya daya-cipta dalam diri Sang Pujangga Kawi menggambarkan kekuatan (sakti) yang berasal dari Hyang Batara Agung. Sedangkan kakawinnya melambangkan dunia yang telah tercipta (maya), yang penggubahannya itu menunjuk kepada kejadian penciptaan (lila). Karena itulah pembacanyapun diharapkan ikut bermain (lila), dengan menggumuli kakawin (maya), dalam rangka menemukan makna dan daya yang sejati (sakti).
Maka barang siapa membaca Arjunawiwaha sebagai kakawin yang suci, ia akan dapat merasakan kebesaran Arjuna. Seperti Ksatria Pandawa itu ia akan dapat menghayati hukum semesta yang menjadi kewajiban hidupnya (dharma). Begitu pula ia akan terpanggil untuk ikut memulihkan ketertiban dunia dalam rangka memperjuangkan kesejahteraan hidup (artha). Sehingga iapun akan menerima pahala, yaitu kemuliaan dan kenikmatan hidup (kama). Maka didalam segala sesuatu yang diperbuatnya itu ia akan tetap berada pada jalan kelepasan hidup (moksa), karena itulah tujuan jangka panjang kehidupannya. Sebagaimana tertulis … "Perihal dharma ksatria, jasa dan kebajikanlah yang dipentingkan. Namun demikian, dalam keyakinan berkesimpulan pula mencapai moksa …" (kunang yan dharma ksatria yasa wa lawan wirya linewih, yaya wwat ring gegwan makaputusa sanghyang kelepasan). Maka iapun akan menjadi seperti Arjuna yang memperoleh kejayaan di mana-mana.
BAGIAN KEDUA : Pembacaan Kakawin
(Mukha)/(1.4-1.5):
Sebagai sebuah wiracarita yang telah disusun di atas pemahaman rasa dan yoga, Kakawin Arjunawiwaha adalah sebuah kidung bersyair tentang kejayaan Arjuna di Kahyangan (kawijayan partha ring kahyangan). Pada permulaan kakawin ia ditampilkan sebagai calon pahlawan (nayaka), yang akan menghadapi lawannya pahlawan (pratinayaka). Maka Arjuna itu adalah seorang ksatria yang perkasa dan seorang yogi yang berbudi. Ia adalah seorang pahlawan (sang nayaka), yang telah mencapai hakekat yang tertinggi (sang paramarthapandita). Di dalam berbagai penampilan watak, sikap, dan tindakannya sebagai seorang ksatria, dapat ditemukan rasa keperwiraan (virarasa), yang sempurna dan utuh. Akan tetapi melalui yoga dan tapa yang dijalankan secara bertahap, munculah pula rasa kedamaian (santarasa), yang memancar dari seorang yogi. Keadaan itu sangatlah berbeda dengan pembawaan Sang Niwatakawaca, raksasa sakti, yang justru masih sangat terjajah oleh hawa napsu keangkaramurkaan. Dalam keangkuhan dan kesombongan dirinya Sang Pratinayaka berniat untuk menghancurkan kahyangan Dewa Indra dan menundukkan para dewa.
(Pratimukha)/(1.6-VI.9):
Karena kesulitan yang dihadapinya Indra membutuhkan pertolongan Arjuna. Akan tetapi kemampuan dan niat ksatria penengah Pandawa itu masih diragukannya. Maka diutuslah ketujuh bidadari (widyadhari), yang kecantikannya tak tertandingi, untuk menggoda Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakila. Namun demikian oleh karena di dalam tapanya Arjuna telah berhasil mencapai keteguhan hati (dhira), maka tidaklah ia terganggu oleh godaan para apsari yang jelita itu. Bahkan akhirnya mereka terpaksa kembali ke kahyangan dewata dalam kesedihan dan kerinduan yang mendalam, meninggalkan Arjuna yang berdiam dalam keheningan batin yang sempurna. Ketika itulah para dewa di kahyangan bersuka-cita, bahkan ada yang menghaturkan sembah penghormatan kearah Indrakila. Kini telah ditemukan seorang ksatria pahlawan yang akan membela kelestarian kahyangan dewata. Akan tetapi Arjuna masih harus diuji, apakah ia seorang ksatria yang menjalankan tapa, ataukah ia seorang resi yang ingin menanggalkan keduniawian. Maka datanglah Indra dengan menyamar sebagai seorang resi tua untuk memperolok-olokkan dan menggugah rasa keksatriaan Arjuna. Menghadapi ujian Indra nampaklah keteguhan dan ketetapan hatinya untuk memegang dharma ksatria, yang mementingkan jasa dan kebajikan (yasa lawan wirya). Karena kebaktian dan cinta kasihnya (bakti lawan asih), kepada kakanda Sang Dharmaputra (Yudhistira Shri Dharmaatmaja), Arjunapun bertapa dengan tekun. Karena cita-citanya adalah untuk menjadi jaya dan berkuasa di dunia (digjaya wijaya). Serta hendak berbuat jasa memelihara seluruh dunia dan berbuat baik kepada sesama (mahaywang rat lawan kaparahitan). Demi cita-citanya itu ia berani menghadapi apa saja, bahkan hingga mati sekalipun. Kini keraguan Indra menjadi sirna, karena telah ditemukannya seorang ksatria berbudi-luhur yang akan mampu untuk menghadapi Sang Niwatakawaca. Dipujinya Arjuna sebagai ksatria yang berjalan mantap dan teguh dalam membina kehormatan (manadhana) dirinya dengan tepat. Akan tetapi Arjuna masih harus bertapa dalam rangka meneruskan usahanya untuk memperoleh anugerah Hyang Batara Agung. Karena tidak lama lagi keindahan Tuhan (Sang Hyang Hayu) akan datang kepadanya. Maka Arjunapun meningkatkan usahanya (prih), dengan tidak berlengah-lengah (tan upir-upir).
(Garbha)/(VII.1-XII.14):
Kini tanda-tanda keberhasilan mulai terlihat. Arjuna yang selalu bersikap waspada, tampak penuh kesiap–siagaan (yatna), ketika menghadapi cobaan Sang Mamangmurka. Ditewaskannya raksasa utusan Niwatakawaca, yang telah menjelma sebagai babi-hutan yang ganas, dengan bidikan panahnya. Bersama dengan itu panah Ksatria Kirata juga menghujam tubuh babi hutan itu. Karena ingin menunjukkan keperwiraannya Arjuna bersikap tak hendak mengalah kepada Sang Kirata. Dengan berani ia melayani tantangan ksatria asing yang merendahkannya dengan kata-kata yang menghina. Karena merasa kehormatan dirinya diganggu Arjunapun menjadi marah (krodha). Kata-kata Ksatria Pandawa itu tandas, tetapi tidak tergesa-gesa (sahuriratereh tar agya). Serangan Sang Kirata dan pengiringnya ditangkis dengan teguh (khadhiran), dengan dahsyat (katara) Arjuna melakukan perang-tanding, dan dengan penuh kewaspadaan (saprayatna) ia membalas serangan senjata Sang Kirata. Arjuna bergulat dengan Sang Kirata dengan amat tangguh, hingga ketopongnya pecah dengan disertai berhamburannya ratna. Ia berkelahi dengan penuh siasat (cidra), erat dipeluknya kaki Ksatria Sang Kirata itu, yang telah memukulnya hingga tersungkur ketanah. Tiba-tiba sirnalah Sang Kirata, berganti rupa menjadi Sang Hyang Siwarudra. Maka Arjuna bersujud menyembah dan memuja Hakekat Tertinggi dalam penampakkanNya itu. Karena ketulusannya kemudian diterimanya anugerah keempat kesaktian (cadusakti). Juga busur, ketopong, dan baju zirah (laras makuta lawan kawaca). Diterimanya ajaran suci berupa ilmu keakhlian memanah (aji dhanurdharasastra). Setelah Sang Hyang Batara Agung berlalu, Arjuna Sang Dhananjaya merasa amat berbahagia, atas anugerah yang telah diterimanya. Disambutnya utusan Indra yang kemudian datang untuk mengundangnya ke kahyangan, supaya segera memberi pertolongan dalam rangka menghadapi ancaman Sang Niwatakawaca. Akan tetapi karena kerendahan hatinya Arjuna hanya terdiam ketika dianggap berkeunggulan dan berkemampuan tinggi (mawirya lawan maguna).
(Vimarsa)/(XIII.1–XXI.7):
Sesungguhnya Indra memandang Arjuna sebagai penolong orang yang tak berpelindung (kshatriya), yang jaya di mana-mana (sarananing anatha digjaya). Maka dalam persidangan para dewa ditetapkanlah tugas bagi Arjuna dan Suprabha. Dalam rangka itulah Arjuna menerima latihan dari Sang Wrehaspati untuk menambah kemahirannya dalam mengambil kebijakan yang cermat dan melakukan daya upaya yang tepat. Kemudian berangkatlah Arjuna didampingi Suprabha sebagai penasihat dan pelindungnya menuju ke negeri Ima-Imantaka. Di sanalah Suprabha berpura-pura menyerahkan diri kepada Sang Niwatakawaca, dengan alasan ingin menghindari nasib buruk bilamana Kahyangan ditundukkan kelak. Dengan tipu muslihat (upaya) yang telah dirancangnya bersama Arjuna, penuh kelemah-lembutan yang manja Suprabha melancarkan bujuk-rayunya terhadap raksasa sakti yang sedang kegirangan itu. Sehingga akhirnya diketahuilah rahasia kesaktian dan jalan kematiannya, yaitu yang berada pada bagian dalam mulutnya. Ketika itulah Arjuna menghancurkan gapura kota dan membuat keonaran di Ima-Imantaka. Sungguh Sang Niwatakawaca terkecoh (kasalib), karena Suprabha lalu melarikan diri bersama Arjuna di tengah kekacauan yang sedang berlangsung. Dalam kemarahan yang menggelora Sang Niwatakawaca segera menyiapkan pasukannya dan berangkat untuk menyerbu Kahyangan Indra. Menyadari hal itu dalam persidangan para dewa, Indrapun memutuskan untuk melawan serangan bala-tentara Ima-Imantaka.
(Nirvahana)/(XXIII.1-XXXVI.2):
Indra berangkat bersama pasukan para dewa dan bertempur melawan bala raksasa di lereng gunung Semeru. Ketika barisan para dewa dikalahkan oleh golongan raksasa, Arjuna datang menyerang sebagai penopang belakang (tulak balakang) bagi mereka yang mundur minta dikasihani. Pada puncak pertempuran itu Arjuna memasang rahasia siasat (rahasya ning upaya), yaitu kutuk balik yang mengakhiri kesaktian Prabu Niwatakawaca. Arjuna sengaja ikut lari dengan berpura-pura kebingungan, hingga membuat raja raksasa yang sakti itu tertawa terbahak-bahak oleh karena kesenangan. Ketika dibidik dengan tomaranya Arjuna sengaja menjepitnya dan berpura-pura terjatuh di keretanya. Niwatakawaca datang berteriak menantang perang sambil tertawa kegirangan. Saat itulah ia terkecoh, terjerat tipu muslihat (kasalib kabancana), karena tampaklah lidah pada mulut yang terbuka lebar. Maka binasalah raja raksasa yang sakti itu terkena bidikan panah manusia yang sakti pula. Arjuna dan para dewapun kembali ke kahyangan untuk merayakan kemenangan mereka. Akan tetapi ketika para dewa sedang sibuk mempercakapkan tentang perang yang telah mereka menangkan, Arjuna yang unggul jasanya (sang agunakaya) tidak banyak berbicara (tan jewah) dan tidak pula menunjukkan sikap kegirangan (tan wijah). Kemudian daripada itu Arjunapun menerima pahala kemuliaannya, yaitu ketika ia menjalani upacara penobatannya (abhiseka) sebagai Raja di Kahyangan Indraloka, dan melaksanakan pernikahannya (wiwaha) dengan ketujuh bidadari (widyadhari) yang utama. Arjuna, yang telah menang perang (amenang ing rananggana), dan dahulu telah mengatasi godaan para apsari jelita, kini mengalah untuk melayani mereka, karena ingin membahagiakan sesamanya (parartha). Maka setelah berada di kahyangan dewata selama tujuh purnama, yaitu sesuai dengan batasan waktu yang telah ditetapkan baginya, kembalilah Arjuna ke alam marcapada untuk berkumpul dengan saudara-saudaranya. Kemudian daripada itu Arjunapun mengalami kemenangan di mana-mana (digwijaya).
BAGIAN KETIGA : Pemahaman Kakawin
Adapun tujuan penulisan Kakawin Arjunawiwaha itu adalah dalam rangka menghadapi karya perang (angharep samarakarya), yaitu persiapan perang Sri Airlangga yang sedang berusaha mempersatukan Nusantara-Jawadwipa (1028-1035). Karena itu bukanlah dewata pilihan (istadewata) yang dipuja di dalam karya agung ini, melainkan Ksatria Arjuna sebagai gambaran Sang Prabu sendiri. Persatuannya dengan Sang Hyang Sakti diharapkan untuk dapat menjadi terwujud melalui gambaran Arjunawiwaha, yaitu pernikahan Sang Panduputra dengan ketujuh bidadari. Supaya diperolehnya kemenangan sebagaimana dilukiskan dalam kejayaan Arjuna di Kahyangan (kawijayan sang partha ring kahyangan). Maka dengan kakawin yang ditulisnya itulah Sang Pujangga Kawi mengiringkan Sang Raja (mangiring i haji), yaitu mengiringkannya dengan ilmu dan mantra (mangiring ing aji), agar berjayalah ia di dalam perjuangannya yang luhur itu.
Adapun Arjuna itu adalah seorang ksatria pahlawan (sang nayaka), dan seorang yogi yang tahu akan Hakekat Tertinggi (sang paramarthapandita), karena ia telah menghayati kesuwungan (sunyata). Sebagai seorang ksatria ia mengusahakan sempurnanya jasa dan kebajikan (yasa lawan wirya), dan mengusahakan kebahagiaan seluruh dunia (sukhaningrat), dalam keunggulan dan kepahlawanannya. Sedangkan sebagai seorang yogi ia tidak dicemari oleh napsu kelima indera (tan sangkeng wisaya). Namun demikian sebagai seorang ksatria yang harus membina kesejahteraan dunia, seolah-olah saja ia menyambut yang duniawi (lwir sanggraheng lokika). Maka oleh karena kewajiban hidupnya (dharma), walaupun ia mengalami rasa damai dan bahagia dalam persatuan dengan Tuhan yang disembahnya (santosa), ia rela tetap tersekat tabir kemayaan (aheletan kelir), yang memisahkannya dari Sang Pencipta Dunia (sanghyang jagatkarana). Itulah sikap, pembawaan, dan tindakan (ambek) tokoh pahlawan (sang nayaka), yang telah memperoleh kejayaan di kahyangan (kawijayan ring kahyangan). Kemenangan ini berhubungan dengan pertolongan yang telah ia berikan kepada kahyangan dewata, yang sedang terancam oleh kejahatan Sang Niwatakawaca. Maka pada benih cerita (bija) inilah tersirat semangat keperwiraan (virarasa) dan sekaligus suasana kedamaian (santarasa), yang memancar dari dalam kehidupannya.
Maka sebagai lawan dari sang pahlawan (pratinayaka) adalah Sang Prabu Niwatakawaca. Seorang raksasa (daitya) sakti yang berkuasa, bermegah, dan berjaya di mana-mana di seluruh dunia (akhyating jagad digjaya). Seorang pertapa (atapa) yang dianugerahi kesaktian dan keunggulan (warawirya). Berkat yoga dan tapanya iapun mencapai maksudnya (krta-krtya), yaitu tidak akan mati di tangan dewa, yaksa, asura, dan denawa. Karena pembatasnya hanyalah seorang manusia sakti (manusa sakti). Maka dari Sanghyang Siwarudra sendirilah Sang Niwatakawaca telah memperoleh anugerah berupa kekuasaan atas ketiga dunia (bhuh swargadi, jagad raya). Karena memuja Bhatara Bhirawa iapun mendapat kesaktian batin (siddhi), kebal tak dapat dicincang (achedya), tak dapat dibunuh (amarana), dan memiliki delapan kemampuan (astaguna). Akan tetapi itu semua merupakan kesia-siaan (wiyartha), karena ia terbelenggu oleh napsu (raga), yang membawa kehancuran (hala). Maka seperti utusannya, Sang Mamangmurka, yang menjelma menjadi babi hutan (wok, wraha), demikian pula Sang Niwatakawaca adalah makhluk (pasu) yang terikat (pasa) oleh kesemuan dunia (maya). Dalam keangkaraannya ia ingin menghancurkan kahyangan (swargaloka), menundukan Bhatara Indra (dewaraya), dan merebut Suprabha (sri sakti). Maka kegagalannya untuk memperoleh Suprabha itu diakibatkan oleh keangkaraan napsu (rajah) dan kegelapan batin (tamas) yang menyelimuti jiwanya. Karena gelora asmara yang membara ia tidak tahan terhadap bujuk rayu Suprabha, sehingga terpancinglah keluar (kahuwan) rahasia kesaktiannya, yaitu kelemahan yang terdapat di ujung lidahnya (jihwagra). Karena tidak waspada (yatna), terhadap manusia sakti, sehingga terkecoh dan tertipu (kasalib kabancana) oleh muslihat (upaya) Arjuna. Maka Sang Niwatakawaca, yang telah memojokkan Indra dalam kesulitan bahaya (durniti lawan bhaya), akhirnya mengalami kehancuran.
Kepada manusia sakti, yang akan dapat mengalahkan Sang Niwatakawaca, Indrapun berpaling. Ingin menjadikannya sekutu, teman, dan pembantu (sahaya), dalam rangka menghadapi musuh (satru). Dialah Arjuna, seorang yogi yang bertapa (atapa), dan ksatria yang bercita-cita untuk menang dalam perang (asadhyajaya ring rana). Akan tetapi hanyalah tapa seorang raja yogi (yogiswara) yang dapat memberikan karunia (wara) dan anugerah (krtanugraha). Bilamana tapanya masih dipengaruhi oleh keinginan rendah (rajah) dan kebutaan akal (tamas), kesaktian yang diperolehnya hanya akan menjadi sumber kehancuran bagi dirinya dan penderitaan bagi orang lain. Sesungguhnya manusia sakti yang dicari Indra adalah seorang ksatria yang tekun memuja Sang Hakekat Tertinggi (siwasmrti), sampai memperoleh anugerah (sraddha) daripadaNya. Seorang ksatria yang batinnya terbebas dari jaringan napsu kelima indera (nirwisaya), sehingga berada dalam keadaan hening jernih (alilang), bebas lepas (huwa-huwa), dan bahagia baka (sukha-dhyatmika). Maka Arjuna itulah manusia sakti (manusa sakti, wwang sakti), yang diminta bantuannya oleh Indra untuk membela kahyangan dewata dari ancaman bahaya.
Karena sesungguhnya Arjuna telah mencapai keheningan batin yang sempurna (anasrayasamadhi), hingga mengalami keterlelapan diri (lina), yaitu memasuki suasana terlenyap dan terserap kedalam kekosongan (sunyata), yang kenikmatannya tak terlukiskan. Ketika itulah ia mengenakan keadaan yang bertubuh halus (ng sukmarira), berwujud baka (apinda niskala), dan berhakikat baka (asari niskala). Ia mengalami pencerahan rokhani (jnanawisesa), yang memberi kebahagiaan jauh melebihi kenikmatan bersenggama (sukhaning samagama). Sesungguhnya itulah kebahagiaan tertinggi yang mustahil untuk dibayangkan (ng paramasukha luput linaksana). Maka ketika berhadapan dengan para bidadari iapun tidak tergoda (niskalangka), tidak tergoyahkan (tan wikalpa), tidak terkeruh kejernihannya (hening), karena telah mencapai tingkat keheningan batin yang cenderung tidak lagi memilah-milah di antara berbagai keadaan (nirwikalpa). Demikian pula ketika menghadapi cobaan jerat Sang Indra (bancana indrajala), yang membawa kegelapan batin (tamas), menimbulkan kebingungan akal (moha), dan melahirkan ketidak-tahuan (ajnana). Godaan kemayaan itupun dihadapi dan diatasinya dengan berhasil. Maka luluslah Arjuna dalam ujian dewata, karena dalam keteguhannya untuk menemukan hakekat yang sejati, ia tidaklah ragu untuk menjalankan kewajiban hidup (dharma)nya sebagai ksatria. Dijangkaunya keadaan yang mutlak tanpa melepaskan kejadian dunia yang semu (maya), yaitu permainan (lila) para dewata. Bahkan di dalam kemayaan hidup itulah Arjuna menemukan kehidupan sejati. Maka bersabdalah Indra bahwa akan datang penampakan suci yang indah itu (sanghyang hayu).
Setelah masak yoganya (atasak yoganira), Arjunapun menjadi manusia berwatak dewata (manusa dibya). Ia telah mematahkan belenggu kemayaan, yaitu godaan bidadari, cobaan Indra, gangguan Mamangmurka, dan kemudian tantangan Sang Kirata. Melalui pergulatannya dengan Ksatria Kirata pahlawan Arjuna memasuki pergumulan batin di alam keheningan. Dalam keteguhan hatinya Arjuna memuja Siwamurti sebagai Rudra, dan Aditya (suryasewana), serta Sang Hyang Hayu. Ia diliputi api yang menghanguskan (gumeseng), tetapi telah ditawarkan (kunda nisprabha), maka membawa keselamatan bagi dirinya. Api yang suci meresapi dirinya, sehingga iapun mengenakan cahaya (prabha) dan kecermerlangan (teja), bagaikan bulan purnama (sasangka purnama, sasiwimba). Ketujuh bidadari, yaitu daya sakti yang bersemayam dalam ketujuh lidah api, menyatu dengan dirinya. Di antaranya adalah dua yang utama (rwekang adi), yaitu Sang Kecermerlangan (Suprabha) berupa api, yang bernyala bersama Sang Biji-bijian utama (Tilottama), yang ditaburkan ke dalam api. Maka dalam samadhi yoga, Suprabha itu adalah api yang naik di dalam tubuh untuk membakar semua racun (wisa) dan menghasilkan air kehidupan (tirta amrta), seperti halnya Sri Maha Nilakantha (siwamurti) mereguk racun yang menyertai keluarnya air kehidupan pada pengadukan laut susu (udadhimanthana). Api sakti (suprabha) itu naik bersama naiknya daya biji-bijian utama (tilottama), dari ucapan mantra (bijaksara), hingga tembus di ujung kepala. Maka pecahnya ketopong Arjuna (rukuh ira remuk), yang disertai berhamburannya bunga permata (ratna), menunjukkan terjadinya pencerahan rokhani. Arjuna memeluk kaki Ksatria Kirata (jong sang hyang) melambangkan upacara untuk menurunkan dewata (dewapratistha), yang disertai dengan penerapan mantra pada setiap bagian tubuh (nyasa). Maka Sang Pencipta Dunia berkenan untuk hadir dalam rupa pria-wanita (ardhanariswara), yaitu kesatuan Siwa-Sakti, yang bersemayam di atas singgasana teratai manikam (padmasana mani).
Sungguh mahir Arjuna dalam memuja dewata (nipuna ring dewopacarana) dan benar ia tahu akan pujaan singkat untuk kemanunggalan rasa (sang siptapuja). Arjuna menyembah Sang Hyang Rudra dengan sikap tangan yang sempurna, mantra puncak yang selaras, dan pengheningan cipta tanpa bernoda (mudramwang kutamantra smrti wimala), yaitu mantra pemujaan (pujamantra), yang diucapkan dalam upacara penyembahan bunga (Puspanjali). Adapun ucapan sembahnya (uccarana) itu bermula dengan mantra suci triaksara (AUM), dan memuncak pada persatuan dengan Siwa Hakekat Tertinggi, yang kini tak berkelir tabir pemisah lagi (paramarthasiwatmanirawarana). Sesuai dengan paham Tantrayana dalam penyembahan itu disatukanlah ketiga sisi dari pengucapan mantra, yaitu suara keheningan (sabda), hembusan kehidupan (bayu), dan semangat kesadaran (hidep). Maka naiklah mantra yang suci (AUM), melalui kedua-belas tingkat keheningan diri (samadhi), yaitu kedua-belas tingkat kesadaran jiwa (ang, ung, mang, bindu, ardhacandra, nirodhika, nada, nadanta, sakti, vyapini, samana, unmana). Pada tingkat kesepuluh tercapailah daya yang meresapi (wyapi-wyapaka). Lalu pada tingkat kesebelas tercapailah keseimbangan sempurna dari segala daya (samana), di mana sang yogi mencapai ketenangan sempurna (sama). Akhirnya pada tingkat kedua belas tercapailah keadaan yang mengatasi pikiran (unmana), di mana sang yogi menghayati kesuwungan (sunyata), dan masuk kealam yang mutlak (niskala). Maka pada peristiwa inilah Arjuna menerima anugerah berupa panah Pasupati (pasupatisastraka), yaitu keempat kesaktian (cadu sakti), yang keluar dari tangan Tuhan (sang iswara) dalam bentuk api. Setelah Hyang Batara sirna dari pemandangan (suksma), Arjuna merasa seolah-olah ia bukan dari dunia ini (rasa tan irat), karena seakan-seakan ia berganti tubuh, bahagia tak mungkin kembali duka (kadi maslin sarira, sukha tan pabalik prihati … sukha tan pabalik dukha).
Demikianlah Arjuna kemudian berlaga melawan Sang Niwatakawaca. Dalam suatu pertempuran kesaktian di mana kekuatan kebajikan (dharma) berperang melawan kekuatan kejahatan (adharma). Arjuna berjuang untuk mengatasi kesaktian dan kekuatan gaib (siddhi). Digunakannya senjata-senjata Astramantra, yaitu Sanghyang Pasupatastramantra, Sanghyang Tripuranta Kagnisara, dan Sanghyang Naracasastra Sarirabandhana. Maka itulah mantra (astramantra), yang dilepaskan dengan gerakan mudra (naracamudra), untuk membunuh musuh, sambil melindungi tubuh (sarira), dan mengikat kekuatan beragam pada alam semesta (digbandhana). Arjuna berhasil membunuh Sang Niwatakawaca, setelah memasang rahasia siasat (rahasya ning upaya), dan mengenakan ilmu gaib perihal kutuk balik (suksmajnananing antasapa). Maka karena terjerat dan terkecoh oleh tipu-muslihat (kasalib kabancana), Prabu Niwatakawaca akhirnya mati (pejah) oleh panah api (agnisara). Dengan turunnya kutuk akhir, yaitu kutukan balik (antasapa pralina), melalui Arjuna, Bhatara Siwa bertindak untuk mengakhiri anugerah (wekas ingkang anugraha), berupa kesaktian yang telah diberi kepada Sang Niwatakawaca, dan menyerapnya kembali kedalam diriNya.
Dahulu Arjuna telah memenangkan Dewi Drupadi (Sri Drupadaatmaja), yang mejadi sakti bagi kerajaan Amarta, yaitu penjelmaan Sri Laksmi, melalui pernikahannya dengan Pandawa (panca rajya). Kini ia juga telah memenangkan Suprabha, yaitu sakti kerajaan Indra, sebagai kekuatan yang menyatu dengan dirinya. Maka dia yang masih terhitung sebagai putra Indra (sang masih atanaya) pun menjadi layak untuk menjadi raja kehormatan di Kahyangan Indraloka. Adapun Dewi Suprabha (sri sakti) itu adalah kekuatan (dayaguna), yang diperebutkan oleh Arjuna (manusa sakti) dan Niwatakawaca (daitya sakti). Arjuna adalah ksatria yang berhak untuk mempersunting Suprabha karena ia telah berhasil menyelamatkan kerajaan indra dan memulihkan kebenaran (dharma), sebagai sumber ketertiban alam semesta. Maka dalam rangka samadhi-yoga penobatan (abhiseka) Arjuna adalah pentahbisan suci (diksa), yang mempersatukan dirinya dengan Hakekat Tertinggi (Paramarthasiwatwa), dan pernikahan (wiwaha) Arjuna adalah persekutuan cinta (kama), yang mempersatukan dirinya dengan ketujuh daya kehidupan semesta (sri sapta apsari sakti). Karena itulah Arjuna memperoleh kemenangan di mana-mana (digwijaya).
Demikianlah perjuangan Arjuna, Ksatria Pandawa, yang menjadi sumber keteladanan yang sempurna. Dengan penghayatan akan pencerahan rokhani, kejernihan pikiran, dan kebahagian batin itulah Arjuna mengemban kewajiban hidupnya (dharma) sebagai seorang ksatria. Dalam keyakinannya, walaupun ia tidak menanggalkan tanggung-jawab keduniawian, pada akhirnya ia juga bertujuan untuk mencapai moksa (sanghyang kalepasan), yaitu nirwana yang suwung (nirbanacintya). Sesungguhnya melaksanakan amanat ksatria-yogi itu adalah dengan memasuki alam kesemuan hidup (maya), yang merupakan sulapan permainan (lila) belaka, sebagai keadaan yang menyelubungi kesejatian yang hakiki. Bermain di dalammya tanpa terbawa hanyut dan sekaligus mengatasi segala sesuatu dalam ke-suwung-an. Dengan teguh menjalankan yoga seorang ksatria, yaitu membina kesejahteraan dunia (mahaywang rat). Maka disebutkan pula mengenai Arjuna dalam kakawinnya … "Pantaslah ditiru keberhasilannya mencapai tujuan berkat keteguhan" (satirun-tirun krtartha sira de ni kadhiran ira) … "Segala yang dikehendaki terlaksana dengan meneladani Sang Panduputra" (sakaharepen kasrada makadarsana pandusuta).
Sang Pujangga Kawi menggubah kakawin tentang Arjuna, yang unggul dalam yoga, dan di dalamnya Arjuna sendiripun menulis kakawin, yaitu seperti dikatakan oleh bidadari Tilottama … "Itulah kesetiaan namanya bagi orang seperti engkau, mengabdi seorang kawi, yang merupakan puncak kesetiaan suami" (yeka satya ngaranya ring kadi kitaniwi kawi wekas ing pati brata). Karena memang sesungguhnya mengabdi Sang Pujangga Kawi adalah sebuah jalan tapa brata, karena dia sendiri adalah puncak tapa-brata. Adalah tokoh Ksatria Arjuna, sebagai gambaran Sri Airlangga, yang kejayaannya layak untuk dituliskan. Dalam keheningan batinnya Sang Pujangga Kawi telah menerima petunjuk suci, yang kemudian diteguhnya di dalam kakawin melalui kata-kata Indra. Ketika Arjuna berpamitan akan kembali kedunia, Indrapun memahami betapa besarnya rasa ke-bakti-an Arjuna kepada kakak dan ibunya, akan tetapi ia telah menahan Arjuna beberapa lama oleh karena adanya sebuah keinginan yang luhur. Dalam sabdanya Bhatara Indra menetapkan … "Agar indah dilukiskan kejayaanmu oleh Sang Pujangga Kawi di kemudian hari, itulah tujuanku" (rapwan ramya winarnana nikang anagatakawi wijayanta don mami). Demikianlah Arjunawiwaha kemudian digubah untuk menceritakan kebesaran Arjuna sebagai seorang ksatria yang mahir dalam yoga. Dialah Arjuna, Ksatria Pandawa, yang diagungkan oleh dewata dan manusia.
Pengertian Lingga-Yoni
Berbagai literatur suci yang tergolong Weda dengan tegas menyebutkan bahwa LINGGA sebagai simbol BRAHMAN, Tuhan Yang Maha Esa dengan aksara dan suara “AUM” yang bergema menciptakan Pertiwi atau YONI, alam semesta langit dan bumi dengan segala ciptaan-NYA.
Pengertian Lingga-Yoni
Ada salah pengertian mengenai Lingga-Yoni, yaitu sebagai lambang alat reproduksi lelaki dan perempuan (pallus atau vagina):
Kamus; Jawa Kuna Indonesia mendefinisikan: “Linga (skt) tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti keterangn, petunjuk; Lingga, lambang kemaluan lelaki (terutama Lingga Siwa dibentuk tiang batu), patung dewa, titik tugu pemujaan, titik pusat, pusat poros, sumbu”. “Yoni (skt) rahim, tempat lahir, asal Brahmana, Daitya, dewa, garbha, padma, naga, raksasa, sarwa, sarwa batha, sudra, siwa, widyadhara dan ayonia (P.J. Zoetmneder, S.C. Robsou, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994, 601, 1494).
Penggertian Kuil Hindu
Kuil Hindu adalah seni purba yang lahir dari pada kepercayaan dan budaya yang ulung. Apabila setiap abad berlalu, seni binanya pun berubah mengikut kesesuaian. Kuil Hindu mewakili badan manusia di mana kepala kuil menuju ke barat dan kakinya menuju ke sebelah timur. Banyak upacara keagamaan dijalankan di dalam kuil supaya penganut dapat kesihatan dan ketenangan di dalam hidup. Dinding kuil dihiasi dengan patung-patung dewa dan juga hiasan yang cantik supaya melindungi dari pada kuasa jahat yang boleh dilihat dengan mata kasar dan juga bukan dengan mata kasar.
Pengertian Candi
Candi merupakan salah satu budaya bangsa Indonesia yang memiliki nilai seni dan religi yang tinggi. Sebagai tempat pemujaan, candi merupakan sebuah tiruan (replica) dari Gunung Maha Meru.
Contohnya termasuk Candi Cetho, Candi Prambanan, dan Candi Gunung Sari
Pengertian Pura Menurut Hindu
Pura adalah tempat suci umat Hindu yang berfungsi sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabawa- NYA (manifestasi- NYA) dan atau Atma Sidha Dewata (Roh Suci Leluhur) dengan sarana upacara yadnya sebagai perwujudan dari Tri Marga.
Selasa, 27 September 2016
Dosa menurut Slokantara
Pada sloka 75(69)
dijelaskan mengenai dosa pataka. Yang termasuk dosa pataka dalam sloka ini adalah orang membunuh bayi yang masih dalam kandungan/menggugurkan yang disebut Bhrunaha, melakukan pembunuhan terhadap manusia lain disebut dengan Purusaghna, orang yang mencuri atau melarikan dengan paksa seorang gadis perwan disebut dengan Kanyacora, orang yang kawin mendahului kakak laki-lakinya atau kakak perempuannya yang disebut dengan Agrayajaka, orang yang menanam atau mengolah tanah dimusim yang salah yang disebut dengan Ajnata samwatsarika. Orang melakukan dosa pataka ini akan masuk neraka.
Pada sloka 76(70)
menjelaskan mengenai dosa upapataka. Yang tergolong dosa upapataka pada slokantara adalah membunuh sapi, membunuh wanita dan anak-anak atau orang tua renta dan membakar rumah orang lain.
Pada sloka 77(71)
dijelaskan mengenai dosa mahapataka/dosa besar. Yang tergolong dosa mahapataka/dosa besar pada slokantara diantaranya; membunuh brahmana, minum-minum keras, mencuri emas, memperkosa gadis kecil, dan membunuh guru.
Pada sloka 78(72)
dijelaskan mengenai dosa atipataka. Yang tergolong dosa atipataka dalam slokantara diantaranya; ia yang memperkosa putrinya sendiri atau ibunya sendiri atau memperkosa perempuan-perempuan lain yang sama kedudukannya, yaitu wanita-wanita anak misan atau bibi maka ia telah melakukan dosa terbesar. Hindarilah dosa-dosa yang tercantum dalam Slokantara baik dosa kecil maupun dosa besar.
dijelaskan mengenai dosa pataka. Yang termasuk dosa pataka dalam sloka ini adalah orang membunuh bayi yang masih dalam kandungan/menggugurkan yang disebut Bhrunaha, melakukan pembunuhan terhadap manusia lain disebut dengan Purusaghna, orang yang mencuri atau melarikan dengan paksa seorang gadis perwan disebut dengan Kanyacora, orang yang kawin mendahului kakak laki-lakinya atau kakak perempuannya yang disebut dengan Agrayajaka, orang yang menanam atau mengolah tanah dimusim yang salah yang disebut dengan Ajnata samwatsarika. Orang melakukan dosa pataka ini akan masuk neraka.
Pada sloka 76(70)
menjelaskan mengenai dosa upapataka. Yang tergolong dosa upapataka pada slokantara adalah membunuh sapi, membunuh wanita dan anak-anak atau orang tua renta dan membakar rumah orang lain.
Pada sloka 77(71)
dijelaskan mengenai dosa mahapataka/dosa besar. Yang tergolong dosa mahapataka/dosa besar pada slokantara diantaranya; membunuh brahmana, minum-minum keras, mencuri emas, memperkosa gadis kecil, dan membunuh guru.
Pada sloka 78(72)
dijelaskan mengenai dosa atipataka. Yang tergolong dosa atipataka dalam slokantara diantaranya; ia yang memperkosa putrinya sendiri atau ibunya sendiri atau memperkosa perempuan-perempuan lain yang sama kedudukannya, yaitu wanita-wanita anak misan atau bibi maka ia telah melakukan dosa terbesar. Hindarilah dosa-dosa yang tercantum dalam Slokantara baik dosa kecil maupun dosa besar.
Golongan Candala menurut Slokantara
Pada sloka 65(29) membahas terkait golongan candala. Ada delapan golongan yang termasuk glongan candala pada sloka ini diantaranya; orang membuat kapur, pembuat arak dan minuman keras lainnya, tukang celup, tukang cuci, pembuat periuk, jagal, tukang mas, tukang celup benang. Didalam sloka ini yang dimaksud candala bukan orangnya, melainkan pekerjaannya disebut candala. Dia tidak akan lagi dinamai candala jika ia berhenti mengerjakan pekerjaan itu.
Tetapi dalam sloka 74(68) dijelaskan mengenai orang yang tidak suka membalas budi orang lain, terlebih lagi tidak membalas budi seorang guru yang sudah memberikan ilmunya walaupun sedikit, ia akan lahir menjadi seekor anjing dan akhirnya lahir menjadi golongan candala.
Tetapi dalam sloka 74(68) dijelaskan mengenai orang yang tidak suka membalas budi orang lain, terlebih lagi tidak membalas budi seorang guru yang sudah memberikan ilmunya walaupun sedikit, ia akan lahir menjadi seekor anjing dan akhirnya lahir menjadi golongan candala.
Catur Warna dan asalnya menurut Kitab Slokantara
Pada sloka 61(78) dijelaskan dijaman dahulu dikatakan bahwa keempat golongan kasta itu lahir dari badan Brahmana. Mereka itu dinamai Catur warna didunia ini. Diantaranya;
(1) Wipra artinya seorang Brahmana, ia dikatakan lahir dari kepala Bhatara Brahma/Tuhan Yang Maha Pencipta Semesta Alam. Kewajibannya sembahyang, mengadakan upacara-upacara korban, menguncarkan mantra,duduk beryoga Samadhi mempelajari kitab-kitab suci weda.
(2) Ksatriya artinya raja. Ia dikatakan lahir dari lengan Bhatara Brahma. Kewajibannya ialah harus mengetahui peraturan dan teknik peperangan, kaya, perwira dalam segala lapangan.memberikan dana, melindungi seluruh dunia/rakyat, menjadi pahlawan dalam bidang perang.
(3) Waisya adalah golongan orang petani. Ia dikatakan lahir dari paha Bhatara Brahma. Kewajibannya ialah melindungi ternak, memelihara dan menyuburkan tanah lading atau sawah yang kering.
(4) Sudra kewajibannya berdagang.
Dan dalam sloka 67(30) ditegaskan mengenai orang yang melalaikan kewajiban dan hidup dengan menjalankan kewajiban orang lain, ia juga tergolong golongan sudra. Ia dikatakan lahir dari kaki Bhatara Brahma. Pada slokantara ini catur warna itu dilihat dari pembagiaan pekerjaan.
(1) Wipra artinya seorang Brahmana, ia dikatakan lahir dari kepala Bhatara Brahma/Tuhan Yang Maha Pencipta Semesta Alam. Kewajibannya sembahyang, mengadakan upacara-upacara korban, menguncarkan mantra,duduk beryoga Samadhi mempelajari kitab-kitab suci weda.
(2) Ksatriya artinya raja. Ia dikatakan lahir dari lengan Bhatara Brahma. Kewajibannya ialah harus mengetahui peraturan dan teknik peperangan, kaya, perwira dalam segala lapangan.memberikan dana, melindungi seluruh dunia/rakyat, menjadi pahlawan dalam bidang perang.
(3) Waisya adalah golongan orang petani. Ia dikatakan lahir dari paha Bhatara Brahma. Kewajibannya ialah melindungi ternak, memelihara dan menyuburkan tanah lading atau sawah yang kering.
(4) Sudra kewajibannya berdagang.
Dan dalam sloka 67(30) ditegaskan mengenai orang yang melalaikan kewajiban dan hidup dengan menjalankan kewajiban orang lain, ia juga tergolong golongan sudra. Ia dikatakan lahir dari kaki Bhatara Brahma. Pada slokantara ini catur warna itu dilihat dari pembagiaan pekerjaan.
Wanita menurut Kitab Slokantara
Pada sloka 37(23) dijelaskan ada tiga benda yang jalannya tidak lurus didunia ini diantaranya; sungai, tumbuhan melata dan perempuan. Jika perempuan menjadi setia, bunga seroja akan tumbuh dari batu padas. Pada intinya sloka ini merendahkan kedudukan dan kesetiaan hati seorang perempuan. Sehingga kewajiban wanitalah kini untuk mempertinggi, mengkat nama baiknya yang telah tergeletak diatas debu, dengan cara selalu berbuat sesuai dengan ajaran dharma dan menjaga kesuciannya. Pada sloka 38(60) dijelaskan mengenai tahapan umur wanita. Ada empat tahapan umur wanita yaitu;
1) Kaniya ialah gadis yang belum dapat dipengaruhi oleh nafsu.
2) Yuwati ialah gadis yang baru meningkat umur setelah kotor aids pertama.
3) Kanta yaitu gadis yang payudaranya mulai bertambah besar,
4) Pramada ialah gadis yang sudah ditusuk panah asmara.
Pada sloka 39(54) dijelaskan mengenai obat cinta buta yang ditimbulkan terhadap istri, anak nafsu, hanya ada satu obat yang mujarab yaitu dengan meninggalkan kehidupan keduniawian ini. Tetapi jika dikaitkan dengan jaman sekarang obat cinta buta itu susah direalisasikan, karena mengingat hutan sudah tidak ada. Mungkin maksudnya pada sloka ini adalah tidak berarti bahwa kita meninggalkan dunia alias membunuh diri, tetapi kita hidup seperti biasa dengan cara melepaskan diri atau mengendalikan diri atau indrya dari cengkeraman nafsu dan keingginan-keinginan yang bukan-bukan(keinginan tidak baik).
Kemudian pada sloka 40(55) menjelaskan tentang wanita yang pantas dijadikan istri. Ada tiga macam wanita yang pantas dijadikan istri menurut slokantara, diantaranya;
1) perempuan yang berumur lanjut tetapi kaya.
2) Perempuan yang tidak cantik tetapi pandai.
3) Perempuan miskin tetapi ia amat cantik.
Carilah perempuan yang dijelaskan dalan sloka diatas untuk dijadikan istri.
1) Kaniya ialah gadis yang belum dapat dipengaruhi oleh nafsu.
2) Yuwati ialah gadis yang baru meningkat umur setelah kotor aids pertama.
3) Kanta yaitu gadis yang payudaranya mulai bertambah besar,
4) Pramada ialah gadis yang sudah ditusuk panah asmara.
Pada sloka 39(54) dijelaskan mengenai obat cinta buta yang ditimbulkan terhadap istri, anak nafsu, hanya ada satu obat yang mujarab yaitu dengan meninggalkan kehidupan keduniawian ini. Tetapi jika dikaitkan dengan jaman sekarang obat cinta buta itu susah direalisasikan, karena mengingat hutan sudah tidak ada. Mungkin maksudnya pada sloka ini adalah tidak berarti bahwa kita meninggalkan dunia alias membunuh diri, tetapi kita hidup seperti biasa dengan cara melepaskan diri atau mengendalikan diri atau indrya dari cengkeraman nafsu dan keingginan-keinginan yang bukan-bukan(keinginan tidak baik).
Kemudian pada sloka 40(55) menjelaskan tentang wanita yang pantas dijadikan istri. Ada tiga macam wanita yang pantas dijadikan istri menurut slokantara, diantaranya;
1) perempuan yang berumur lanjut tetapi kaya.
2) Perempuan yang tidak cantik tetapi pandai.
3) Perempuan miskin tetapi ia amat cantik.
Carilah perempuan yang dijelaskan dalan sloka diatas untuk dijadikan istri.
Racun menurut kitab Slokantara
Pada sloka 31(9) dijelaskan bahwa racun tidak hanya bisa yang ada pada binatang-binatang yang berbisa melainkan apa yang menghambat kita dalam menjalani kehidupan yang lebih baik itulah racun, baik ada dalam diri kita dan yang ditimbulkan oleh orang lain.
Contohnya rasa malas yang ada pada diri kita itu racun, racun wanita itu ialah dalam kelakuaannya yang serong. Dan racun bagi seorang suami tua ialah istr yag muda dan ayu.
Contohnya rasa malas yang ada pada diri kita itu racun, racun wanita itu ialah dalam kelakuaannya yang serong. Dan racun bagi seorang suami tua ialah istr yag muda dan ayu.
Langganan:
Postingan (Atom)