RAJA-RAJA DINASTI WARMADEWA
Berdasarkan prasasti Blanjong yang
berangka tahun 914, Raja Bali pertama adalah Khesari Warmadewa.
Istananya berada di Singhadwalawa. Raja berikutnya adalah Sang Ratu Sri
Ugrasena. Ia memerintah sejak tahun 915 sampai 942. Istananya di
Singhamandawa. Masa pemerintahannya sezaman dengan Mpu Sindok di
Jawa Timur. Sang Ratu Sri Ugrasena meninggalkan sembilan prasasti, satu
di antaranya adalah prasasti Bobahan I. Setelah wafat, Sang Ratu Sri
Ugrasena dicandikan di Air Mandatu dan digantikan oleh raja-raja yang
memakai gelar Warmadewa (dinasti Warmadewa).
Raja pertama dari dinasti Warmadewa
adalah Aji Tabanendra Warmadewa. Raja ini memerintah tahun 955 – 967 M
bersama istrinya, Sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharmadewi.
Penggantinya adalah Jayasingha Warmadewa. Raja inilah yang membuat
telaga (pemandian) dari sumber suci di desa Manukraya. Pemandian
itu disebut Tirta Empul, terletak di dekat Tampaksiring. Raja Jayasingha
Warmadewa memerintah sampai tahun 975 M. Raja Jayasingha digantikan
oleh Janasadhu Warmadewa. Ia memerintah tahun 975 – 983 M. Tidak ada
keterangan lain yang dapat diperoleh dari raja ini, kecuali tentang
anugerah raja kepada desa Jalah. Pada tahun 983 M, muncul seorang raja
wanita, yaitu Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (983 – 989 M).
Pengganti Sri Wijaya Mahadewi bernama
Dharma Udayana Warmadewa. Ia memerintah bersama permaisurinya, Gunapriya
Dharmapatni atau lebih dikenal dengan nama Mahendradatta, putri dari
Raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur. Sebelum naik takhta,
diperkirakan Udayana berada di Jawa Timur sebab namanya tergores dalam
prasasti Jalatunda.
Pada tahun 1001 M, Gunapriya meninggal
dan dicandikan di Burwan. Udayana meneruskan pemerintahannya sendirian
hingga wafat pada tahun 1011 M. Ia dicandikan di Banuwka. Hal ini
disimpulkan dari prasasti Air Hwang (1011) yang hanya menyebutkan nama
Udayana sendiri. Adapun dalam prasasti Ujung (Hyang) disebutkan bahwa
setelah wafat, Udayana dikenal sebagai Batara Lumah di Banuwka. Raja
Udayana mempunyai tiga orang putra, yaitu Airlangga, Marakata, dan Anak
Wungsu.
Airlangga tidak pernah memerintah di
Bali karena menjadi menantu Dharmawangsa di Jawa Timur. Oleh karena itu,
yang menggantikan Raja Udayana dan Gunapriya adalah Marakata. Setelah
naik takhta, Marakata bergelar Dharmawangsawardhana Marakata
PangkajasthanaUttunggadewa. Marakata memerintah dari tahun 1011 hingga
1022. Masa pemerintahan Marakata sezaman dengan Airlangga. Oleh karena
adanya persamaan unsur nama dan masa pemerintahannya, seorang ahli
sejarah, Stuterheim, berpendapat bahwa Marakata sebenarnya adalah
Airlangga.
Apalagi jika dilihat dari kepribadian
dan cara memimpin yang memiliki kesamaan. Oleh rakyatnya, Marakata
dipandang sebagai sumber kebenaran hukum yang selalu dilindungi dan
memerhatikan rakyat. Ia sangat disegani dan ditaati oleh
rakyatnya. Persamaan lain Marakata dengan Airlangga adalah Marakata juga
membangun sebuah presada atau candi di Gunung Kawi di daerah
Tampaksiring, Bali. Setelah pemerintahannya berakhir, Marakata
digantikan oleh Raja Anak Wungsu.
Ia bergelar Paduka Haji Anak Wungsu Nira
Kalih Bhatari Lumah i Burwan Bhatara Lumah i Banu Wka. Anak Wungsu
adalah Raja Bali Kuno yang paling banyak meninggalkan prasasti (lebih
dari 28 prasasti) yang tersebar di Bali Utara, Bali Tengah, dan Bali
Selatan. Anak Wungsu memerintah selama 28 tahun, yaitu dari tahun 1049
sampai 1077. Ia dianggap sebagai penjelmaan Dewa Wisnu. Anak Wungsu
tidak memiliki keturunan. Ia wafat pada tahun 1077 dan dimakamkan
di Gunung Kawi, Tampaksiring. Berakhirlah dinasti Warmadewa.
Pemerintahan setelah dinasti Warmadewa
Setelah berakhirnya pemerintahan dinasti Warmadewa, Bali diperintah oleh beberapa orang raja silih berganti. Raja-raja yang perlu diketahui sebagai berikut.
1. Jayasakti
Jayasakti memerintah dari tahun 1133
sampai tahun 1150 M, sezaman dengan pemerintahan Jayabaya di Kediri.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Jayasakti dibantu oleh penasihat
pusat yang terdiri atas para senopati dan pendeta, baik dari agama Hindu
maupun dari agama Buddha. Kitab undang-undang yang digunakan adalah
kitab Utara Widhi Balawandan kitab Rajawacana. Kitab undang-undang ini
merupakan peninggalan kebudayaan dari masa pemerintahan Jayasakti
yang cukup tinggi. Kitab ini juga dipakai pada masa pemerintahan Ratu
Sakalendukirana dan penerusnya. Dari prasasti-prasasti yang ditemukan,
diketahui bahwa pada masa pemerintahan Jayasakti, agama Buddha dan Syiwa
berkembang dengan baik. Aliran Waisnawa juga berkembang pada waktu itu.
Raja Jayasakti sendiri disebut sebagai penjelmaan Dewa Wisnu.
2. Ragajaya
Ragajaya mulai memerintah pada tahun
1155 M, namun kapan berakhirnya tidak diketahui sebab tidak ada sumber
tertulis yang menjelaskan hal tersebut.
3. Jayapangus (1177 – 1181)
Raja Jayapangus dianggap sebagai
penyelamat rakyat yang terkena malapetaka akibat lalai menjalankan
ibadah. Raja ini menerima wahyu dari dewa untuk mengajak rakyat kembali
melakukan upacara keagamaan yang sampai sekarang dikenal dan diperingati
sebagai upacara Galungan. Kitab undang-undang yang digunakannya adalah
kitab Mana Wakamandaka.
4. Ekajalancana
Ekajalancana memerintah pada sekitar
tahun 1200 – 1204 M. Dalam memerintah, Ekajalancana dibantu oleh ibunya
yang bernama Sri Maharaja Aryadegjaya.
5. Sri Asta Asuratna
Bumi Banten Sri Asta Asuratna Bumi
Banten diyakini sebagai raja Bali yang terakhir. Setelah itu, Bali
ditaklukkan oleh Gajah Mada dan menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit.
Kehidupan sosial budaya masyarakat
Kehidupan masyarakat di Bali dan
kebudayaannya sangat lekat terpengaruh oleh agama Hindu. Agama Hindu
yang berkembang di Bali ini sudah bercampur dengan unsur budaya asli.
Salah satu contoh yang paling nyata dapat dilihat adalah bahwa dewa
tertinggi dalam agama Hindu-Buddha bukanlah Syiwa, melainkan Sang
Hyang Widhi yang sama kedudukannya dengan Sang Hyang Wenang di Jawa.
Selain itu, masyarakat Bali juga
mengenal dewa-dewa setempat, seperti dewa air dan dewa gunung (di Jawa
kiranya sejajar dengan Grama Desa). Di bawah desa, mereka juga memuja
roh nenek moyang dan cikal bakal. Upacara penghormatan leluhur disebut
Pitra Yodnya.
Sebagai tempat suci, dahulu digunakan
candi. Tetapi, sejak berdirinya Kerajaan Gelgel dan Klungkung,
penggunaan candi sebagai tempat suci dihapus. Sebagai pengganti fungsi
candi dibuatkan kuil berupa kompleks bangunan yang sering disebut pura.
Pada waktu upacara, dewa atau roh yang dipuja diturunkan dari surga dan
ditempatkan pada kuil untuk diberi sesaji sebagai penghormatan.
Upacara itu, misalnya, diadakan pada hari Kuningan (hari turunnya dewa
dan pahlawan), pada hari Galungan (menjelang Tahra dan Saka), dan hari
Saraswati (pelindung kesusastraan). Pura dalam lingkungan kerajaan
disebut Pura Dalem, bentuknya seperti candi Bentar dan dimaksudkan
sebagai kuil kematian. Adapun untuk keluarga raja dibuatkan pura khusus
yang disebut Sanggahatau Merajan.
Di Bali, dewa tidak dipatungkan.
Patung-patung di Bali hanya berfungsi sebagai hiasan. Adanya patung dewa
di Bali diyakini sebagai bukti adanya pengaruh Jawa. Di dalam kuil
dibuatkan tempat tertentu yang disediakan untuk tempat turunnya
dewa atau roh nenek moyang yang telah menjalani prosesi ngaben. Ngaben
adalah budaya pembakaran mayat atau tulang surga. Pembakaran mayat
adalah suatu kebiasaan di India yang diadaptasi di Bali. Roh yang telah
menjalani upacara ngaben dianggap telah suci. Ida Sang Hyang Widhi
sebagai dewa tertinggi tidak dibuatkan pura khusus, namun pada setiap
kuil dibuatkan bangunan suci untuknya berbentuk Padmasana atau
Meruberatap dua.
Masyarakat Bali mengenal pembagian
golongan atau kasta yang terdiri dari brahmana, ksatria, dan waisya.
Ketiga kasta tersebut dikenal dengan Triwangsa. Di luar ketiga golongan
tersebut masih ada lagi golongan yang disebut jaba, yaitu
anggota masyarakat yang tidak memegang pemerintahan. Tiap-tiap golongan
mempunyai tugas dan kewajiban yang tidak sama dalam bidang keagamaan.
Pada masa pemerintahan Anak Wungsu,
dikenal adanya beberapa golongan pekerja khusus, di antaranya pande
besi, pande emas, dan pande tembaga. Mereka bertugas membuat alat-alat
pertanian, alat-alat rumah tangga, senjata, perhiasan, dan sebagainya.
Hubungan dengan Jawa sudah ada sejak zaman pemerintahan Udayana dan
Gunapriya, dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti raja-raja Bali
yang memakai bahasa Jawa Kuno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar