KISAH LUBDAKA MENUJU SWARGALOKA
Lubdaka adalah seorang kepala keluarga hidup di
suatu desa menghidupi keluarganya dengan berburu binatang di hutan.
Hasil buruannya sebagian ditukar dengan barang-barang kebutuhan
keluarga, sebagian lagi dimakan untuk menghidupi keluarganya. Dia sangat
rajin bekerja, dia juga cukup ahli sehingga tidak heran bila dia selalu
pulang membawa banyak hasil buruan.
Hari itu Lubdaka berburu
sebagaimana biasanya, dia terus memasuki hutan, aneh pikirnya kenapa
hari ini tak satupun binatang buruan yang muncul, dia semua peralatan
berburu digotongnya tanpa kenal lelah, dia tidak menyerah terus memasuki
hutan. Kalo sampe aku pulang gak membawa hasil buruan nanti apa yang
akan dimakan oleh keluargaku..?, semangatnya semakin tinggi, langkahnya
semakin cepat, matanya terus awas mencari-cari binatang buruan, namun
hingga menjelang malam belum juga menemukan apa yang ia harapkan, hari
telah terlalu gelap untuk melanjutkan kembali perburuannya, dan sudah
cukup larut jika hendak kembali ke pernaungan.
Ia memutuskan untuk
tinggal di hutan, namun mencari tempat yang aman terlindungi dari
ancaman bahaya, beberapa hewan buas terkenal berkeliaran di dalam
gelapnya malam guna menemukan mangsa yang lelap dan lemah. Sebagai
seorang pemburu tentu dia tahu betul dengan situasi ini. Tak perlu lama
baginya guna menemukan tempat yang sesuai, sebuah pohon yang cukup tua
dan tampak kokoh di pinggir sebuah telaga mata air yang tenang segera
menjadi pilihannya.
Dengan cekatan dari sisa tenaga yang masih
ada, ia memanjat batang pohon itu, melihat sekeliling sekejap, ia pun
melihat sebuah dahan yang rasanya cukup kuat menahan beratnya, sebuah
dahan yang menjorok ke arah tengah mata air, di mana tak satu pun hewan
buas kiranya akan bisa menerkamnya dari bawah, sebuah dahan yang cukup
rimbun, sehingga ia dapat bersembunyi dengan baik. Singkat kata, ia pun
merebahkan dirinya, tersembunyikan dengan rapi di antara rerimbunan yang
gulita.
Ia merasa cukup aman dan yakin akan perlindungan yang
diberikan oleh tempat yang telah dipilihnya. Sesaat kemudian keraguan
muncul dalam dirinya. Kalo sampe dia tertidur dan jatuh tentu binatang
buas seperti macan, singa, dll akan dengan senang hati memangsanya.
Ia
resah dan gundah, badannya pun tak bisa tenang, setidaknya ia harapkan
badannya bisa lebih diam dari pikirannya, itulah yang terbaik bagi orang
yang dalam persembunyian. Namun nyatanya, badan ini bergerak tak
menentu, sedikit geseran, terkadang hentakan kecil, atau sedesah napas
panjang. Tak sengaja ia mematahkan beberapa helai daun dari bantalannya
yang rapuh, entah kenapa Lubdaka tiba-tiba memandangi daun-daun yang
terjatuh ke mata air itu. Riak-riak mungil tercipta ketika helaian daun
itu menyentuh ketenangan yang terdiam sebelumnya. Ia memperhatikan
riak-riak itu, namun ia tak dapat memikirkan apapun. Beberapa saat
kemudian, riak-riak menghilang dan hanya menyisakan bayang gelombang
yang semakin tersamarkan ketika masuk ke dalam kegelapan. Ia memetik
sehelai daun lagi dan menjatuhkannya, kembali ia menatap, dan entah
kenapa ia begitu ingin menatap. Ia memperhatikan dirinya, bahwa ia
mungkin bisa tetap terjaga sepanjang malam, jika ia setiap kali
menjatuhkan sehelai daun, dan mungkin ia bisa menyingkirkan
ketakutannya, setidaknya karena ia akan tetap terjaga, itulah yang
terpenting saat ini.
Lubdaka – si pemburu, kini menjadi pemetik
daun, guna menyelamatkan hidupnya. Ia memperhatikan setiap kali riak
gelombang terbentuk di permukaan air akan selalu riak balik, mereka
saling berbenturan, kemudian menghilang kembali. Hal yang sama berulang,
ketika setiap kali daun dijatuhkan ke atas permukaan air, sebelumnya ia
melihat itu sepintas lalu setiap kali ia berburu, baru kali ia
mengamati dengan begitu dekat dan penuh perhatian, bahwa gerak ini,
gerak alam ini, begitu alaminya. Sebelumnya, ia mengenang kembali,
ketika ia berburu, yang selalu ia lihat adalah si mangsa, dan mungkin si
mara bahaya, namun tak sekalipun ia sempat memperhatikan hal-hal
sederhana yang ia lalui ketika ia berburu. Lubdaka hanya ingat, bahwa di
rumahnya, ada keluarga yang bergantung pada buruannya, dan ia hanya
bisa berburu, itulah kehidupannya, itulah keberadaannya.
Ia
terlalu sibuk dalam rutinitas itu, ya… sesaat ia menyadari bahwa hidup
ini seakan berlalu begitu saja, ia bahkan tak sempat berkenalan dengan
sang kehidupan, karena ia selalu sbuk lari dari si kematian, ia berpikir
apakah si kematian akan datang ketika si kelaparan menyambanginya,
ataukah si kematian akan berkunjung ketika si mara bahaya menyalaminya
ketika ia lalai. Semua yang ia lakukan hanyalah sebuah upaya bertahan
hidup. Ia tak tahu apapun selain itu, mungkin ia mengenal mengenal kode
etik sebagai seorang pemburu, dan aturan moralitas atau agama, namun
semua itu hanya sebatas pengetahuan, di dalamnya ia melihat, bahwa
dirinya ternyata begitu kosong dan dangkal. Keberadaannya selama ini,
adalah identitasnya sebagai seorang pemburu, ia tak mengenal yang
lainnya.
Sesekali ia memetik helai demi helai, dan menatap dengan
penuh, kenapa ia tak menyadari hal ini sebelumnya, ia bertanya pada
dirinya, ia melihat kesibukan dan rutinitasnya telah terlalu menyita
perhatiannya. Dalam kehinangan malam, dan sesekali riak air, ia bisa
mendengar sayup-sayup suara malam yang terhantarkan bagai salam oleh
sang angin, ia pun terhenyak, sekali lagi, ia tak pernah mendengarkan
suara malam seperti saat ini, biasanya ia telah terlelap setelah
membenahi daging buruannya dan santap malam sebagaimana biasanya.
Terdengar
lolongan srigala yang kelaparan tak jauh dari tempatnya berada, secara
tiba-tiba ia mengurungkan niatnya memetik daun. Jantungnya mulai
berdegup kencang, Lubdaka tahu, pikirannya berkata bahwa jika ia membuat
sedikit saja suara, si pemilik lolongan itu bisa saja menghampirinya,
dan bisa jadi ia akan mengajak serta keluarga serta kawan-kawannya untuk
menunggu mangsa lesat di bawah pohon, walau hingga surya muncul kembali
di ufuk Timur. Ia berusaha memelankan napasnya, dan menjernihkan
pikirannya. Walau ia dapat memelankan napasnya, namun pikirannya telah
melompat ke beberapa skenario kemungkinan kematiannya dan bagaimana
sebaiknya lolos dari semua kemungkinan itu. Beberapa saat kemudian,
ketenangan malam mulai dapat kembali padanya. Ia mendengarkan beberapa
suara serangga malam, yang tadi tak terdengar, ah… ia ingat, ia terlalu
ketakutan sehingga sekali lagi tak memperhatikan. Sebuah helaan napas
yang panjang, ia masih hidup, dan memikirkan kembali bagaimana ia
berencana untuk lolos dari kematian yang terjadi, ia pun tersenyum
sendiri, ia cukup aman di sini. Namun Lubdaka melihat mulai melihat
sesuatu dalam dirinya, yang dulu ia pandang sambil lalu, sesuatu yang
yang ia sebut ketakutan. Lubdaka menyadari bahwa ia memiliki rasa takut
ini di dalam dirinya, sesuatu yang bersembunyi di dalam dirinya, ia
mulai melihat bahwa ia takut terjatuh dari pohon, ia takut dimangsa
hewan buas, bahkan ia takut jika tempat persembunyiannya disadari oleh
hewan-hewan yang buas, ia takut tak berjumpa lagi dengan keluarganya.
Setidaknya ia tahu saat ini, ia berada di atas sini, karena takut akan
tempat yang di bawah sana, tempat di bawah sana mungkin akan memberikan
padanya apa yang disebut kematian. Dan ketakutan ini begitu
mengganggunya.
Ia kembali memetik sehelai daun dan menjatuhkannya
ke mata air, namun secara tak sadar oleh kegugupannya, ia memetik
sehelai daun lagi dengan segera, secepat itu juga ia sadar bahwa
tangannya telah memetik sehelai daun terlalu cepat. Ia memandangi
helaian daun itu, di sinilah ia melihat sesuatu yang sama dengan apa
yang ia takutkan, ia melihat dengan jelas sesuatu pada daun itu, sesuatu
yang disebut kematian. Daun yang ia pisahkan dari pohonnya kini
mengalami kematian, namun daun itu bukan hewan atau manusia, ia tak bisa
bersuara untuk menyampaikan apa yang ia rasakan, ia tak dapat berteriak
atau menangis kesakitan, ia hanya … hanya mati, dan itulah apa yang si
pemburu lihat ketika itu.
Selama ini Lubdaka selalu melihat
hewan-hewan yang berlari dari kematiannya dan yang menjerit kesakitan
ketika kematian yang dihantarkan sang pemburu tiba pada mereka, Lubdaka
telah mengenal sisi kematian sebagai suatu yang menyakitkan, dan
kengerian yang timbul dari pengalamannya akan saksi kematian, telah
menimbulkan ketakutan di dalam dirinya. Ia melihat ia sendiri telah
menjadi buruan akan rasa takutnya. Lubdaka telah melihat bentuk kematian
di luar sana, termasuk yang kini dalam kepalan tangannya, ia kini masuk
ke dalam dirinya, dan ingin melihat kematian di dalam dirinya, namun
semua yang ia temukan hanyalah ketakutan akan kematian, ketakutan yang
begitu banyak, namun si kematian itu sendiri tak ada, tak nyata kecuali
bayangan kematian itu sendiri. Lubdaka pun tersenyum, aku belum bertemu
kematian, yang menumpuk di sini hanyalah ketakutan, hal ini begitu
menggangguku, aku tak memerlukan semua ini. Lubdaka melihat dengan nyata
bahwa ketakutannya sia-sia, ia pun membuang semua itu, kini ia telah
membebaskan dirnya dari ketakutan. Ia pun melepas tangkai daun yang mati
itu dari genggamanannya, dan jatuh dengan begitu indah di atas
permukaan air. Diapun tidak menyadari bahwa malam itu adalah malam Siva
(Siva Ratri). Dimana Siva sedang melakukan tapa brata yoga semadi.
Barang siapa pada malam itu melakukan brata (mona brata: tidak
berbicara, jagra: Tidak Tidur, upavasa: Tidak makan dan minum) maka
mereka akan dibebaskan dari ikatan karma oleh Siva.
Ufuk Timur
mulai menunjukkan pijar kemerahan, Lubdaka memandangnya dari celah-celah
dedaunan hutan, dalam semalam ia telah melihat begitu banyak hal yang
belum pernah ia lihat sebelumnya. Kini ia telah berkenalan dengan
kehidupan dan melepas ketakutan-ketakutannya, ia telah mulai mengenal
semua itu dengan mengenal dirinya.
Lubdaka begitu senang ia dapat
tetap terjaga walau dengan semua yang ia alami dengan kekalutan dan
ketakutan, kini sesuatu yang lama telah padam dalam dirinya,
keberadaannya begitu ringan, tak banyak kata yang dapat melukiskan apa
yang ia rasakan, begitu hening, sehingga ia bisa merasakan setiap gerak
alami kehidupan yang indah ini, setiap tiupan yang dibuat oleh angin,
dan setiap terpaan sinar yang menyentuhnya. Kini sang pemburu memulai
perjalanannya yang baru bersama kehidupan.
Dia menyadari bahwa
berburu bukanlah satu-satunya pilihan untuk menghidupi keluarganya.
Setelah dia melewati perenungan di malam tersebut, kesadaran muncul
dalam dirinya untuk merubah jalan hidupnya. Dia mulai bercocok tanam,
bertani hingga ajal datang menjemputnya.
Saat dia meninggal,
Atmanya (Rohnya) menuju sunia loka, bala tentara Sang Suratma (Malaikat
yang bertugas menjaga kahyangan) telah datang menjemputnya. Mereka telah
menyiapkan catatan hidup dari Lubdaka yang penuh dengan kegiatan Himsa
Karma (memati-mati). Namun pada saat yang sama pengikut Siva pun datang
menjemput Atma Lubdaka. Mereka menyiapkan kereta emas. Lubdaka menjadi
rebutan dari kedua balatentara baik pengikut Sang Suratma maupun
pengikut Siva. Ketegangan mulai muncul, semuanya memberikan argumennya
masing-masing. Mereka patuh pada perintah atasannya untuk menjemput Atma
Sang Lubdaka.
Saat ketegangan memuncak Datanglah Sang Suratma dan
Siva. Keduanya kemudian bertatap muka dan berdiskusi. Sang Suratma
menunjukkan catatan hidup dari Lubdaka, Lubdaka telah melakukan banyak
sekali pembunuhan, sudah ratusan bahkan mungkin ribuan binatang yang
telah dibunuhnya, sehingga sudah sepatutnya kalo dia harus dijebloskan
ke negara loka.
Siva menjelaskan bahwa; Lubdaka memang betul
selama hidupnya banyak melakukan kegiatan pembunuhan, tapi semua itu
karena didasari oleh keinginan/niat untuk menghidupi keluarganya. Dan
dia telah melakukan tapa brata (mona brata, jagra dan upavasa/puasa)
salam Siva Ratri/Malam Siva, sehingga dia dibebaskan dari ikatan karma
sebelumnya. Dan sejak malam itu Dia sang Lubdaka menempuh jalan hidup
baru sebagai seorang petani. Oleh karena itu Sang Lubdaka sudah
sepatutnya menuju Suarga Loka (Sorga). Akhirnya Sang Suratma melepaskan
Atma Lubdaka dan menyerahkannya pada Siva. (Kisah ini adalah merupakan
Karya Mpu Tanakung, yang sering digunakan sebagai dasar pelaksanaan
Malam Siva Ratri).
Di malam Siva Ratri ada tiga brata yang harus dilakukan:
1. Mona: Tidak Berbicara
2. Jagra: Tidak Tidur
3. Upavasa: Tidak Makan dan Minum
Siva Ratri datang setahun sekali setiap purwani Tilem ke-7 (bulan ke-7) tahun Caka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar